Riuhnya suasana saat King mendapatkan pertolongan pertama. Semua penggemar berteriak. Mereka khawatir. Mereka ingin melihat King yang tergeletak di panggung dari dekat.
Beberapa dari mereka mencoba memanjat pagar pembatas. Segera dicegah oleh para sekuriti.
Loey menggenggam jemari King erat. Pablo berlutut bersamanya. Sibuk bicara dengan bos perusahaan memberi kabar terbaru tentang kondisi King.
Sedangkan tim medis stasiun TV sedang berusaha menyadarkan King. Mereka melalukan berbagai upaya.
Memberi oksigen, melalukan CPR, memeriksa vital.
King nampak sangat pucat. Dan dari segala upaya yang sudah dilakukan, sama sekali tak ada tanda - tanda ia akan bangun.
"Tolong ambilkan brankar!" Dokter wanita itu nampak panik. "Kita harus bawa dia ke tempat yang lebih tenang!"
Beberapa tim medis berlari menuju belakang panggung. Tak lama kemudian mereka kembali membawa brankar. King dinaikkan ke sana, lalu didorong menuju tempat yang lebih tenang.
***
"Kenapa tangannya?" tanya dokter wanita itu. Ia hendak memasang infus, tapi fokusnya teralih pada tangan King yang diperban.
"Dia bilang tangannya terluka. Tapi entah lah, dia nggak pernah jelasin pastinya kenapa. Dia emang kurang bisa terbuka sejak dulu." Pablo menjelaskan.
Ia benar - benar khawatir sekarang. Karena bahkan sampai hampir satu jam King pingsan, ia belum mununjukkan tanda - tanda akan sadarkan diri. Padahal sudah banyak sekali usaha untuk menyadarkannya.
Di ruangan ini sangat tenang. Udara juga sejuk karena ada AC. Namun King tetap berkeringat sangat banyak.
"Saya buka perbannya, boleh?" tanya dokter itu. "Saya takut jika kondisinya saat ini berhubungan dengan luka di tangannya. Takutnya infeksi."
Pablo sebenarnya ragu. Takut King akan marah saat bangun nanti.
"Izinkan, Pablo! Ini demi keselamatan King!" Loey berusaha meyakinkannya.
Loey lah yang berada bersama King di saat - saat terakhir kesadarannya. Ia melihat King menahan sakit sampai tak fokus untuk memulai intronya. Kemudian ambruk begitu saja.
Entahlah, Loey hanya merasa, kondisi King cukup serius.
"Baik ... buka saja, Dok!" Pablo akhirnya memberi izin.
Dokter itu mulai membuka perban King. Selepas semuanya terbuka, ia coba mencari luka di sana.
Ia mengernyit. Sama sekali tak ada luka.
Dokter itu, Loey, dan Pablo saling berpandangan. Sama - sama bingung.
Sang dokter dengan cekatan mengambil senter. Barulah ia mengerti. Tak ada luka, namun banyak sekali bekas suntikan.
"Apa King memiliki sebuah penyakit tertentu?" tanyanya.
Pablo menggeleng. Karena ia bingung harus menjawab bagaimana.
Sedangkan Loey semakin yakin bahwa King tidak baik - baik saja.
"Sepertinya King memiliki sebuah penyakit yang ia rahasiakan. Ia menggunakan perban itu untuk menutupi bekas suntikan di tangannya." Dokter itu menjelaskan.
"L - lalu ... kita harus bagaimana sekarang, Dok?" Pablo benar - benar panik sekarang.
"Dok ... King akan baik - baik saja, kan?" Loey pun ikut panik.
"Kita harus memastikan keadaannya," jawab sang dokter. Ia beralih menatap salah satu asistennya.
"Tolong panggil ambulans!"
"Baik, Dok!"
***
"Bisa - bisanya dia nutupin dari kita! Lagi pula kenapa dia melakukannya?" Pablo benar - benar tak bisa tenang.
Di sela aktivitas mengomelnya, Pablo mondar - mandir di depan UGD. Berharap pintu keramat itu segera terbuka.
Loey, Jibril, dan Malik — teman satu grup King — berusaha tenang. Meskipun mereka sama paniknya dengan Pablo.
Masih ada dua lagi anggota aktif yang tak ada di sana. Mereka sedang ada jadwal pribadi di luar negeri. Namun Jibril sudah mengabari mereka, ia merasa bertanggung jawab sebagai ketua.
Pintu itu akhirnya terbuka. Seorang dokter lelaki keluar dari sana.
"Keluarga Rajavan Jona?" Dokter itu menyebut nama asli King.
Mereka semua mengerumuni dokter itu.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" Pablo mewakili pertanyaan.
"Kankernya menyebar sangat cepat. Saat ini sudah berada di stadium akhir. Padahal beberapa bulan lalu saat pertama kali didiagnosa, masih stadium dua. Ini karena ia tidak mengikuti prosedur pengobatan sebagaimana seharusnya. Ia hanya rajin mendapat suntikan pain killer, dan mengonsumsi obat oral."
