Secara mengejutkan, Garlanda tiba-tiba terbangun dari mimpinya. Baru kali ini, Garlanda begitu betah berada dalam sebuah mimpi. Padahal biasanya ia selalu paling malas jika sudah masuk salam dunia mimpi -- yang awalnya selalu memberinya kesakitan saja.
Namun dalam mimpi menjadi sosok bernama Jodi itu, ia mendapatkan sesuatu yang belum pernah ia dapatkan secara utuh sebelumnya, yaitu ... kehangatan.
Meskipun sudah terlihat, nyatanya tetap ada unsur luka dan rasa sakit dalam mimpi itu. Karena Jodi sepertinya menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahui oleh siapa pun, hanya dirinya sendiri dan Tuhan. Tapi tetap saja ... Garlanda betah hidup sebagai sosok Jodi.
Tapi ... kenapa ia malah tiba-tiba terbangun seperti ini?
Jodi teringat jika sebelum tidur yang terakhir, ia bertemu dengan seorang perawat yang sangat mirip dengan sosok Ayla dalam mimpinya. Tapi sekarang ia hanya sendirian di dalam kamar.
Pikiran Garlanda menerawang. Memikirkan apakah sebenarnya yang sedang ia hadapi? Di mana sebenarnya ia? Kenapa ia dikurung sendirian dalam ruangan serba putih seperti ini? Lantas di mana keluarganya? Apa mereka benar-benar sudah membuangnya? Tanpa mau memikirkan ia sama sekali. Menganggap Garlanda sudah hilang dari kehidupan mereka.
Betapa mirisnya. Bahkan Jodi yang kekurangan kasih sayang dari orang tua, ia masih mendapatkan cukup kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Dari Mbok Jum, Fariz, Iput, Ayla, dokter Dayinta. Dan masih banyak lagi.
Tapi bagaimana dengan Garlanda? Memangnya siapa yang mau menyayanginya? Memangnya ada yang sudi berbagi kasih sayang dengannya? Mana? Siapa orangnya? Garlanda benar-benar ingin tahu. Atau memang tak ada sama sekali.
Tak terasa menetes air mata di pipi Garlanda. Pemuda itu pun segera berbaring kembali. Rasanya memang lebih baik berada di dunia mimpi saja. Lebih baik ia segera tidur lagi. Tidur terus, kalau bisa sampai ajal menjemput.
Apakah mimpinya nanti masih akan sama? Garlanda tak tahu. Lalu ... jika berbeda ... apakah ia akan merasakan mimpi aneh yang begitu menyakitkan lagi seperti dulu? Entah lah. Benar-benar tak ada yang tahu. Karena semuanya adalah misteri sang kreator kehidupan.
Karena dasar berpikir Garlanda sudah berubah, maka semenyakitkan atau pun seaneh apa mimpinya nanti, Garlanda tidak peduli. Yang jelas Garlanda mau lari, ia tidak mau merasakan kenyataan yang begitu menyedihkan seperti ini lagi.
Garlanda pun mulai tertidur. Mulai terlelap dan terhanyut dalam dunia mimpi itu. Dan ternyata Tuhan memang Maha Baik. Semua berjalan sesuai dengan keinginan Garlanda. Karena apa? Karena ia ternyata masih berada dalam mimpi yang sama.
Seketika Garlanda langsung tersenyum dan sangat bahagia. Tersenyum ... dalam wujud seorang siswa bernama Jodi itu kembali.
***
Jodi coba masuk ke akun media Sosialnya. Terdapat 125 notification, 17 friend requests dan 40 direct messages. Padahal terakhir dia online adalah sebelum latihan tadi. Yang artinya, Baru 4 jam yang lalu. Jodi pun berdecak kagum. Mengagumi popularitasnya sendiri. Jodi segera menerima friend request satu per satu, tidak peduli siapa pun orang-orang itu, semuanya ia terima. Ia mengernyit Melihat semua message dan notif-nya yang mayoritas merupakan cewek-cewek yang bertanya bagaimana keadaan Jodi, dan juga mengucap terima kasih karena friend request-nya diterima.
Sudah Jodi duga sih sebenarnya. Berita tentang dirinya yang ambruk di sekolah, pasti segera menjadi trending topik. Dan itu memang sudah terjadi. Semua orang heboh bertanya bagaimana keadaannya. Padahal hal-hal seperti ini sangat Jodi hindari. Karena akan memicu mereka lebih ingin tahu tentang keadaannya. Jodi mana mau jika kondisi sebenarnya diketahui khalayak ramai. Secara selama ini ia selalu berusaha menyembunyikan semuanya dari semua orang. Bahkan dari orang-orang terdekatnya sekali pun.
