Suara khas gerbang yang sedang dibuka, cukup memekakan telinga orang-orang di sekitarnya. Gerbang itu dibuka oleh Pak Bagio alias Mr. Bagie. Panggilan unik kesayangan dari Jodi untuk laki-laki itu.
"Mr. Bagie!" celetuk seseorang yang tadi menyalakan bel dari luar, yang ternyata adalah Jodi.
Jodi yang sudah dua hari tidak pulang. Ini pun pulang karena kabur dari kejaran dokter Dayanti. Setelah seragamnya diberikan kembali, Jodi langsung ganti baju dan pergi begitu saja.
"Lho ... ya Allah ... Mas Jodi! Ke mana aja? Kenapa baru pulang. Astaga ... nggak kasih kabar sama sekali. Semua orang khawatir." Mr. Bagie langsung meluapkan rasa syukur karena Jodi akhirnya pulang juga.
Jodi tersenyum maklum. Sudah menduga jika reaksi Mr Bagie akan seperti itu. "Sudah, Pak!" Jodi hanya Menjawab singkat. Jodi buru-buru meneruskan langkahnya, karena sudah terlalu rindu dengan seseorang.
Mr. Bagie hanya menatap Jodi yang berlalu melewatinya. Ingin rasa hati lanjut bertanya tentang menghilangnya Jodi selama dua hari. Tapi bibirnya bungkam, merasa bahwa Jodi tidak akan menjawab pertanyaannya dengan benar.
langkah Jodi tegas menuju ke rumah megah milik keluarganya itu. Namun bukan kemegahan rumah itu yang membuat Jodi ingin cepat pulang, sampai kabur dari rumah sakit segala. Tapai seseorang di dalam sana lah yang membuatnya seperti itu.
Suasana terasa syahdu. Mendung, menghindarkan kulit Jodi dari sengatan mentari yang menyakitkan. Suasana favorit Jodi. Mendung tanpa hujan. Membuatnya merasa nyaman, seolah-olah ia bisa bernapas lebih lega tiap kali suasana dunia seperti ini.
Langkah kaki Jodi santai menelusuri jalan setapak di antara hamparan rumput taman nan rapi. Di kiri kanannya ada banyak sekali tumbuhan seperti pakis haji, cemara, bunga kertas, dan lain-lain yang tumbuh subur. Earphone tak lepas dari telinga Jodi. Lantunan today was a fairytale dari talor swift semakin memperdalam makna sore ini. Jodi memang menyukai lagu-lagu country milik wanita berambut pirang itu. Menurut Jodi, irama lagu-lagunya membuat nyaman telinga dan hatinya tiap kali mendengar lantunannya.
"Mbah!... Mbah, Jum!" Jodi memanggil-manggil seseorang yang ia rindukan itu.
"MBAH JUUUUMMMM!" Jodi berteriak karena yang bersangkutan tak kunjung muncul.
Rasa rindunya pada Mbah Jum tak terbendung lagi. Layaknya rasa rindu seorang anak pada ibunya. Tentu saja Jodi menganggap Mbah Jum sebagai ibunya. Karena wanita itu lah yang sudah merawatnya sejak bayi, menyayanginya seperti menyayangi anak sendiri.
Perlahan sosok renta yang sangat Jodi sayang itu muncul dari tinggi dan besarnya pintu masuk rumah. "Mas, Mas Iyaz!" Sosok tua itu berlari. Meskipun kekuatan larinya itu hanya secepat ukuran jalan kaki bagi Jodi. Tapi itu butuh perjuangan yang sangat keras karena usianya yang sudah lanjut.
Jodi menyambutnya dengan senyuman terbaik. Jodi mempercepat langkahnya supaya Mbah Jum tidak perlu memaksakan diri untuk terus berlari.
"Aduh, Mas Iyaz kemana aja? Simbah khawatir banget. Kenapa hp-nya susah banget dihubungi? Kenapa dijemput di sekolah malah nggak ada, padahal Mas Iyaz sempat telepon untuk dijemput." Mbah Jum memeluk Jodi dengan erat. Tentu saja tak hanya Jodi satu-satunya pihak yang rindu. Mbah Jum pun sama, ia sanga merindukan Jodi.
