Lega rasanya ketika Garlanda telah pergi dari tubuh dan kehidupan Lu yang begitu kelam. Kalau bisa, Garlanda begitu ingin mengutuk ayah Lu supaya mati masuk neraka saat itu juga.
Garlanda mulai terbiasa dengan kondisi tubuhnya yang hampir tak pernah mampir ke dalam tubuhnya sendiri.
Kini ia berada dalam sebua keluarga kecil. Hidup sebagai seorang remaja laki - laki bernama Kian, yang memiliki dua kakak laki - laki pula, bernama Lintang dan Dion.
***
Sore itu sedang panas - panasnya. Baik panasnya terik matahari ataupun panasnya suasana di dalam rumah. Terdapat tiga orang anak berseragam SMA yang sedang bertengkar.
Si sulung terlihat marah karena lagi - lagi si bungsu sangat sulit dinasihati. Apa - apa selalu emosi. Akhirnya ia juga ikut emosi. Sementara si tengah terlihat diam, duduk tenang di kursi meja makan.
Menatap dan mendengarkan teriakkan sang kakak yang memang agak keras dan panas di telinga. Sepertinya kali ini kakaknya yang baik bak malaikat itu benar - benar marah.
"Sekarang terserah kamu mau apa. Mas nggak peduli lagi. Bahkan kalau kamu nggak pulang sekali pun Mas nggak akan larang," ucapnya. Nada bicaranya sudah menurun. Tak setinggi tadi.
"Baik," bukannya menjadi sadar, tapi si bungsu itu malah menjadi lebih marah. "Aku pergi, Mas!" serunya seraya berbalik dan berlari keluar rumah.
"Kian!" seru si tengah, mencegah adiknya pergi. Ia mengejar Kian, tapi adik yang lebih tinggi darinya itu, tentu berlari lebih cepat.
"Udah lah, Dion. Dia cuman butuh waktu buat sendiri."
"Tapi Mas, gimana kalau dia nanti benar - benar nggak pulang?" Dion memelas.
Lintang terdiam. Ia mendadak merinding membayangkan bila Kian benar - benar tidak pulang. Tapi tidak mungkin lah. Meskipun tak bisa dipungkiri, sekarang Lintang menyesal karena sudah marah - marah pada Kian tadi.
Lintang berusaha optimis. Sebengal - bengalnya si adik, ia tak akan pernah sungguh - sungguh marah sampai tak pulang. Jadi ia nanti pasti pulang. Ya, Kian pasti pulang.
"Dia pasti pulang, Yon. Kita tunggu saja. Ya udah, kita ganti baju dulu yuk!" ajak Lintang. Dion yang memang dasarnya penurut, segera mengikuti perintah kakaknya.
***
Hampir jam sebelas malam. Lintang mondar - mandir di depan pintu rumah. Dion datang menghampirinya. Raut wajahnya tak kalah cemas dan khawatir dari Lintang.
"Gimana ini, Mas? Besok Ayah dan Ibu pulang. Gimana kalau sampai mereka datang, Kian tetap belum pulang?" Dion memborong semua pertanyaan itu sendirian.
Lintang begegas masuk ke rumah. Mengambil kunci motor.
"Ayo kita cari dia!"
"Oke!"
Lintang segera tancap gas. Dion di belakang bertugas untuk menengok kanan dan kiri, mencari di mana keberadaan Kian. Hampir dua jam mereka mencari tapi Kian tetap belum terlihat. Bahkan mereka sudah mampir ke seluruh game center di kota ini. Mengingat anak itu sangat menyukai game. Mereka juga sudah mecari ke rumah Mina, sahabat Kian.
Lintang dan Dion memutuskan untuk pulang dan melanjutkan pencarian besok pagi - pagi.
Sampai di alun - alun kota, mata Dion menangkap bayangan seseorang yang tak asing. Seseorang itu tengah duduk di salah satu bangku panjang. Dion menajamkan penglihatannya. Tak salah lagi, itu adalah Kian. Anak itu masih berseragam sekolah seperti saat ia pergi tadi.
"Mas, Itu Kian!" seru Dion.
Lintang segera menghentikan motornya, memandang pada arah yang ditunjuk oleh Dion. Memang benar itu Kian. Senyum lega segera menghiasi wajahnya.
