Tale 39

1374 Kata
Sekali lagi Garlanda merasa begitu lega dengan pribadi atau pun kehidupan yang ia jajaki dalam tubuh orang lain. Pertama ia begitu senang ketika berada dalam tubuh Elio. Juga begitu senang ketika berada dalam tubuh King. Meskipun nasib King sangat tragis, namun tetap lah manis. Dan jauh lebih baik dibandingkan jika ia merasakan apa yang seharusnya tidak ia rasakan. Sayangnya sama seperti ketika berada dalam tubuh Elio, Garlanda tak bisa berlama - lama di dalamnya. Jiwanya kembali bertualang. Kali ini ia berada dalam tubuh seseorang bernama Lu. Sayangnya Lu berada dalam kehidupan yang sama sekali tak ia inginkan. Kehidupan yang sangat ia hindari sejauh ini. Yang membuat Garlanda semakin miris, ia lagi - lagi tak mampir terlebih dahulu ke tubuhnya sendiri. *** Lu merasakannya. Ia akan keluar. Lu meraba - raba pinggiran counter dapur. Menjadikannya untuk tumpuan. Ia berjalan menggapai sebuah kursi di sudut ruangan dan segera duduk di sana. Ia cukup merasa nyaman setelahnya. Rasa menusuk yang tajam di punggungnya, disertai rasa mulas yang samar pada perut. Area panggul dan pinggangnya mendadak seperti lemas. Itu lah alasannya ia duduk. Lu agak melebarkan kakinya, sebagai ruang untuk bagian bawah perutnya yang sudah turun. Tangan Lu dengan pelan mengelus area bawah itu. Wajahnya tanpa ekspresi. Meski rasa menusuk itu masih terasa. Dilihatnya air yang ia masak untuk sang ayah sudah mendidih. Ia segera berdiri lagi dan mematikan kompor. Dituangkannya air panas itu dalam cangkir berisi kopi dan gula. Lu mengaduknya beberapa kali dan segera menyerahkannya pada sang ayah di ruang tamu. Saat Lu datang membawa kopi, sang ayah sama sekali tak melihatnya. Pandangannya tetap fokus pada koran pagi yang dibawanya. Tak ingin mengganggu ayahnya, Lu segera beranjak kembali ke dapur. Bukan karena tak ada sesuatu lain yang lebih menarik dari dapur, hanya saja Lu tak tahu harus berbuat apa bila ayahnya masih di rumah. Bila ia beristirahat di kamar, sang ayah mengatainya malas. Daripada serba salah, lebih baik ia istirahat di sini dulu. Lu kembali duduk di kursi tadi. Lu mendengar suara langkah kaki sang ayah. Bisa dilihatnya dari sini, ayahnya keluar dari rumah. Berangkat ke kantor. Lega yang dirasakannya. Maka ia bisa melakukan apa pun tanpa takut dimarahi atau diejek ayahnya lagi. Dengan langkah pendek dan lambat, Lu berjalan menaiki tangga. Menuju kamarnya. Satu tangannya bertumpu pada pagar tangga. Satu tangannya lagi menyangga pinggang. Semenjak dua bulan yang lalu, ia sering melakukan hal itu. Karena pinggangnya sering sakit dan mudah lelah menyangga perut sebesar itu. Kontraksi menyerangnya lagi. Lu bahkan tak yakin apa ia masih hidup esok hari. Ayahnya mana mau repot - repot menolong persalinannya. Entah lah. Bila Lu mampu akan dilakukannya sendiri. Bila tidak, ia hanya bisa pasrah. *** Pukul setengah 9 malam. Ayah melangkah masuk ke dalam rumahnya. Sepi. Bahkan semua lampu masih mati. Ia mulai curiga, apa Lu sudah berani keluar? Dengan geram ia melempar kopernya dan segera menyusuri ruang demi ruang mencari Lu. Tak ada. Tak ada Lu di manapun. Terbayang dalan pikirannya bahwa sebentar lagi semuanya akan hancur. Hancur karena anak semata wayangnya diketahui hamil. Tak kehabisan akal, Ia segera naik. Dinyalakannya semua lampu. Ia membuka pintu kamar Lu dengan kasar. Setelah menyalakan lampu di sana, sinar marah di matanya sedikit sirna. Digantikan oleh perasaan bergetar. Lu sedang meregang nyawa di atas ranjang. Bisa dilihatnya dengan jelas. Kedua kaki Lu melebar. Di bawah sana sprei Lu sudah basah. Air ketuban bercampur darah. Dilihatnya jalan lahir Lu yang terbuka lebar. Ia hanya bisa menelan ludah dan segera keluar dari sana. Ia ingat bagaimana Lu memberinya tatapan memohon. Tapi ia tak goyah. Semua salah Lu sendiri. Maka ia sendiri juga yang harus menyelsaikannya. Ayah keluar seakan tak pernah terjadi apa - apa. *** Lu menangis di dalam sana. Meski ia tahu sang ayah marah dan mengatakan bahwa ia tak akan menolong apa pun. Namun Lu tak pernah tahu sang ayah akan setega ini. Dicengkeramnya dua sisi bantal yang ia remas. Ia mengejan lagi. Bayi itu juga berusaha untuk keluar. Lu merasakannya. Biar lah mereka berjuang bersama malam ini. *** Suara teriakan saat Lu mengejan bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan napas Lu yang memburu pun bisa didengarnya. Ini karena suasana malam yang semakin larut. Meski semua ruangan kedap udara, namun karena sepi, suara itu tetap terdengar. *** Memang benar. Lu merasa nyawanya akan segera