“Ayah semalam memarahi Mas Lintang Bu. Padahal Mas Lintang sudah menyesal dan minta maaf. Tapi Ayah terus mendiamkannya sampai sekarang.”
“Ayah ….” sang istri hendak menasehati suaminya. Tapi tak sempat karena suaminya sudah menyela.
“Ia memang pantas dimarahi. Dan Ayah mendiamkannya adalah sebagai pelajaran. Agar ia bisa berpikir lebih dewasa setelah ini. Ayah tak ingin kembali ada kejadian seperti ini.”
“Ayah … tolong jaga kata - kata Ayah!” Sang istri menasehati dengan tenang. “Semua ini kecelakaan, Yah. Mungkin ini juga merupakan pelajaran Tuhan untuk kita. Kita selama ini sudah terlalu sering meninggalkan mereka. Maka mulai sekarang, kita harus lebih memperhatikan mereka.”
Mendengar suara sang istri, Ayah segera terdiam. Memang benar kata-kata istrinya. Mungkin ini peringatan Tuhan.
Tapi ia juga masih bertahan pada egonya. Ia mendiamkan Lintang juga memang karena ingin memberi pelajaran.
Tiba - tiba saja kepala Lintang terasa sakit lagi. Sama seperti tadi saat di sekolah.
“Lintang, kenapa, Nak?” tanya Ibu khawatir. Tapi Lintang menggeleng. Berusaha memberikan senyum terbaiknya agar sang Ibu tak khawatir.
“Mas, kepalamu sakit lagi?” kali ini Kian.
“Lagi?” pekik Ibu.
“Tadi di sekolah Mas Lintang … aduh ….” Kian mengelus - ngelus pahanya yang baru saja dicubit keras oleh kakaknya sendiri.
Ah, ia baru ingat. Ia tadi dilarang Lintang untuk becerita pada orang tuanya tentang insiden ke UKS itu.Tapi ia kan lupa, kenapa malah dicubit?
“Di sekolah kenapa Kian?” sang Ibu terlihat penasaran dengan lanjutan penjelasan Kian. Karena sudah kepalang tanggung, Kian akhirnya terus bercerita. Tak ada salahnya.
Ayah dan Ibunya perlu tahu keadaan Lintang juga bukan? Lintang pun akhirnya pasrah. Ia merasa tak enak karena kini Ayah dan Ibu harus merasa khawatir lagi.
“Lintang nggak apa - apa kok. Sekarang sakitnya udah hilang. Tadi Lintang hanya kaget karena datangnya tiba - tiba sekali,” jelasnya. Tak ingin membuat kedua orang tuanya semakin khawatir.
“Kamu yakin nggak apa - apa, Nak?” Ibu meyakinkan. “Besok di rumah sakit kita sekalian periksa keadaan kamu. Ibu khawatir.”
“Iya. Ngomong - ngomong aku duluan, ya,” Lintang beranjak dan membungkuk sopan pada kedua orang tuanya. Entah mengapa tiba - tiba ia merasa sangat mengantuk. Padahal tadi ia sudah tidur seharian di UKS.
***
Semua barang milik Dion yang sekiranya akan diperlukan, sudah tertata rapi dalam beberapa tas. Semua tas diletakkan di depan rumah, supaya mudah untuk diangkut ke mobil nanti.
Barang bawaan mereka sudah seperti mau pindahan. Karena Dion akan lama berada di rumah sakit untuk pemulihannya.
Ibu sedang membuat beberapa makanan kesukaan Dion. Sesuai pesanan anak itu sih sebenarnya. Sakit - sakit juga makannya tetap banyak, dan banyak maunya.
Pintar juga, kesempatan, mumpung ia sedang sakit. Di mana - mana orang tua akan selalu luluh, dan menuruti apapun permintaan anaknya saat sedang sakit.
Kalau sudah begini, malang sekali nasib anak yang jarang atau bahkan tidak pernah sakit. Request - nya jarang - jarang dituruti.