Dokter itu berusaha menjelaskan perlahan dan tenang. Namun tetap saja penjelasannya membuat orang - orangang itu menganga tak percaya.
King — anggota termuda mereka, adik kecil mereka — sedang dalam kondisi serius. Dan mereka baru tahu.
"Lalu sekarang kamu harus bagimana, Dok? Jika ia memulai pengobatan dengan baik, apa penyakitnya masih bisa sembuh?" Jibril mengatakannya dengan mata berkaca - kaca.
"Saya sebagai seorang dokter tidak bisa memberi harapan palsu. Sepanjang sejarah kedokteran, belum ada pasien yang selamat setelah berada dalam stadium ini. Meskipun sudah menjalani pengobatan semaksimal apa pun. Namun tidak ada yang bisa menebak takdir, kan? Tuhan bisa membuat keajaiban. Itulah kuasanya."
Empat pemuda itu benar - benar terguncang. Ini terlalu mendadak. Mereka sama sekali tak siap.
"Dok ... boleh kami menemui King?"
Sang dokter mengangguk. "Silakan. Dia sedang dipindahkan ke ruang rawat. Di paviliun Orchid, nomor 12."
***
Loey tak ragu memeluk King yang terbaring tanpa saya di brankar. King hanya bisa pasrah. Ia menatap kakak - kakak satu grupnya, dan juga Pablo, bergantian. Sorot matanya sendu dan nanar.
"Kenapa tidak memberi tahu kami?" Jibril terisak.
King berusaha menahan sesak di dadanya. "Aku hanya bingung bagaimana cara memberi tahu kalian."
"Kenapa, King? Kita bahkan tidur bersama tiap malam. Apa sangat sulit terbuka denganku?" Jibril tak bisa terima.
Padahal ia dan King satu kamar. Dan mereka sudah saling mengenal sejak King masih duduk di sekolah dasar.
"Maafkan aku ...." King tak bisa membuat alasan apa pun lagi.
"King ... setidaknya meskipun kamu nggak ngasih tahu kami, kamu harus jalanin pengobatan. Tapi ...." Kata - kata Malik terhenti.
"Aku ingin, Malik. Tapi bagaimana? Jika aku melakukannya, aku akan lemah, rambutku akan habis, aku akan semakin sakit ...."
King tak lagi dapat menahan isak tangisnya.
"Padahal ... aku ingin tetap menjalani aktivitas seperti biasa. Bekerja bersama kalian, menghabiskan waktu bersama. Bukan kah takdir manusia sudah ditetapkan? Dari pada menghabiskan sisa hidupku dalam sakitnya pengobatan, lebih baik aku menikmatinya bersama kalian."
Mereka berempat tak menjawab apa pun. Hanya bisa menangis. King mereka ... adik mereka ....
"Aku tidak mau memulai lagi. Aku sudah memilih untuk tetap menjalani apa yang sudah aku punya. Meskipun sulit. Kalau aku berpindah haluan tanpa perencanaan yang matang, itu berarti aku memulai dari awal. Dan itu akan lebih sulit. Aku akan mempertahankan mimpiku bersama kalian. Setidaknya saat aku benar - benar mati nanti, aku akan bahagia. Bukan mati dalam keadaan mengenaskan, karena sakitnya pengobatan."
Hening setelahnya. Mereka sama - sama mencerna kata - kata King. Mencoba memahami ketakutan bocah itu. Mencoba memposisikan diri seandainya mereka adalah King. Mungkin mereka akan melakukan hal yang sama. Atau justru lebih buruk.
"Jadi sekarang apa maumu?" Jibril memecah keheningan.
"Mauku? Aku tetap ingin seperti biasanya, tanpa ada perlakuan khusus. Biarkan seperti itu, sampai Izrail menjemputku."
Sesak rasanya. Sungguh sulit. Namun ini adalah keinginan King. Keinginan terakhirnya.
Dan kalau dipikir - pikir, keputusan King tidaklah buruk. Benar, rangkaian pengobatan kanker justru akan membuatnya lemah dan semakin sakit.
Takdirnya tidak dapat diubah. Jatah hidup seseorang tak bisa dikurang atau pun ditambah.
Setidaknya jika King tetap bersama mereka, anak itu akan mendapati akhir yang bahagia.
"Baiklah kalau itu maumu," Jibril memberi keputusan final.
"Aku janji tidak akan memberi tahu bos dan orang - orang perusahaan tentang kondisimu. Karena pasti mereka akan melakukan hal egois," kata Pablo.
"Ya," sahut Loey. "Biarkan semua berjalan seperti tak terjadi apa pun."
"King," panggil Malik. "Kami janji akan membahagiakanmu. Kami janji."
King tersenyum mendengar reaksi - reaksi positif dari mereka. Ia memang beruntung memiliki kakak - kakak terbaik.
"Terima kasih," lirihnya.
***