mencapai batas. Rasa sakit itu menyita semua perhatiannya. Tak bisa mengontrol dirinya lagi untuk tak berteriak. Kepala anaknya menggantung di liang lahir. Tenaganya sudah habis. Tak tersisa untuk mendorong badan anaknya yang masih di dalam. Tapi ia tetap berusaha. Meski pelan ia terus mengejan. Bahkan sisa air ketuban di sepreinya, kini tertutup oleh warna merah. Lu amat sangat pucat. Bayinya juga sudah membiru tak bergerak. Dengan sisa kekuatannya, ia bangkit untuk duduk. Kedua tangannya merogoh ke bawah. Berusaha menarik kepala itu dengan paksa. Ia menangis semakin keras. Menyesali semuanya. Merasa sedih akan keadaan dirinya sendiri yang seperti ini. Tak seharusnya begini. Merasakan ini. Tapi buktinya sekarang ini ia sedang mengalaminya. Dengan dibantu sedikit mengejan, Lu menariknya perlahan. Rasa perih terasa saat liang lahirnya robek. Tapi ia tak peduli. Yang terpenting sekarang bayi itu keluar dulu. Setelah bayi itu keluar, Lu akan terbebas dari segala rasa sakitnya. Teriakan terakhir itu ..... Bayinya keluar. Laki - laki. Terlihat gemuk dan sehat. Namun ia tak bergerak. Lu membawanya dalam pelukan. Tak terlalu lama tubuh Lu terhempas ke belakang. Bersamaan dengan hilangnya kesadarannya. *** Dentang jam kuno itu berbunyi. Jarum jam menunjukkan pukul empat dini hari. Sun sudah 1,5 tahun. Ia sedang lucu - lucunya. Kini ia sedang memainkan perut Lu yang besar. Merasakan tendangan halus di sana yang seakan merespons gerakan tangannya. Ia menikmati sensasi itu. Lu tertawa melihat senyum lucu Sun. Ia tahu anak keduanya akan lahir. Rasa sakitnya sudah terasa sejak semalam. Tapi dari pada berbaring menanti kontraksi klimaks, lebih baik ia bermain dengan Sun. Pukul delapan malam, Sun tertidur. Lu membiarkannya tertidur di sofa. Bertepatan dengan kepulangan sang ayah. "Lu ... ikut aku ke kamar!" seru ayah. "Tapi, Ayah ...." Belum selesai Lu bicara, ayah sudah menamparnya. Lu pun tak bisa lagi menolak. Sementara Perutnya sudah terasa sangat sakit. Sampai di kamar, Lu seringkali menungging seraya berpegangan pada nakas. Ia merasakan kepala anaknya sudah sampai dipanggul. Bahkan celananya terlihat menonjol karena kepala anaknya sudah separuh keluar. "Ayah, maaf ... aku ... aku akan segera melahirkan." Ayah menatap jijik pada Lu. Dilihatnya Lu yang berusaha menahan area liang lahirnya dengan tangan, dengan ukuran perut sebesar itu. Ayah segera mendorong Lu keluar. Lu tak ingin kemana - mana. Ia tak sanggup jika harus berjalan lagi. Ia segera melepas celananya. Ia agak kesulitan melepas celana dalamnya, namun akhirnya berhasil juga. Meski tetap sakit, namun di persalinan kedua ini sekiranya ia tak perlu meregang nyawa. Proses lamanya pembukaan pun tak terlalu lama. Hanya dengan beberapa kali mengejan, anaknya sudah keluar dengan selamat. Laki - laki lagi. Lu menggendongnya dengan sayang. Ia menunggu beberapa saat untuk mengejankan ari - ari. Lu meluruskan kakinya agar rasa lemasnya hilang. Sehingga ia bisa segera membersihkan diri dan bayinya. Juga menggendong Sun ke kamar. Namun sepertinya ia harus mengurungkan niat. Kontraksi menyerangnya lagi. Amat sakit rasanya. Lu meletakkan bayinya di karpet. Baru disadarinya bahwa perutnya masih sangat besar. Ia sedikit memberi pijatan di sana. Dan ia yakin masih ada satu bayi lagi di dalam. Anaknya kembar. Sekitar satu jam kemudian, Lu amat terkejut saat melihat bukan kepala, namun dua kaki. Bayi ini sungsang. Lu dengan susah payah merangkak ke kamar. Tak menghiraukan rasa sakit yang membuatnya lemas. Ia segera menelusuri cara persalinan sungsang dengan normal. Pukul setengah dua malam. Lu mulai lelah. Kedua tangannya lemas. Seperti tak sanggup lagi menopang berat tubuhnya. Menungging seperti ini selama beberapa jam, dengan mengejan, dan menanggung rasa sakit. Bayi itu sudah menggantung sampai ke panggul. Berbeda dengan kelahiran normal. Kelahiran sungsang mengharuskan Kyuhyun melakukan perjuangan lebih besar. "Enngggggrhh ...." Ia mengajan lagi. Otot - otot di wajahnya ikut menegang. Membuat wajahnya memerah setiap ia mengejan dengan sangat kuat. Ia yakin bayi yang kedua ini memang lebih besar. Hampir pagi. Tinggal kepalanya. Lu tak ingin bermalas - malasan sehingga membuat nyawa anaknya terancam. Ia sudah terbaring lunglai. Tak sanggup menungging lagi. Kedua tangannya meraba ke belakang. Menarik tubuh kecil itu seraya mengejan. Hampir sama seperti yang dilakukannya saat melahirkan Sun. Hari sudah terang ketika bayi itu akhirnya keluar dengan selamat. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN