Dua bulan berlalu. Tim medis menganjurkan pada keluarga ini untuk melepas semua peralatan medis yang menyokong kehidupan Lintang. Karena tak ada gunanya meskipun itu diteruskan, Lintang tidak akan pernah sadar.
Justru bila alat - alat medis yang terpasang, akan semakin membebani Lintang sendiri. Anggota keluarga yang lain sudah pasrah. Mereka sudah merelakan Lintang. Mereka juga tidak ingin memperberat bebannya.
Tapi tidak dengan Dion. Ia menentang anjuran dokter tersebut. Ia bahkan juga belum bisa memaafkan Ayah. Ia masih menyalahkan Ayah atas apa yang terjadi pada Lintang sekarang. Seandainya waktu dapat diputar kembali.
Dion benar - benar belum bisa menerima ini semua.
Ia terbiasa dengan keberadaan Lintang seumur hidupnya. Lintang satu - satunya kakak, sekaligus satu - satunya orang yang selalu ada untuknya. Ia lebih banyak mengabiskan waktu dengan Lintang dari pada dengan Ayah dan Ibu.
Bahkan saat kecelakaan itu terjadi, mereka juga mengalaminya bersama - sama. Jika Lintang benar - benar pergi, lalu bagaimana dengan dirinya?
“Nak, Ibu tahu ini berat buat kamu. Ayah sudah menyesal. Kita semua pun menyesal. Tapi, mungkin memang sudah saatnya kita merelakan Mas Lintang,” kata Ibu seraya mengusap punggungnya.
“Apa nggak bisa nunggu sebentar lagi, Bu? Bagaimana kalau tiba - tiba Tuhan memberi keajaiban? Bagaimana kalau saat ini Tuhan hanya sedang menguji kesabaran kita?”
“Tapi ini udah dua bulan, Sayang. Kasihan kakak kamu.”
Rupanya Dion masih bersikeras. “Aku pernah baca artikel di internet. Ada seorang pasien mati otak, yang akhirnya bangun setelah puluhan tahun. Kesabaran dan penantian keluarganya sama sekali nggak sia - sia. Apa Ibu nggak mau bersabar sebentar lagi?
“Nggak apa - apa jika nantinya Mas Lintang cacat, aku yang bakal rawat dia. Sebagai ganti atas pengorbanannya selama ini, sama aku, sama Kian. Aku rela lakuin apapun, asal Mas Lintang nggak pergi.”
Ibu lagi - lagi hanya bisa menangis. Rasa bersalahnya karena sudah terlalu banyak mengabaikan tugasnya sebagai seorang ibu kembali muncul. Ia sudah terlalu banyak absen dalam kehidupan ketiga putranya selama ini.
Tak heran jika akhirnya Dion menjadi begitu bergantung pada Lintang. Kian pun demikian. Meski tidak separah Dion, tapi wanita itu tahu bahwa Kian, yang kini menjadi jauh lebih pendiam, juga mengalami kesulitan yang sama.
Bahkan dalam doanya, selain meminta yang terbaik untuk ketiga putranya, ia juga mengatakan pada Tuhan, bahwa ia rela menukar nyawanya, asal Lintang selamat. Dan kehidupan mereka bertiga kembali seperti semula.
***
Dion tersenyum menatap anak - anak bermain sepak bola. Ia tak pernah tahu, jika ternyata saat sore hari banyak anak - anak yang bermain di lapangan sekolah. Karena selama ini ia tak pernah pulang sore.
Dion belum pulang karena harus menunggu Kian yang belum selesai mengurus masalahnya.
Jika dulu Lintang adalah orang yang dijadikan walinya, maka tidak dengan sekarang. Semuanya sudah berubah.
Kian selalu datang ke kantor guru untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Karena Dion tidak mau ikut campur. Bukannya tidak mau. Ia hanya takut. Ia bukan tipe orang yang pintar bicara seperti Lintang ataupun Kian. Ia hanya seorang pendiam yang penakut.
Dion berlari ketika melihat salah seorang dari anak - anak itu terjatuh. Ia segera menolongnya.
“Kamu nggak apa - apa?”
Anak itu tersenyum. Ia kemudian menggeleng. Setelahnya, anak itu menggerak - gerakkan tangannya. Bukan gerakan tangan biasa. Seperti gabungan makna yang memiliki arti.
“Dia bilang, terima kasih karena sudah menolongnya,” sahut seorang anak yang tiba - tiba muncul, ia bertubuh kecil, matanya sipit, dan pipinya bulat.
Dion mengangguk mengerti. Jadi itu artinya.
Si anak yang terjatuh tadi lalu mengambil bolanya dan pergi, kembali bergabung bersama teman - temannya yang lain.
