Iput bersusah payah lari mencari Pak Irwan. Hingga ia menemukan laki-laki itu di lorong menuju ke UKS.
"Pak Irwan!" seru Iput sembari berusaha mengejar Pak Irwan. Karena badannya yang besar, Iput kesulitan berlari dengan cepat.
Meski begitu, ternyata teriakannya terdengar oleh telinga Pak Irwan yang tajam.
Pak Irwan pun segera menoleh. Mengernyit heran dengan Iput yang tumben-tumbennya memanggilnya. Sambil berlari begitu pula. "Ada apa?" tanyanya.
Pak Irwan berhenti berjalan, menunggu Iput datang.
Iput berusaha mempercepat larinya. Napasnya terengah-engah ketika sampai. "Pak ... tolongin Jodi, Pak." Iput terbata-bata mengatakan maksudnya.
"Jodi kenapa?" tanya Pak Irwan yang jelas bingung dengan situasi ini.
Iput merasa tidak ada waktu untuk menjelaskan. Ia segera menggandeng pak Irwan. Lebih tepatnya menyeret laki-laki itu.
Pak Irwan hanya pasrah mengikuti langkah kaki muridnya. Yang ternyata mengarah ke kamar mandi. Pak Irwan benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang kemudian benar-benar ia lihat ketika akhirnya sampai di lokasi. Membuat laki-laki itu terkejut setengah mati.
Kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa jadi seperti ini? Banyak sekali pertanyaan dalam otak Pak Irwan.
Tanpa ba bi bu, Pak Irwan segera mengecek kondisi vital Jodi. Mulai dari denyut nadi, area kelopak mata bagian dalam, juga suhu tubuhnya.
Pak Irwan juga berusaha melakukan pertolongan pertama untuk menyadarkan muridnya itu. Tapi ternyata sia-sia saja. kedua mata Jodi masih terpejam rapat.
"Gimana, Pak? Dia baik-baik aja, kan?" tanya Fariz, masih dengan mimik panik.
Pak Irwan terlihat gusar. Tak percaya dengan hasil pengecekan kondisi yang ia lakukan. Tapi dilihat dari kondisinya, yang sangat pucat, dan tidak kunjung sadar ketika diberi pertolongan pertama, agaknya ada kondisi serius yang mendukung hasil pemeriksaan dengan tangan kosongnya.
Jadi tentu saja lebih baik dipastikan semuanya.
Pak Irwan segera merogoh sakunya. Ia menelepon Pak Sam, salah satu guru juga di sekolah ini, yang tinggal dekat dengan sekolah. Dan syukur lah memiliki mobil.
"Halo, Pak Sam. Maaf mengganggu waktunya. Saya mau minta tolong, Pak. Ada murid yang sakit, tidak sadarkan diri. Sepertinya cukup serius kondisinya. Jika boleh saya mau pinjam mobil untuk membawa murid tersebut ke rumah sakit."
Fariz dan Iput diam mendengarkan Pak Irwan yang sedang bicara via telepon. Sembari membersihkan sisa-sisa darah dj area wajah Jodi. Mereka sebenarnya bertanya-tanya dalam hati. Kenapa harus dibawa ke rumah sakit? Apa kondisi Jodi benar-benar seserius itu? Tapi ... kenapa tiba-tiba sekali? Kenapa ... mereka seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Padahal selama ini mereka pikir, mereka tahu segalanya tentang Jodi.
***
Mr. Baggie sampai di SMAN Bhakti Nusa. Tapi dia tak menemukan siapa-siapa di sana. Yang minta dijemput pun tidak kelihatan batang hidungnya. Kedua Teman-temannya juga sudah lenyap semua. Ponsel Jodi ditelepon juga tidak diangkat. Merasa sudah lama menunggu, tanpa hasil. Akhirnya Mr. Baggie pulang lagi. Siapa tahu ternyata Jodi sudah pulang duluan.
***
Ketika Jodi bangun, dia mendapati tubuhnya telah mengenakan piyama warna biru muda. Diperhatikannya tetes demi tetes cairan infus yang mengalir dari botol ke selang hingga bermuara dalam pergelangan tangan kirinya. Dia tidak bingung di mana sekarang dia berada karena jelas sekali ini bukan bioskop. Orang gila saja pasti tahu tempat apa ini.
"Sudah bangun?" tanya seseorang berjas putih yang berdiri di sampingnya. Sedang memeriksa sesuatu.
Jodi mengernyit karena kepalanya kembali terasa sangat pusing. "Dok tolong dong ... kayaknya posisi kepala aku kurang tinggi." Jodi memang terbiasa menggunakan dua bantal untuk tidur. Jadi ia merasa kurang nyaman jika berbaring dengan posisi yang rata seluruh tubuh.