Pagi ini akan sempurna jika saja Kian bisa menjaga mulutnya. Sayang sekali, mungkin memang sudah tabiatnya, dari sananya anak itu memiliki lidah super tajam, yang sekali bicara bisa sangat menyebalkan sekaligus menyakitkan.
Sambil mengangkat tas - tas besar itu ke bagasi mobil, Kian terus menerus mengungkit kejadian semalam. Tentang Ayah yang tetap belum mau mengerti. Maksud Kian baik kok. Ia kasihan pada kakak sulungnya. Ia ingin Lintang mendapat perlakuan adil. Hanya itu.
“Sekarang Ayah pikir ya, gimana kalau Ayah jadi Mas Lintang? Ayah dengan seenaknya nitipin kami berdua padanya, padahal Mas Lintang juga butuh bebas, memang benar dia paling tua. Tapi kan jarak umur kami bertiga nggak terlalu jauh, Yah. Setahun, setahun, setahun. Apa sih yang Ayah harapkan dari anak - anak SMA seperti kami? Jadi dewasa seperti usia tiga puluhan gitu? Kayak Ayah nggak pernah muda aja!
“Kalau aku pribadi, misal aku jadi Mas Lintang. Pasti repot deh. Apalagi salah satu adiknya nakal, bengal, sekaligus menyebalkan seperti aku. Ditambah lagi, Ayah tahu sendiri kalau sekarang Mas Lintang sudah kelas 12. Sudah mau UN."
“Hus, Ayah udah capek dengerin kamu ngomong segitu panjang!” timpal sang Ayah.
“Nah kan, Ayah selalu begitu. Sukanya ngalihin, bukannya nyadarin. Coba deh, kapan - kapan Ayah di rumah sama aku saja, berdua. Apa Ayah bakal tahan dengan sikapku? Aku berani taruhan apa aja, pasti nggak sampai seminggu Ayah bakalan ngusir aku, sama seperti yang dilakukan Mas Lintang kemarin. Wajar kalau dia bosan dengan sikapku, karena hampir seumur hidup mengurus aku yang merepotkan. Mas Lintang udah terlalu sabar sejauh ini.”
Kian bicara terus, ia tak akan menyerah sampai Ayah benar - benar sadar dan mau mengakui bahwa ia memang salah dengan melimpahkan semua kesalahan pada Lintang.
“Aish … sudah … sudah … oke kamu menang. Ayah akui sekarang, mungkin Ayah memang keterlaluan kemarin,” sesalnya.
“Jadi Ayah menyesal?”
“Ya.”
“Kalau gitu Ayah harus minta maaf sama Mas Lintang.”
Meskipun terlihat ragu - ragu, tapi Ayah mengangguk, tanda setuju. Sebenarnya ia masih kesal pada Lintang, tapi rentetan perkataan Kian tadi, tak sepenuhnya salah. Justru benar. Cara menyampaikannya saja yang agak - agak ….
Untungnya Ayah selalu lebih perhatian dan pengertian dengan kelakuan si bungsu. Memang itu sih enaknya jadi bungsu.
Dalam hati kecilnya, ia belum bisa memaafkan Lintang sepenuhnya. Tapi di sisi lain, ia juga menyadari bahwa ia tak bisa serta merta menyalahkan Lintang, sesuai apa yang dikatakan Kian.
Ini adalah salahnya sendiri yang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Bisnisnya selalu menjadi nomor satu. Seenaknya saja ia menitipkan dua anaknya yang lain, pada anak pertama yang ia anggap sudah dewasa, meskipun sebenarnya belum. Umur Lintang bahkan belum genap 17 tahun.
Ibu tersenyum mendengar obrolan Ayah dan Kian. Kadang lidah tajam Kian memang berguna di saat - saat seperti ini.
Wanita itu semakin semangat mengaduk adonan kuenya. Tinggal sedikit lagi dan semua akan selesai. Sembari meletakkan adonan itu dalam oven, Ibu kembali membuka pembicaraan dengan si sulung yang sedari tadi membantunya.
“Kamu dengar kan … ayahmu nggak benar - benar marah sama kamu.”
Lintang tersenyum mendengarnya, ia kemudian mengangguk samar. Ya, ia memang sudah mendengar semuanya tadi. Ia sangat berterima kasih pada Kian tentang itu semua.
Ia senang tentu saja. Hatinya terasa amat lega, seperti semua bebannya hilang terbawa angin. Sayang, ia tak mampu mengungkapkan kesenangan yang dirasakannya sekarang.
Ibu mengernyit menatap wajah Lintang. “Sayang, kamu masih sakit?” tanyanya khawatir.
Lintang menggeleng.
“Jangan bohong! Kamu pucat sekali, Nak. Mana yang sakit?”
Lintang masih berusaha mengelak. Tak ingin membuat Ibunya semakin khawatir. Sedari tadi ia sembunyi-sembunyi memegangi kepalanya. Nyeri hebat itu datang lagi. Menghantam kepalanya semenjak ia bangun pagi tadi.
Tiba - tiba Ibu teringat dengan ucapakan Kian semalam. Bahwa Lintang sempat mengalami sakit kepala saat di sekolah. Dan semalam juga sepertinya Lintang masih mengalaminya. Makanya ia pamit tidur duluan.
“Kepala kamu sakit lagi?”
Lintang menggeleng, tapi di saat yang bersamaan, ia justru kembali mendapat serangan. Tangannya refleks mencengkeram kepala. Ibu bisa melihat bahwa Lintang sangat kesakitan sekarang.
Ibu ketakutan setengah mati. Bibirnya secara refleks memanggil - manggil Ayah. Seruannya benar - benar keras dan menyiratkan kepanikan yang teramat sangat.
Apalagi tak lama setelah itu, Lintang justru ambruk. Terlalu cepat hingga wanita itu tak sempat mencegahnya.
“AYAH!” teriaknya semakin keras.
Ia berlutut di samping Lintang. Anak itu sudah kehilangan kesadarannya.
Suara derap langkah terdengar di sepanjang lantai menuju dapur. Mereka berlari karena teriakan Ibu tadi. Ibu tak mungkin berteriak sekeras itu jika tak ada sesuatu yang serius. Dan mereka segera tahu apa yang terjadi setelah sampai.
“Ibu, apa yang terjadi? Mas Lintang kenapa?” panik Kian.
“Ayah, Ibu takut, Yah. Ibu takut!” wanita itu mulai menangis. Rasa takut itu datang secara tiba - tiba. Entahlah, firasatnya mengatakan bahwa Lintang tidak baik - baik saja.
Sementara Ayah sedang berusaha menyadarkan Lintang. Perasaan takut yang sama menyergapnya. Ditambah rasa sesal yang mendalam. Jika terjadi sesuatu pada anak ini, ia tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
***
Sejak sadar kemarin, Dion terus menanyakan kapan saudara - saudaranya akan datang. Ia ingin bertemu mereka, terlebih Lintang. Dikarenakan ia juga mengalamin kecelakaan yang sama. Dion hanya ingin memastikan bahwa Lintang memang baik - baik saja, seperti apa yang dikatakan oleh Ibu.
“Mereka sekolah, Sayang. Besok kan hari Minggu, akan Ibu ajak mereka semua ke sini,” itu lah yang dikatakan Ibu tiap hari Dion merengek.
Lintang masih ditangani oleh dokter. Entah sampai kapan. Rasanya sudah sangat lama, tapi tim medis belum juga keluar.
Mereka bertiga menunggu dalam ketidakpastian. Sibuk dengan pikirannya masing - masing. Ayah terlihat paling terpukul. Ibu masih belum berhenti menangis. Kian hanya diam, berdoa dalam hati, semoga apa yang dialami Lintang tadi bukanlah sesuatu yang buruk.
Kian melihat jam di layar ponselnya. Sudah jam sebelas. “Bu, Mas Dion pasti nungguin kita.”
Wanita itu terkejut tentu saja. Ternyata hari sudah sesiang ini. Benar kata Kian, bahwa Dion pasti sudah menunggu. “Biar Ibu ke kamarnya sebentar. Ibu akan bilang kalau di sekolah ada acara mendadak, sehingga kalian belum bisa datang.”