"Iya, nih. Maaf ya, Mbah. Karena nggak kasih kabar. Aku sebenarnya ikut pulang sama Iput, soalnya Mr. Bagie kelamaan jemputnya. Aku nggak ngabarin karena Hp aku eror." Jodi berbohong tentu saja.
"Terus kenapa kok sampai dua hari baru pulang, Mas?" Mbah Jum lanjut bertanya.
"Ya aku bosan aja, mbah. Lagi pengin berada di situasi baru. Maaf ya Mbah udah bikin Khawatir. Aku janji deh, lain kali nggak akan gitu lagi."
Mbah Jum sebenarnya masih gemas ingin menginterogasi Jodi. Tapi hatinya sudah luluh, karena Jodi sudah minta maaf. Yang pentiing sekarang Jodi sudah pulang. Dan ia baik-baik saja. Meski terlihat agak pucat. Mbah Jum pun memutuskan untuk menanyakan hal lain. "Mas Iyaz sudah makan?"
"Udah kok!" jawab Jodi berbohong lagi tentu saja. Padahal dia belum makan apa-apa. Bahkan sejak masuk rumah sakit kemarin, ia tidak bisa makan dengan benar. Karena setiap kali mencoba makan, ia akan langsung muntah. Satu-satunya asupan yang ia dapat, hanya dari cairan infus.
"Duh ... Mbah .... Rasanya aku kok capek banget, ya. Pengin tidur. Tapi nggak mau tidur sendiri. Pengin dinyanyiin sama Mbah Jum. Kayak dulu waktu aku masih kecil. Hehe."
Mbah Jum langsung tersenyum. Teringat kembali betapa indahnya masa-masa itu yang mereka habiskan bersama.
"Manjanya kumat nih Mas Iyaz. Ya udah, kalau gitu, ayo masuk. Biar Mbah nyanyi sampai Mas Iyaz puas." Mbah Jum dengan senang hati menuruti keinginan Jodi.
Mbah Jum merangkul Jordiaz. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Mbah Jum mengarahkan Jorsdiaz ke ruang tamu. Ia duduk di ujung sofa panjang. Jodi berbaring di sana, menjadikan pangkuan Mbah Jum sebagai bantal. Jodi tersenyum bahagia. Bersyukur karena ia memiliki Mbah Jum di dalam hidupnya.
Mbah Jum pun mulai melantunkan lagu dolanan khas jawa, yang sering dinyanyikan untuk menidurkan bayi, yang berjudul tak lelo lelo lelo ledhung.
Sebuah mobil warna merah masuk ke halaman Kediaman Aditya, terlihat dari dinding kaca yang tak tertutup gorden.. Mbah Jum langsung senang sekali saat mobil itu datang. Sementara Ekspresi Jodi datar-datar saja.
"Mereka pulang, Mbah?" tanya Jodi. Agak heran sebenarnya. Tumben pulangnya satu bulan lebih cepat dari biasanya.
"Iya, Mas. Kemarin Ibu telepon katanya pulang hari ini. Mbah belum kasih tahu Mas Iyaz. Kan Mas Iyaz baru pulang."
Jodi mengangguk-angguk. "Masuk akal."
***
Ayla bengong. Dia nunggu cafenya tanpa semangat. Bunda sama ayahnya sudah paham betul kenapa Ayla begitu. Pasti karena Jodi. Mumpung adeknya ayla lagi tidur, Bundanya Ayla segera menggandeng anaknya ke dalam, dan membiarkan sang Ayah nunggu café sendirian.
"Kenapa lagi sama Jodi? Dia tambah mesra sama pacarnya?" Sang Bunda coba mengorek apa yang membuat anaknya jadi begitu galau.
