Sudah enam bulan sejak Nehr berhenti sekolah. Sekarang ukuran perutnya sudah bulat penuh. Wajar karena usia kehamilannya genap 9 bulan, bahkan lebih.
Nehr terlihat manis dengan panggul yang melebar seiring dengan pertumbuhan perutnya. Hormon kehamilannya membuat Nehr nampak keibuan. Baju - bajunya sudah tak ada yang muat.
Nehr lebih sering memakai kaos longgar dengan legging. Atau kalau pakai celana, Nehr tak pernah mengancingkannya. Ia tak punya baju hamil karena memang tak pernah membeli.
Krish masih belum bisa menerimanya.
Nehr tak pernah keluar rumah. Takut membuat Krish malu. Kulitnya yang sudah putih menjadi lebih pucat karena tak pernah terkena sinar matahari.
Meski Krish tak pernah memperhatikannya, tapi Nehr cukup senang merawat dan menjaga kehamilannya sendiri.
Nehr selalu senang saat bayinya menendang. Apa lagi tendangan itu ditujukan untuk merespon obrolannya. Setidaknya ia memiliki cinta kasih dari bayi itu.
Sebuah kontraksi menyerang Nehr lagi. Ia mengernyit lalu menghentikan sejenak aktifitas menjemur pakaian. Diletakkannya kedua tangannya di pinggang. Sedikit melakukan peregangan.
Setelah kontraksinya hilang, Nehr tersenyum. Ia sudah merasakan kontraksi itu sejak semalam. Itu tandanya baby akan segera lahir.
Nehr sudah tak sabar. Sambil menunggu bukaannya lengkap, Nehr melakukan aktivitas seperti biasa.
Ini sudah siang. Pasti sebentar lagi Krish pulang sekolah.
Selesai dengan urusan rumah, Nehr beristirahat di ruang keluarga. Ia meluruskan kakinya di sofa dan menonton TV. Mungkin karena terlalu lelah, Nehr akhirnya ketiduran.
***
Krish meletakkan sepatunya di rak dengan kasar. Ia frustasi sekali karena lagi - lagi ditegur guru. Nilainya turun terus.
Andai saja Nehr tidak hamil, pasti ini tak akan terjadi. Ia akan tetap fokus memikirkan sekolah. Bukannya malah memikirkan jikalau akhirnya semua orang tahu, ia telah menghamili seseorang.
Saat akan menaiki tangga, Krish melihat Nehr tidur di sofa. Kedua tangan Nehr memeluk perutnya yang besar. TV juga belum dimatikan.
"Dasar pemalas!" kesal Krish.
Krish lanjut ke atas menuju kamarnya.
***
Hari sudah gelap. Akhirnya Nehr terbangun. Karena rasa sakit di perutnya yang terus menyerang. Nehr mengernyit sakit. Ia menurunkan kakinya satu per satu dari sofa.
Di tengoknya rak sepatu di depan. Ada sepatu Krish. Berarti ia sudah pulang.
Dengan susah payah, Nehr bangun dan berusaha naik tangga, sembari memegangi perutnya yang sakit.
"Krish!" serunya pelan. Agak tertahan karena rasa sakitnya.
"Krish!" seru Nehr lagi.
Tak ada jawaban. Tangan Nehr mencengkeram erat pegangan tangga.
Nehr menemukan Krish di dalam kamar.
"Krish!" Nehr sedikit mengguncang tubuh Krish.
Krish menggeliat pelan dan mengernyit.
"Aish ... mengganggu saja!" Krish berbalik, membelakangi Nehr.
"Krish, perutku sakit," adu Nehr.
Krish sepertinya tetap tak peduli. Nehr duduk di pinggiran ranjang, sudah tak kuat lagi untuk berdiri.
Tubuhnya penuh keringat. Perutnya terus mengencang dan sangat mulas. Belum lagi rasa sakit yang begitu menyiksa di area bawah pusar. Pinggul, pinggang dan pahanya juga sangat sakit.
"Krish, aku mau melahirkan. Antarkan ke rumah sakit!" Nehr berusaha membangunkan Krish lagi.
Kali ini Krish menyahut. Ditepisnya tangan Nehr.
"Jangan ganggu aku!"
"Perutku sakit sekali, Krish!"
"Aku tidak peduli."
"Aku minta tolong, Krish!" Nehr akhirnya menangis.
Bagaimana mungkin Krish tak mau menolongnya? Bahkan di saat ia merasakan kontraksi hebat seperti ini, Krish tetap membencinya.