“Kakak nggak bisu sejak lahir,” ujar si pipi bulat lagi. “Dia jadi bisu karena sakit. Kata Mama ada kanker di tenggorokannya, dia nggak akan pernah bisa ngomong lagi.”
Mata Dion berkaca - kaca mendengarkannya, memang dasarnya ia cengeng, gampang terenyuh hanya karena hal kecil. Namun bagaimana bisa anak sekecil itu memiliki penyakit kanker? Jadi hal ini tidaklah kecil sama sekali bukan?
“Apa kankernya sudah sangat parah? Apa nggak bisa dioperasi?”
“Kakak udah sering dioperasi. Tapi kankernya selalu numbuh lagi. Terakhir dokter bilang, kakak udah nggak ada harapan lagi. Katanya hidup kakak tinggal tiga bulan.”
“T - tiga bulan?” Dion tergagap. “Tapi kenapa kamu kelihatan biasa aja? Kenapa kamu nggak sedih?”
Si pipi bulat menatap Dion dengan sengit. “Kata siapa aku nggak sedih? Aku sedih kok,” pandangannya melunak.
“Aku sering nangis diam - diam. Aku juga nggak pengen kehilangan kakak. Tapi karena hanya kematian yang bisa menghentikan segala penderitaan dan beban kakak, jadi nggak apa - apa deh, aku rela. Lagi pula kakak pasti lebih bahagia di sisi Tuhan.”
Dion memikirkan kata - kata si pipi bulat. Ia jadi teringat Lintang. Apa selama ini benar yang dikatakan Dokter Sultan, Ibu dan Ayah, bahwa Lintang memang menderita dengan keadaannya sekarang?
“Ken, Kak Yongki pingsan!” seruan anak-anak lain terdengar bersahutan.
Benar bahwa anak tadi pingsan. Ia tergeletak di tengah lapangan, dan anak - anak lain mengerumuninya. Si pipi bulat berlari menghampiri kakaknya.
Sedangkan Dion berlari ke arah lain. Ia ingin mencari pertolongan. Tapi kenapa di mana - mana tidak ada orang? Kenapa di mana - mana sepi? Bahkan ruang guru juga sepi. Apa Kian sudah pulang duluan?
Dion pun berinisiatif kembali. Ia harus kembali untuk menolong anak itu. Namun saat ia sampai lapangan, anak - anak tadi sudah tidak ada. Lapangan kosong. Apa seseorang sudah menolong mereka?
“Yon!” seru sebuah suara.
Dion menoleh, ternyata Kian. “Yuk, balik!” si bungsu merangkul pundaknya.
Dion terdiam. Ia melihat suasana sekitar. Sekolah ini kembali ramai. Banyak murid yang mengikuti ekskul di sana sini. Lalu kenapa tadi sepi sekali? Dan kenapa sekarang tiba - tiba ramai lagi?
“Yon, kenapa sih?” Kian kebingungan.
Dion menatap Kian. Ia agak takut. Bulu kuduknya berdiri. Ia kemudian menarik tangan Kian untuk segera pergi dari sana.
***
Dion membuka pintu kamar Lintang. Sudah tiba gilirannya. Ia ingin segera masuk dan melaksanakan niatya. Mengetahui Dion sudah masuk. Kian buru - buru mengusap pipinya. Tak ingin Dion tahu bahwa ia menangis. Terlambat, karena Dion sudah terlanjur tahu.
“Udah giliran lo ya.” Kian beranjak dari kursi plastik biru itu. Ia berjalan cepat melewati Dion.
Dion menggeser kursi plastik itu. Ia ingin lebih dekat dengan Lintang.
Bukannya langsung bicara, Dion malah memandangi kakaknya itu. Air matanya menetes lagi. Bahkan ia belum mulai bicara sepatah kata pun.
Jauh dalam lubuk hati, ia sama sekali belum rela. Tapi ia akan berusaha. Dan mereka semua juga sudah sepakat.
Ya, mereka sekeluarga sudah sepakat untuk merelakan Lintang. Setelah hampir 3 bulan lamanya, hari ini semua alat medis di tubuhnya akan dilepas.
“Ayah, Ibu dan Kian udah bilang kan? Jadi aku nggak akan mengulanginya. Kali ini aku nggak akan menahan Mas lagi. Jika bertahan terlalu menyakitkan, jika dengan pergi Mas merasa lebih baik, maka aku nggak bisa apa - apa. Maaf, karena udah menahan Mas selama ini.”
Dion menghapus air matanya dengan kasar. Setelahnya, remaja itu tak sanggup mengatakan apa pun lagi. Ia hanya menggenggam jemari kakaknya seerat yang ia bisa.
***