Tentu saja ia tahu Jodi. Karena anak itu pernah main ke sini. Dan ia tahu betul anaknya sangat suka pada Jodi. Dari cara Ayla menatap Jodi sudah tertebak. Mengingat Bunda pun juga pernah muda. Sudah khatam dengan ciri-ciri daun muda yang sedang dimabuk asmara.
Ayla menggeleng lemas. Sebagai jawaban atas pertanyaan sang bunda. Tidak kok. Jodi tidak semakin mesra dengan pacarnya. Bahkam Sudah dua bulan ini Ayla nggak pernah lihat mereka sama-sama lagi. Awalnya Ayla senang karena dia pikir mereka udah putus. Dan peluangnya untuk mendapatkan Jodi kembali terbuka lebar. Meskipun harus bersaing dengan berjuta umat hawa lain yang juga mendambakan hal sama.
Ayla sebenarnya galau karena Jodi tidak ada kabar. Ia juga tergabung dalam grup doa bersama untuk kesembuhan Jodi. Sudah cukup senang karena Jodi muncul sekali untuk memberi kabar. Tapi kemudian menghilang lagi sampai sekarang.
Ayla sudah menghubungi Jodi secara langsung, tapi tak pernah dapat tanggapan. Jangankan Ayla, Iput dan Fariz bahkan juga tidak bisa menghubungi Jodi.
"Terus kenapa, dong?" tanya bunda lagi. "Kenapa kamu galau terus? Padahal kamu biasanya happy setiap kali pulang sekolah. Kenapa dua hari ini justru galau?"
"Kayaknya Jodi habis putus sama pacarnya. Dia kayaknya lagi galau. Sampai sakit. Sampai nggak ada kabar sama sekali. Bahkan Iput sama Fariz juga nggak bisa hubungin dia. Jodi kayak menghilang ditelan bumi. Dia bahkan juga nggak masuk sekolah."
Ah ... kini Bunda sudah mengerti ke mana arah bicara putrinya itu.
"Lhoh, bukannya kamu harusnya seneng. Itu kan keinginan kamu! Sehingga kamu bisa lebih leluasa dekat sama Jodi. Jodi hanya galau sesaat aja itu. Dia bakal kembali dengan keadaan lebih kuat dibanding sebelumnya. Siap untuk membuka hati lagi."
"Kalo ini emang karena doa Ayla dan fans-fans Jodi yang lain, maka Ayla merasa bersalah banget! Harusnya kami nggak doain Jodi dan pacarnya putus. Biar Jodi bahagia aja sama dia. Bukannya malah ngilang tanpa kabar begini." Ayla terdiam setelah itu. Ia galau karena asumsinya sendiri. Padahal asumsinya tidak benar.
Sang bunda segera mendekatkan posisi duduknya ke Ayla, dan mengelus pundak anaknya.
"Cerita dong yang detail sama Bunda. Uhm ... galau itu sudah wajar dialami manusia, apa lagi remaja seusia kalian. Jalan satu-satunya supaya tetap berada pada jalur, adalah bercerita pada kami orang yang lebih dewasa. Karena kami sudah pernah muda sebelumnya. Insya Allah kami akan memberi solusi yang tepat."
Ayla menatap sang ibu penuh haru. Bersyukur memiliki seorang ibu yang sangat open minded dan tidak kolot sama sekali. "Jodi berubah. Jadi nggak seceria dulu lagi. Dia juga nggak pernah semangat lagi buat ngapa-ngapain. Termasuk main bola. Dia juga jadi nggak suka mainin lagu-lagu indah dengan gitarnya. Dia malah suka genjrang-genjreng nggak jelas. Senar gitarnya sampai berkali-kali putus karena itu. Mungkin itu gara-gara dia putus sama Mbak Titi!"
"Terus?"
"Ya ... Ayla nggak pengen kalo ternyata Jodi berubah gara-gara itu. Soalnya yang paling penting buat Ayla adalah, Jodi bahagia!"