Apa lagi ini? Ada sebuah group invitation. Grup apa lagi ini coba? Tim doa bersama demi kesembuhan Jordiaz. Astaga ....
Rasa kesal Jodi hilang seketika. Tentu saja ia bahagia karena terdapat banyak orang yang peduli padanya seperti ini. Terlebih yang bergabung dalam grup itu sudah ada 11 ribu orang lebih sedikit. Padahal siswa di sekolahnya hanya sekitar 3 ribu orang saja. Yang lain pasti berasal dari sekolah lain dan umum, yang secara random diundang oleh sang pembuat grup.
Jodi segera mengeklik setuju bergabung. Bibir Jodi kembali tersenyum ketika membaca doa-doa baik orang di sana.
'Rasanya jantung gue mau copot pas dikasih tahu kalau Jodi pingsan di sekolah. Ada yang bilang dia berdarah juga. Itu bener apa nggal, sih? Semoga Jodi baik-baik aja ya. Cepat sembuh kamu, Jod! Saranghae.'
'Panik banget pas tahu kabar Jodi pingsan. Astaga ... kamu kenapa, Jodi? Tolong jangan sakit. Kalau kamu sakit, aku juga ngerasain sakitnya. Cepat sembuh ya sayang.'
'Jodi ... gimana ini? Kenapa kamu bisa pingsan, Jod? Kamu baik-baik aja, kan? Aku doain kamu cepat sembuh ya, Jod. Tolong, aku mohon kamu harus cepat membaik. I love you, Jodi.'
Dan masih banyak pesan serupa seperti itu. Jodi pun mengaminkan doa baik mereka. Matanya berkaca-kaca, karena ternyata sebegitu banyak orang yang peduli padanya. Jodi berharap keluarganya pun akan sama peduli juga seperti itu.
Jodi berharap permintaan mereka supaya Jodi sembuh, dikabulkan oleh Tuhan. Sedih rasanya Jodi jika permintaan mereka tak terkabul. Selama ini bahkan Jodi sendiri sudah seperti kehilangan harapan. Semoga mereka tidak akan pernah tahu tentang keadaan Jodi yang sebenarnya. Supaya mereka tak kehilangan harapan juga seperti si pesakitan.
Jodi tidak mungkin membalas pesan sebanyak itu semuanya. Jodi pun akhirnya menulis sebuah pesan baru pada dinding grup tersebut.
'Gue nggak apa-apa. Thanks ya semua! Kalian baik banget sama gue. Wish you all the best deh. Hehe. Jadi kaya ulang tahun.'
Hanya sebuah pesan yang cukup singkat, tapi cukup untuk mengabarkan pada mereka semua, bahwa ia baik-baik saja. Jodi berharap tak akan mengecewakan mereka ke depannya, karena membawa berita kurang baik.
Jodi mengkopi pesan itu, kemudian mengeposnya di statusnya sendiri, untuk memberi tahu orang-orang yang bertanya bagaimana keadaannya secara langsung melalui akun pribadinya.
Jodi kemudian segera keluar dari sosial medianya itu, karena kembali ingin fokus istirahat. Kalau di sana terus tidak akan ada habisnya pesan baru bermunculan. Membuat Jodi semakin mengalami beban mental jika tidak segera membalas segala pesan dari mereka semua.
Suara langkah high heels perlahan memasuki ruangan pavilion tulip No. 14 yang ditempati Jodi. Jodi hanya memandang sosok itu sekilas dan langsung melanjutkan permainan memencet keypad ponselnya dengan cekatan. Sosok indah itu tersenyum.
"Lagi texting-an sama siapa sih, Jod?" tanya dokter Dayanti.
"Sama cewek lah, Dok! Banyak cewek yang suka godain aku gitu! Cuman dokter doang yang nggak pernah godain aku." Jodi sengaja menjawab dengan tengil.
"Hus ... nggak boleh ngomong gitu. Ntar aku godain beneran, kamunya meleyot." Dokter Dayanti memang selalu bisa mengimbangi ucapan tengil Jodi.
Dokter Dayanti menggeser bangku kecil di dekat pintu. Mendekatkannya ke samping ranjang Jodi. Dengan pelan dan anggun sekali dia duduk di atasnya. Perlahan dia melipat kakinya. Kaki kanan di atas kaki kiri. Sepertinya, selain lulus fakultas kedokteran, dokter Dayanti juga lulus sekolah kepribadian dengan nilai A atau bintang 10. Keren! Sikapnya itu sudah seperti Tuan putri. Lembut, anggun dan sopan! Sangat paripurna.
"Aku pengen ngomong sama kamu tentang ...."
Belum selesai Dokter Day berbicara, Jodi sudah menyelanya. "Tentang kenapa aku nggak pernah check up sejak 2 bulan lalu kan? Mungkin jawaban aku akan menjengkelkan, tapi aku akan berusaha jujur. Aku males, Dok. Masih banyak yang harus aku lakukan yang lebih bermanfaat dari pada itu."
Dokter Day berusaha tidak emosional menghadapi jawaban Jodi yang terkesan tidak peduli dengan keadaannya sendiri. Sudah sejak awal dari didiagnosa dia begitu. Dan Dokter muda yang lemah lembut ini harus tahan menghadapi pasien seperti Jodi.
"Ya itu terserah kamu. Selama ini saya sudah berusaha peduli. Tapi kamunya malah begitu. Ini kan tentang keadaan kamu sendiri. Kalau kamu aja nggak peduli, orang lain mau peduli pun, nggak akan ada gunanya." Dokter Dayanti memberikan pernyataan menohok.
Jodi hanya diam mendengarkan. Entah apa yang remaja itu pikirkan.
Mumpung Jodi masih diam, dokter Dayanti pun langsung kembali bicara. "Gimana, Jod? Kamu sudah kasih tahu orang tua kamu?"
"Kenapa dokter selalu bertanya hal sama sih? Jawaban aku akan tetap sama kok. Belum! Gimana mau kasih tahu kalau mereka belum pulang?"
Dokter Dayanti pun menatap Jodi dengan sedih. Ia tahu betapa anak ini terluka batinnya akibat ulah keluarganya sendiri. Jodi tak peduli pada dirinya sendiri, adalah juga karena tak ada orang terdekatnya yang peduli. makanya ia ingin Merangkul anak ini dengan erat. Namum sampai sekarang belum bisa. Jodi sudah cukup terbuka dengannya, namun dinding pembatas itu tetap ada.
"Bukannya sudah 2 bulan yang lalu kamu bilang kalau mereka di Florida? Seharunya sudah pulang." Itu lah yang akhirnya dokter Dayanti ucapkan.
"Seharusnya begitu. Tapi Kenyataannya emang belum kan, Dok? Mereka itu kalo ke luar negeri minimal tiga bulan baru pulang. Ntar 3 hari di rumah, besoknya udah terbang lagi ke belahan dunia lain yang lainnya. Pokoknya mereka nggak punya waktu sama sekali buat aku."
Dokter Dayanti kembali berasa begitu miris. Seorang anak belasan tahun ditinggalkan, dibiarkan hidup seorang diri, hanya dengan asisten. Bagaimana orang tua bisa begitu tega? Tapi dokter Dayanti tak mau berhenti mendorong Jodi untuk mulai terbuka pada kedua orang tuanya.
"Jod, aku ngerti posisi kamu. Tapi apakah kamu akan terus memendam masalah ini sendirian? Leukemia itu berat, Jod! Kamu nggak akan betah lama-lama menghadapinya sendirian. Kamu butuh dukungan dari orang-orang terdekat kamu. Kalau bukan orang tua, minimal beri tahu asisten rumah tangga yang paling deket sama kamu. Yang kamu ceritain waktu itu, Mbah Jum. Atau sama sahabat kamu tadi. Atau sama pacar kamu. Atau sama siapa saja yang kamu percaya. Dan ... aku rasa sekarang ini untuk komunikasi, nggak melulu harus langsung kan. Kamu bisa telepon orang tua kamu, dan memberi tahu mereka saat itu juga."
"Lebih baik nggak usah, dok!" Jodi langsung menolak. "aku bisa cari dukungan dari orang-orang terdekat aku, tanpa mereka harus tau kalo aku sakit. Buktinya aku tetep masih bisa hidup normal sampai sekarang kan? Dan satu lagi yang perlu Dokter tahu! Tapi sebelumnya maaf. Kalo Dokter ngomong bahwa dokter ngerti posisi aku, berarti itu bohong. Karena,. Dokter itu ngerti apa sih tentang kehidupan aku?"
Dokter Dayanti terkesiap. Perkataan Jodi tadi memang benar. Dia tidak mengerti. Tidak mengerti sama sekali. Dia tak pernah merasakan apa yang Jodi rasakan. Selama ini dia dibesarkan di sebuah keluarga sederhana yang bahagia. Yang kental akan kasih sayang.
Dari hasil pendidikan yang didapatkannya, dia memang harus mensupport para pasien untuk membangun semangat mereka. Dia pikir menjadi seperti sang Pasien adalah cara yang akurat. Tapi kenyataannya memang dia bukan sang pasien itu. Dia tidak pernah menderita leukemia. Dan juga, orang tuanya tak pernah berhenti mendukung apapun yang dia lakukan dan inginkan selama itu positive.
Ini rumit. Jodi adalah pasien pertamanya setelah mendapat gelar dokter spesialis. Dan ternyata begini lah rasanya menjadi seseorang yang telah dia idamkan sejak kecil. Adalah seorang Dokter. Seseorang yang menjadi perantara kesembuhan dan penyemangat untuk para pasien.
Setelah kehilangan kata sesaat, Dokter Dayanti menarik napas dalam-dalam. Dan mulai bicara lagi.
"Yah, kalau itu pilihan kamu, aku nggak bisa cegah! Yang penting kamu semangat terus ya, Jod!" ucap Dokter Day dengan lirih seperti tertahan oleh sesuatu.
"Pasti!"
Dokter Dayanti tersenyum, dan mulai memeriksa keadaan Jodi. Karena memang itu lah tujuan utamanya datang ke sini tadi. "Syukur lah kondisi kamu baik. Kalau dalam tiga hari ke depan begini terus, kamu sudah boleh pulang. Ada yang lain yang perlu dibantu, sebelum aku pergi?"
"Alhamdulillah. Nggak, Dok. makasih!"
Dokter Dayanti mengerti dengan jawaban Jodi yang masih singkat, yang berarti, ia masih kesal. Dokter itu mencoba mengerti, dengan memberi waktu sendiri untuk sang pasien. Ia pun melenggang pergi. Diputarnya daun pintu yang berbentuk bulat itu.
Tapi aktivitas dokter Dayanti itu terhenti seketika. Ketika ia mendengarkan suara Jodi.
"Eh, Dok!"
Dokter Dayanti pun langsung berbalik dengan buru-buru. "Kenapa, Jod?"
"Uhm ... maaf ya sebelumnya. Aku ... Minta tolong cuciin seragamku. Mau nggak? Aku nanti tentu harus pulang dalam keadaan bersih. Kalau seragam aku kotor, bisa curiga lah si Mbok Jum."
Dokter Dayanti langsung sweat drops. Tak pernah tahu bahwa menjadi seorang Dokter Harus lah menjadi tukang cuci untuk para pasien juga.
"Astaga, Jodi ... aku pikir kamu kenapa. Astaga ... aku tadi tanya kamu butuh bantuan apa enggak, tapi ya nggak cuci baju juga kali!"
"Ya mau apa nggak? Kalau nggak aku panggil laundry online aja."
"Astaga ... iya, iya. Awas aja, ya. Ini nggak gratis!"
"Beuh ... nyuci baju satu doang pelit amat sih!"
"Tapi ini nyucinya susah. Kena darah!"
"Ish ... ya udah, bayarnya berapa, sih?"
Dokter Dayanti tersenyum, seperti baru saja menemukan ide. "Bayarnya nggak pakai duit."
"Terus pakai apa dong?"
"Uhm ... untuk sekarang masih rahasia dulu. Akan aku kasih tahu nanti kalau sudah saatnya."
"Curang. Pasti nanti Dokter bakal minta yang aneh-aneh!"
Dokter Dayanti pun tersenyum licik. "Nggak mau tahu. Pokoknya kamu udah janji. Janji adalah hutang. Harga diri laki-laki terletak pada tepat janjinya atau nggak!"
"Duh ... repot emang ngobrol sama cewek, nggak pernah ada benernya!"
Di saat Jodi mengomel, dokter Dayanti pun langsung mengambil baju seragam Jodi, sebelum anak itu berubah pikiran. Jodi pun tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dan pasrah.