Suara klakson yang sangat keras terdengar, mengagetkan Lintang dan Dion. Mereka baru sadar bahwa motor ini berhenti tepat di tengah - tengah sebuah perempatan. Ada mobil yang melaju kencang dari arah kanan.
Lintang cepat tanggap dan beriniasitif untuk menghindar. Namun belum sampai motornya menjauh, mobil itu sudah melintas dan menabrak bagian belakang motor.
Kerasnya suara tabrakan mencuri perhatian sisa - sisa manusia yang masih terjaga, di tengah malam seperti ini. Mereka berlari menghampiri korban yang tergeletak di jalan raya. Sayangnya mobil itu kabur.
Seperti orang - orang itu, Kian pun berlari menuju tempat kejadian perkara. Kian mendelik begitu melihat motor korban yang familiar. Ia membelah kerumunan. Kini ia bisa melihat dua korban itu dengan cukup jelas.
“Mas!” serunya seraya berlutut di samping Lintang. Lintang segera bangun dan memeluk adiknya itu.
“Maafin, Mas, Yan. Maaf,” ucap Lintang.
“Aku yang seharusnya minta maaf, Mas,” Kian juga memeluk Lintang dengan erat. “Mas nggak apa - apa kan?”
Lintang menggeleng cepat. Tapi ….
“Dion? Dion di mana?” paniknya.
Lintang segera beranjak. Seakan tak peduli akan rasa perih di siku dan juga pelipisnya yang terluka. Dengan sedikit berlari, ia menuju ke gerombolan yang lain di ujung jalan, diikuti oleh Kian. Mereka berdua menyibak keramaian.
Seakan otot mereka kehilangan tenaganya. Dion … saudara mereka ada di sana. Tergeletak tak sadarkan diri dengan banyak darah di kepalanya.
***
Dokter Sultan duduk tenang di dalam ruangannya. Sampai ia mendapat sebuah panggilan dari UGD. Ia bergegas menuju ke sana. Ada dua remaja laki - laki yang menunggu di depan ruangan. Tak ingin mengulur waktu, dokter itu segera masuk.
Ternyata pasiennya adalah korban kecelakaan. Pendarahan di kepalanya sangat buruk. Dokter Sultan memeriksa lukanya dengan jeli.
“Segera lakukan CT Scan!” titahnya.
***
Sepasang suami istri tergopoh menuju UGD, tempat di mana anak kedua mereka sedang ditangani. Mereka melihat dua anak mereka yang lain tengah menunggu dengan cemas. Sang Ibu segera memeluk kedua putranya itu bergantian. Dimulai dari si bungsu, lalu beranjak pada si sulung.
“Kamu nggak apa - apa?” tanyanya lembut.
Lintang mengangguk. Sang Ibu segera mengelus plester kecil di kening Lintang.
“Bagaimana kejadiannya?” sang Ayah kali ini.
“Ini semua salah aku!” seru Kian. Air mukanya yang tadi tegang, kini berubah. Ia mulai menangis.
Ia berhambur ke pelukan Ibunya. “Udah, jangan nangis. Kita harus berdoa, semoga Dion baik - baik saja.”
“T - tapi … seandainya aku nggak kabur, Mas Lintang dan Mas Dion nggak akan nyariin aku … dan mereka …” Kian tidak sanggup melanjutkan kata - katanya.
“Lintang, bisa jelaskan pada Ayah?” lelaki itu beralih menanyai anak pertamanya.
Lintang menunduk dalam. Jemarinya begetar. Andai saja ia tak ceroboh dengan berhenti mendadak di tengah jalan. Andai saja ia tak terlambat menyadari bahwa ada mobil yang akan lewat, pasti kejadiannya tak akan seperti ini.
Dan juga … bagaimana ia bisa lupa tak memakai helm? Mereka berdua tak memakai pengaman apa pun untuk berkendara tadi.
***
Siang hari sebelum pertengkaran terjadi,
Lagi - lagi Lintang melihat arlojinya. Sudah jam tiga. Hampir dua jam ia menunggu adiknya. Tapi si bengal itu tak datang juga. Kemarin ia juga pulang sangat malam. Kerjaannya hanya main, tak pernah belajar, dan selalu membuat masalah. Lintang geram sendiri dibuatnya.