“Tapi, Bu ….” Kian menghentikan langkah Ibu. “Saran aku, sebaiknya jangan bohong sama Mas Dion. Dia harus tahu.”
“Tapi kakak kamu itu juga baru sadar, Kian. Kemarin Ibu terlanjur bilang bahwa Lintang baik - baik aja. Dia seneng banget. Ibu nggak tahu kalau ….” Ibu tak sanggup melanjutkan kata - katanya.
“Ibu tenang, ya! Keadaan Mas Lintang memang belum jelas sekarang, tapi dokter sedang berusaha. Jadi, kita bisa jelasin tentang ini ke Mas Dion, pelan - pelan aja. Aku yakin Mas Dion juga bakal ngerti.”
Ibu kembali terisak. Tapi ia setuju dengan saran dari Kian. Dengan berbohong, itu tak akan memperbaiki apapun. Justru Dion akan lebih kecewa jika ia tahu belakangan.
“Ayah, kami akan ke kamar Mas Dion sebentar. Nanti kami kembali lagi,” pamit Kian. Ayah hanya mengangguk samar.
Kian menuntun sang Ibu, namun niat mereka untuk pergi ke kamar Dion harus terhenti. Pintu UGD terbuka, Dokter Sultan keluar dari sana. Seperti De Javu, malam itu mereka mengalami hal yang sama. Merasakan takut yang sama.
“B - bagaimana?” tanya Ayah segera.
“Lintang mengalami EDH, Epidural Hematoma. Terjadi penumpukan darah akibat trauma yang terjadi di antara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan duramater.”
“Apa karena kecelakaan kemarin?” Ayah melanjutkan pertanyaannya.
Dokter Sultan menatap wajah lelaki di hadapannya, ia tak sampai hati menyampaikan. Karena ia tahu lelaki di hadapannya ini sudah menyesali keputusannya sendiri malam itu. Keputusan untuk tidak melakukan pemeriksaan pada putra sulungnya pasca kecelakaan terjadi.
Namun ini sudah menjadi tugasnya. “Ya.”
“T - tapi itu tidak parah kan, Dok? I - itu bukan sesuatu yang serius kan?” suara Ayah bergetar ketika mengatakannya.
“EDH bukan sesuatu yang serius jika segera ditangani.” Dokter Sultan mengatur nada bicaranya sebaik mungkin. “Gejala awal EDH adalah sakit kepala hebat yang biasanya segera timbul setelah trauma terjadi, namun ada beberapa kasus di mana sakit kepala baru muncul beberapa jam kemudian, ada juga yang baru muncul dalam beberapa hari. Oleh karenanya kami selalu menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan, meskipun pasien dalam kondisi baik.”
“Bagaimana dengan Lintang? Itu …. belum terlambat, kan?”
“Pendarahan melalui pembuluh otaknya terjadi sedikit demi sedikit. Sehingga sakit kepala yang dialami bersifat progresif. Muncul tenggelam, tiap kali muncul lagi, nyerinya akan lebih hebat dari sebelumnya. Hal itu karena pendarahan yang semakin melebar. Gejala selanjutnya adalah, terjadi peningkatan kebingungan, rasa kantuk, kelumpuhan, pingsan, bahkan … koma. Dan itu yang dialami Lintang saat ini.”
“Lalu apa tidak ada opsi? Pembedahan mungkin?”
Dokter Sultan menggeleng. “Jika kami melakukan pembedahan, itu bisa langsung mebunuhnya. Prosedur medis tidak mengizinkan kami melakukan pembedahan tersebut. Karena terlalu berisiko”
“Tidak ada kah cara lain? Berapapun biayanya saya tidak peduli. Tolong, selamatkan anak saya!”
“Tuan, memang ada beberapa hal di dunia ini yang masih bisa diusahakan. Tapi tidak untuk kondisi Lintang saat ini. Kami benar - benar menyesal.”
Air mata Ayah akhirnya lolos. Ibu menangis hebat dalam dekapan putra bungsunya. Bagaimana ini? Bagaimana cara mereka menjelaskan pada Dion nanti?
***