"Kau sendiri yang bersikeras mempertahankan kandunganmu. Aku sudah memintamu menggugurkannya. Kau itu masih 14 tahun. Aku masih 15 tahun. Aku masih menikmati masa muda. Jadi kalau kau mau hancur, hancur lah sendiri. Jangan mengajakku!" maki Krish.
Membuat Nehr semakin sakit. Bukan hanya fisiknya tapi juga hatinya. Krish lah yang menghamilinya. Dulu mereka melakukan karena sama - sama suka. Tapi kenapa sekarang Krish justru membencinya?
***
Nehr sudah lelah mengejan. Tenaganya habis. Tapi bayi itu tak kunjung keluar. Nehr terbaring, menangis di lantai kamar Krish.
Rasa sakitnya tak terperi. Tak pernah berhenti.
Nehr meraba lagi selangkangannya, tak ada tanda bayi itu akan keluar. Bahkan lendir atau darah pun tak ada. Air ketuban juga belum pecah.
Jam menunjukkan pukul tiga pagi.
"Mnnnnggggghhh ...." Nehr mengejan lagi sebisanya.
Sesuatu menyembul di antara kedua kakinya.
"KRISH!" teriak Nehr.
"Krish ... tolong aku ...," rintih Nehr.
Nehr mencengkeram perutnya kuat.
"Baby, bagaimana ini .... Aku sudah tidak kuat!" Nehr ingin sekali menyerah. Ia sudah lemas. Pandangan matanya juga mulai meredup.
"Eennnnngggggghhhh ...." Nehr mengejan lagi.
Sesuatu merembes dari sana. Air yang hangat. Nehr meraba ke bawah.
Seperti mendapat harapan, Nehr kembali berjuang. Ia terus mengejan sebisanya. Tak berapa lama, akhirnya air ketuban Nehr benar - benar pecah.
Bercampur gumpalan darah tak berbentuk. Bebauan khas menyeruak.
Nehr belum berhenti berjuang. Ia berusaha sekuat yang ia bisa. Demi bayinya.
"Baby .... Aku menyayangimu, Baby," ucap Nehr. Ia juga tak henti - hentinya memanjatkan doa.
"Ennngggghhghhh ...."
Peluh Nehr merembes memenuhi tubuhnya. Kaosnya tersibak ke atas, menampakkan perutnya yang besar dan bulat penuh. Kulit perutnya terlihat tipis karena tertarik seiring membesar ukurannya.
"Hah .... arghhhhhhh ...." Nehr berteriak.
Rasa sakit yang lebih intense menyerangnya. "Baby ... sakit ...."
Nehr merasakan sesuatu akan keluar. Nehr sedikit terbagun. Melihat apa yanh terjadi dari pantulan cermin di depan sana. Kepala bayinya akan keluar.
"Mnnnnnhhhhghhhhhhh ...."
Nehr terus mengejan tanpa henti. Napasnya naik turun tak keruan. Sesekali tercekat di antara rasa sakit yang luar biasa.
Tak pernah terbesit sekali pun di pikirannya untuk mengalami hal seperti ini di usia 14 tahun. Tentu saja usia yang masih terlalu muda. Belum siap secara mental dan fisik untuk mengalami semua ini.
Terlebih pasangannya tidak mau ambil pusing sama sekali. Bahkan justru tak peduli sama sekali padanya.
"Hah ... eughhhhhhhh ...." Diletakkannya tangannya di sekitar lubang lahir. Bersiap menangkap bayinya.
PLOP ....
Kepala bayi berhasil keluar.
"Eghhhhhhh ... huufff ... eughhhh ...." Wajah Nehr merah padam karena terus mengejan tanpa henti.
Usahanya membuahkan hasil. Bayinya terus keluar seiring dengan ejanan yang dilakukannya.
Tak begitu lama, akhirnya bayinya berhasil keluar sepenuhnya. Nehr segera mendekapnya, meletakkannya di d**a.
Tali pusar menjuntai, menghubungkan bayinya dengan ari - ari yang masih di dalam.
Nehr melihat jam dinding. Tepat jam lima.
Ia kembali berbaring di lantai dalam lelahnya. Tapi Nehr belum bisa lega karena bayinya tak menangis. Ia juga tak bergerak. Ia menepuk pelan punggung bayi itu. Nihil.
"Baby, bangun lah. Jangan tinggalkan aku!" Nehr menangis.
Namun sekejap kemudian, bayi itu mulai terlihat bernapas. dan ia menangis dengan keras.
Nehr tersenyum lega dan mengeratkan pelukannya.
***