Bunda Ayla memeluk anaknya. Dia semakin menyadari bahwa anaknya sudah benar-benar dewasa sekarang. Sudah mengenal cinta, dan rela berkorban untuk cinta tanpa ingin egois karena lebih mementingkan perasaanya. Dia rela sakit, asal orang yang dicintainya bahagia.
"Ini bukan salah kamu, atau cewek-cewek lain yang suka sama Jodi. Lumrah lah kalo kamu dan mereka cemburu, kan kalian cinta dia. Tapi kalo Jodi memang harus putus, itu adalah takdir!"
"Tapi Bun, kalo tau Jodi bakal kaya gini, aku nggak mau mereka putus."
"Iya. Bunda ngerti. Tapi kan, bisa jadi Jodi berubah karena faktor lain yang kita nggak tahu. Sebuah hal yang mungkin nggak bisa dia ceritakan sembarangan ke orang lain. Kamu tenang aja, kalau Jodi sudah merasa lebih baik, pasti dia akan muncul dengan sendirinya. Baru lah di saat itu, kamu dekati dia. Kamu kasih dia dukungan. Jangan paksa dia untuk cerita. Karena kalau dia ingin, dia akan bercerita sendiri."
Ayla masih terdiam. Berusaha mencerna setiap penjelasan yang diberikan oleh ibunya. Memikirkan kira-kira apa faktor lain yang sudah membuat Jodi banyak berubah. Apakah ia akan bisa membantu Jodi merasa lebih baik?
"Ya udah ya sayang! Bunda hanya pesen satu hal sama kamu, jangan pernah nyerah untuk satu hal yang kamu inginkan. Kamu harus berusaha! Kalian itu masih muda, sama-sama masih mencari jati diri. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bertanya pada orang dewasa. Supaya kalian tidak salah langkah."
Berusaha? Wew. Ayla mau banget. Tapi dia nggak tahu aja harus usaha kaya gimana. Apakah dia harus merubah dirinya sendiri. Merombaknya jadi seperti Mbak Titi. Oh no no. itu harus operasi plastik, dan itu mahal banget. Atau penampilannya mungkin harus sedikit diubah? Tapi mau diubah kaya gimana?
***
Pagi datang, Jodi sudah siap dengan seragamnya. Lagi-lagi Aldi menghambat langkahnya untuk segera berangkat. Lagi-lagi Aldi muncul di pikirannya. Dia ingat kembali hari terakhir dia bersama dengannya. Diraihnya foto dirinya bersama Aldi di meja. Gambar itu memperlihatkan Jodi yang sedang usil hampir menggigit telinga Aldi. Tidak ada yang tau, bahwa foto itu akan menjadi foto terakhir mereka berdua. Jodi tersenyum miris melihatnya.
Malam sebelum keluarga Jodi pergi liburan untuk merayakan kelulusan para putra aditya. 15 november 2008.
Refleksi bayangan diri Jodi di kaca kamar mandi, memperlihatkan dirinya. Titik titik air sebesar jagung menetes dari wajahnya. Meski sudah dibasuh berkali-kali dia belum juga menemukan apa yang dicarinya. Dari segi fisik, tak ada perbedaan antara dia dan Aldi. Tapi ...
"JAL!"
Tidak ada jawaban.
"IJAL!"
"IYA, IYA BENTAAARRR!" Aldi atau lebih lengkapnya Rizaldi, muncul tergopoh-gopoh. Dia tadi sebenarnya sudah tertidur. Tapi teriakan saudara kembarnya itu seperti terumpet isrofil yang ditiup untuk menghidupkan orang mati.
Ia sejak kecil dipanggil Ijal oleh orang-orang di rumah. Supaya serasi dengan Jodi. Ijal dan Iyaz. Mereka sama-sama punya nama panggilan sayang.
"Kenapa sih?"
"Sini lo!"
"Kenapa?"
Jodi menarik lengan kakaknya. Kini mereka berdua bersanding. Rekleksi diri mereka ada di cermin. Benar-benar sama. Tidak ada bedanya. Untung piyama mereka beda warna. Jadi masih bisa dibedakan mana yang Jodi mana yang Aldi.