“Mas, kita pulang duluan aja, yuk!” ajak Dion di sebelahnya.
“Nggak. Nanti dia merasa bebas, keenakan main.”
“Tapi nanti dia pasti marah, Mas. Mas tahu sendiri kan, sekeras kepala apa si bontot itu?”
“Kamu tunggu di sini, biar Mas jemput ke kelasnya.”
Dion hanya pasrah melihat kakaknya berlalu, meninggalkannya di gerbang sekolah sendirian.
Tak hanya lahir di tengah - tengah mereka, Dion juga selalu menjadi penengah di antara semua perdebatan mereka. Meski pun tak pernah berhasil sih.
Kedua saudaranya itu memang agak ajaib. Kakaknya, Lintang, adalah seorang yang berwajah malaikat. Ia pun memiliki hati bak malaikat. Baik sekali. Tapi kalau sedang marah, ia bisa lebih buruk dari pada iblis.
Sementara adiknya…. huff… dilihat dari wajahnya saja sudah terlihat ketengilannya. Herannya banyak sekali gadis - gadis yang kecantol padanya. Termasuk si Mina, ratunya sekolah.
Dion yakin, persahabatan mereka hanyalah kedok. Mereka pasti pacaran.
Tak lama kemudian, Lintang sudah datang dengan membawa Kian. Tapi… ini namanya ‘membawa’ dalam tanda kutip. Lintang datang dengan menjewer telinga Kian.
Kian terlihat meringis - ringis. Selain karena rasa panas di telinganya, juga karena sore ini yang memang panas.
“Ayo, Yon!” seru si sulung.
Sepanjang perjalanan menuju halte bus, Lintang terus mengomel pada Kian. Memarahinya karena selalu adu game setiap pulang sekolah.
Tak masalah jika Kian hobi main game, asal tahu waktu. Tapi semakin hari bukannya semakin tobat, malah semakin parah.
Seperti biasa, Kian tidak hanya diam mendengarkan, namun membalikkan semua nasihat Lintang. Sementara Dion, ia hanya sesekali tersenyum, sekaligus miris meratapi keajaiban kedua saudaranya.
Sampai rumah, rentetan perdebatan Lintang dan Kian belum berakhir. Justru semakin memanas. Pertengkaran mereka yang biasanya diakhiri dengan gelak tawa, kali ini justru sebaliknya.
Kian terus bicara sembarangan, yang sepertinya sudah menyinggung perasaan Lintang.
“Kalian tuh nggak tahu apa - apa. Selalu aja ngatur - ngatur aku!”
“Ini juga demi kebaikan kamu.”
“Kebaikan apa? Mas pikir dengan ngurung aku di rumah adalah baik, begitu?”
“Bukan begitu. Kamu nggak pernah tahu waktu. Pulang - pulang saat sudah membuat masalah. Berkelahi karena kalah taruhan? Mas udah capek jadi wali permintaan maaf kamu!”
“Ya udah, nggak usah minta maaf. Gampang kan?”
“Siapa yang ngajarin kamu bersikap nggak sopan kayak gitu? Pasti temen - temen kamu yang nggak jelas itu kan?”
“Diam lo, Mas… mulut cowok kok cerewet kayak cewek! Sekali - sekali yang cool, yang laki! Aku benci sama Mas Lintang!”
Hening… tak ada suara. Lintang cukup terkejut dengan perkataan terakhir adiknya. Hatinya cukup sakit mendengarnya.
Apa didikannya selama ini salah? Apa ia memang terlalu cerewet? Tapi ini semua demi kebaikan Kian sendiri bukan?
Emosi Lintang sudah telanjur naik. Ia tidak bisa serta merta memaafkan Kian begitu saja, seperti biasanya.
“Sekarang terserah kamu mau apa. Mas nggak peduli lagi. Bahkan kalau kamu nggak pulang sekalipun Mas nggak akan larang,” ucapnya. Nada bicaranya sudah menurun. Tak setinggi tadi.
“Baik,” bukannya menjadi sadar, tapi si bungsu itu malah semakin marah. “Aku pergi, Mas!” serunya seraya berbalik dan berlari keluar rumah.
***