Ia pikir kepalanya pusing karena posisi yang tidak nyaman.
Dokter Dayanti segera menuruti kemauan Jodi. Diputarnya pegas yang berada di ujung bawah ranjang bagian atas. "Cukup?"
Jodi mengangguk. Dipegangnya selang oksigen dihidungnya. Selalu tidak suka jika lagi-lagi tersemat selang ini lagi dalam kedua lubang hidungnya.
"Emang risih. Ntar kalau kamu udah baikan, pasti dilepas." Dokter Dayanti langsung mengomel karena sudah hafal dengan apa yang akan Jodi katakan setelah ini.
Jodi hanya mencebik kesal. Ia sudah ditolak duluan sebelum sempat mengutarakan maksudnya.
"Saya kan sudah bilang berkali-kali sama kamu. Jaga kondisi. Makan yang teratur. Makan makanan yang sehat. Istirahat yang cukup. Jangan terlalu banyak pikiran. Dan pastinya jangan lupa minum obat. Jangan lupa rajin check up juga. Apa kamu bahkan melakukan satu dari semua itu?" Dokter muda nan cantik itu pun langsung menodong Jodi.
Jodi hanya diam. Merasa bersalah.
"Sekarang lihat kan akibatnya? Kondisi kamu jadi drop lagi. Hasil pemeriksaan terbaru belum keluar. Tapi akan langsung saya infokan kalau sudah keluar. Jodi ... saya harap kamu membawa satu saja anggota keluarga kamu, ya. Tolong. Ini masalah serius. Saya mohon." Sang dokter memohon dengan mata berkaca-kaca.
Tapi Jodi hanya diam seribu bahasa.
Dokter Dayanti menarik napas dalam. Berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Ya sudah. Nanti saya sambung lagi. Larena ada yang nungguin kamu di luar."
Ucapan dokter Dayanti itu pun berhasil membuat Jodi bicara. "Siapa, Dok?"
"Seorang guru dan dua orang teman kamu."
Jodi berpikir. Dua orang teman pasti Fariz dan Iput. Kasihan tadi pasti mereka ketakutan melihat Jodi kumat.
Dan seorang guru katanya? Siapa kira-kira gurunya?
"Uhm ... Dok! Jangan bilang apa-apa ya sama mereka." Jodi langsung memberi peringatan.
"Iya-iya. Tapi janji bawa satu anggota keluarga kamu ke sini saat hasil pemeriksaan keluar nanti."
"Astaga Dokter ...."
"Kalau nggak, ya udah. Aku kasih tahu mereka aja."
"Astaga ... Dokter bercandanya nggak lucu ih. Iya deh iya. Nanti aku bawa satu orang keluargaku."
"Janji harus ditepati. Kalau sampai ingkar janji, berarti kamu bukan laki-laki sejati."
"Astaga iya, Dok ... iya." Jodi berkata demikian namun pikirannya sedang merancang skenario ingkar janji. Biar saja ia dikatai bukan laki-laki sejati. Yang penting kenyataannya tidak demikian.
Dokter Dayanti melenggang keluar. Melihat sang Dokter sudah keluar, Pak Irwan, Fariz dan Iput berbondong-bondong menghampirinya.
Pak Irwan seperti baru saja mendapat kilatan surga. Rasa khawatir, seperti sirna begitu saja. Melihat tubuh tinggi ramping semampai di depannya. Wajahnya cantik dan manis. Meskipun juga memakai kacamata, tapi penampilannya tak terlihat cupu sama sekali. Cuaca yang sebelumnya panas, sekarang menjadi sesejuk musim semi. Koridor Rumah Sakit seperti dipenuhi derasnya hujan Sakura. Pak Irwan tak berkedip. Mulutnya menganga. Air liurnya sudah sampai di ujung. Hanya tinggal menetes saja.
Iput seketika menginjak kaki Pak Irwan untuk membawa kembali gurunya itu ke dunia nyata.
Pak Irwan seketika berteriak keras. Rasanya seperti baru saja diinjak gajah.
Seketika lenyap lah sudah kesejukan dan hujan bunga Sakura. Tapi kesempurnaan ciptaan Allah di depannya itu tak sirna sedikitpun. Melihat Pak Irwan yang sepertinya tetap tak berubah posisi. Faris mencubit pinggangnya. Kali ini berhasil membuat Pak Irwan menoleh kepadanya.
"Kamu kenapa sih, Put? Kenapa saya malah diinjak." Pak Irwan langsung protes.
"Tanya keadaan Jodi dong, Pak! Malah ngelamun!" Fariz yang menjelaskan.
pak Irwan yang menyadari kesalahannya, hanya segera pasang tampang cool. Untuk bicara pada kilatan surga yang membuatnya sejenak lupa kenyataan. "Uhm, Bagaimana keadaan murid saya, Dok?"
Makhluk indah tadi tersenyum. Membuat Pak Irwan semakin larut. Di bawah alam sadarnya, dia juga ikut tersenyum.
"Jodi baik-baik saja, Pak! Cuma kelelahan saja. Kurang istirahat," jawab makhluk indah itu lembut. Senyumnya tidak ketinggalan mengiringi setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Air muka Fariz dan Iput benar-benar menunjukkan seperti tertimpa ratusan ulekan dapur. Mereka geram sekali. Gurunya itu kembali terlumpuhkan oleh panah Cinta Cupid. Kurang ajar sekali anak kecil telanjang itu. Tanpa permisi telah menembakkan panah asmara. Tanpa kenal saat dan waktu. Bahkan di saat yang tak tepat sama sekali seperti saat ini. Dasar! Akhirnya Faris angkat bicara. Giginya sudah gemerutuk. Gemas.
"Kami boleh masuk kan, Dok?" tanya Fariz segera. Menunggu Pak Irwan kelamaan.
"Oh, Boleh. Silakan."
"Makasih ya, Dok."
"Memang sudah tugas saya. Baik kalau begitu saya permisi dulu. Mari!"
Fariz berpikir dan terus berpikir. Rasanya dia tidak asing dengan wajah Dokter tadi. Sepertinya sudah sangat sering Fariz bertemu dengannya. Tapi di mana?
"Put, lo ngerasa kenal sama Doketr cantik tadi?"
"Iya. Gue juga ngerasa sering ketemu tapi di mana lupa."
Di kamar, mereka melihat Jodi sedang memainkan ponselnya. Di tangan kirinya terpasang infus. Tanpa tedeng aling-aling Iput menepuk atau tepatnya memukul bahu Jodi. Dan duduk dengan santainya di sebelahnya. Secara refleks, Jodi memegang bahunya yang baru saja ketiban batu yang isinya sun go kong.
"Lo yang punya adap dikit kenapa sih, Ndut eh, Put? Kagak liat temen loe lagi sakit?" Fariz memarahi Iput. Kali ini Iput tak menjawab. Dia hanya cengengesan saja. Matanya itu benar-benar tak terlihat seperti orang sadar. Bila sedang Melek, matanya sipit. Dan saat tertawa seperti sekarang ini, matanya merem.
Faris melanjutkan bicaranya. Tapi tak lagi pada Iput. "Gimana, Jod? Lo baik-baik aja kan? Gimana sampai bisa semaput begitu? Udah gue tanya dari tadi apa lo sakit. Katanya enggak. Tapi kok mimisan. Pake semaput segala. Bikin orang panik."
Jodi tersenyum tipis. Jujur ia terharu dengan kepedulian kedua sahabatnya. Tahu ia pingsan dan mimisan saja sudah panik begini. Bagaimana kalau mereka tahu kenyataan sebenarnya?
Dan jujur, Jodi juga tersentuh kala tahu guru yang dimaksud dokter Dayanti adalah Pak Irwan. Ia tak menyangka saja. Padahal ia pikir sslama ini Pak Irwan membencinya.
"Emang kata Dokter tadi gimana?" Jodi malah balik bertanya, sekadar untuk memastikan bahwa Dokter Day tutup mulut tentang keadaannya yang sebenarnya pada teman-temannya.
"Ya katanya lo kecapean aja. Kurang istirahat."
"Nah tu tauk. Ya, gitu, Gue nggak apa- apa. Udah tahu nanya!" Jodi malah menjawab dengan tidak serius.
"Yah, gue kan perhatian sama lo. Makanya lain kali kalo sakit, capek, meriang, demam, lelah, letih, lesu atau saudara-saudaranya lagi mampir, mending di rumah aja! Kagak usah sekolah. Pake acara mimisan terus kolaps lagi! Bikin khawatir aja!"
"Lebay mode on!"
Fariz mencebik kesal. Sudah perhatian malah dikatai lebay.
Iput teringat sesuatu. Dia kembali senyam-senyum melihat Pak Irwan. Tentang Insiden ketemu Dokter Cantik tadi. Pipi Pak Irwan benar-benar memerah seperti udang rebus. Sepertinya beliau masih sangat terpesona pada Dokter Dayanti. Melihat kelakuan Iput, Fariz juga ingat akan hal itu. Dia juga ikutan menatap pak Irwan. Sang guru yang sedang salah tingkah semakin salah tingkah.
"Kalian ini kenapa?" tanya Pak Irwan sok tegas.
Fariz dan Iput terbahak. Membuat Jodi penasaran. "Kenapa sih?"
Sambil masih terbahak, Iput menjawab pertanyaan Jodi. "Guru lo tuh! Hes just stabbed by Cupids arrow of love."
"Ngomong apa sih kamu, Syaifudin?" Pak Irwan berusaha mengelak.
Fariz membantu sahabatnya untuk mengeroyok Pak Irwan. "Halah, nggak usah bohong, Pak! Apa perlu saya kasih lihat reka ulangnya. Ada nih di hape saya. Tadi saya rekam kejadian itu, jadi bapak nggak bisa ngelak lagi."
"Eh, Jangan! Jangan, Fariz!" Pak Irwan langsung panik.
"Tuu kan!? Mana mungkin saya bawa HP, Pak! Kan dilarang di sekolah! Bengal-bengal begini saya selalu menaati peraturan!" kata Fariz berbohong. Mana mungkin dia menaatin peraturan? Secara sembunyi-sembunyi, dia menutupi hapenya yang menonjol dari saku celana.
Dengan refleks, Jodi menyembunyikan ponselnya di bawah selimut. Dia benar-benar nggak sadar tadi. Untung Pak Irwan sedang kasmaran. Sehingga membuatnya lalai dengan peraturan sekolah.
Sekarang Jodi paham betul apa maksud kedua sahabatnya itu. Pasti Pak Irwan jatuh cinta pada Dokter Dayanti yang bodynya persis seperti Aura Kasih dan wajahnya persis seperti Selena Gomez. Haha, Ternyata seleranya tinggi juga.
"Namanya Dokter Dayanti, Pak! Umurnya masih 28 tahun. Gaet aja! Entar bapak nggak jadi brondong-brondong amat kok. Cuma selisih 2 tahun!" Jody Ikut-ikut membuat gurunya semakin salah tingkah. Sama sekali tak memikirkan apa akibatnya besok hari di sekolah.
Pak Irwan bagai mendapat setetes air di gurun sahara. Namanya Dayanti. Indah! Seindah wajahnya. Tapi beliau masih belum mau mengaku. Tak disangka sang Guru juga seorang jagoan ngeles.
Sesat Crew hanya ngakak bareng mendengar alasan-alasan yang diutarakan Pak Irwan.
Di tengah tertawanya, Fariz teringat sesuatu. "Anyway, Jod! Gue kok ngerasa nggak asing ya sama Dokter tadi. Iput juga ngerasa hal yang sama kaya gue."
"Iya. Terus, lo kok kayanya udah akrab banget sama dia. Pake tau umur dia juga lagi," sambung Iput.
Jodi terlihat panic menganggapi omongan kedua sahabatnya tadi. Kenapa dia tadi harus ceroboh mengatakan tentang umur Dokter Day segala? Bisa terbongkar rahasianya selama ini.
"Uhm, anu,.. alah mungkin itu Cuman perasaan kalian aja. Manusia di dunia ini kan banyak yang mirip. Kalo soal umur mah, apa sih yang nggak bisa didapetin Jodi dari seorang wanita. Bahkan hanya dalam waktu sekejap. Jodi gitu loh!"
Sekarang giliran Pak Irwan yang merasa tersindir. Dia geram juga. Untuk urusan wanita, dia memang jauh dari seorang Jodi. Tapi dia tidak percaya bahwa wanita sebijak Dokter tadi, juga akan dengan mudahnya didapatkan oleh murid Bengal seperti dia. Tapi Pak Irwan berusaha sabar karena Jodi sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk dihukum. Tapi awas saja nanti kalau sudah sembuh.
"Eh, Syaifudin, Fariz. Ini sudah Magrib. Kalian harus pulang. Ya udah ya, Jodi. Kami pulang dulu. Tadi sebenarnya Bapak panggil kamu. Tapi ada insiden kecil ini, jadi urusannya diselesaikan pas kamu sembuh nanti."
Jodi mengacungkan jari jempolnya sambil ngakak. Dia tidak percaya bahwa ini nyata. Wow. Pak Irwan jatuh cinta. Bahkan sampai salah tingkah begitu.
Pak Irwan menarik Iput dan Faris. Iput didekapnya di bawah bahu ketek kiri dan Faris di kanan. Mungkin itu adalah hadiah pak Irwan untuk mereka atas kebawelan mereka. Faris dan Iput merengut. Tapi Jodi masih betah terbahak.
"Kita balik dulu ya, Jod!' kata Faris.
"Cepet sembuh lo. Ntar kita bikin kacau lagi!" timpal Iput.
Dengan refleks, tangan Pak Irwan memukul kepala Iput. Iput pun tersenyum mengajak damai pada Pak Irwan.
***