Mereka masih menunggu di sana dalam diam. Sesekali Lintang terlihat meremas jemari ibunya. Ia takut.
Sang Ibu tentu menyadari ketakutan anaknya itu. Ia mengelus rambut Lintang untuk menenangkannya. Berbeda dengan sang Ayah yang hanya diam. Belum berniat mengajak salah satu anaknya untuk bicara apa pun lagi.
Dokter Sultan keluar dari UGD. Raut wajahnya terlihat lelah. Keluarga itu segera datang menghampirinya.
“Terjadi pembengkakan di otak kanannya. Kami butuh persetujuan kalian untuk melakukan operasi.”
“Lakukan apa pun untuk menyelamatkannya, Dok!” pinta Ayah.
“Baik lah kalau begitu. Kami akan melakukan yang terbaik.”
Dokter itu berlalu masuk lagi ke dalam UGD. Kini sang Ibu tak lagi bisa menahan tangisnya. Sang suami menariknya ke dalam pelukan.
Tinggal Lintang dan Kian yang berdiri kaku dalam rasa bersalah mereka masing - masing.
Hampir tiga jam mereka menunggu hingga akhirnya operasi selesai. Syukur lah operasinya berhasil. Tinggal menunggu Dion sadar, barulah akan dilakukan pemeriksaan selanjutnya.
“Kamu kakaknya Dion yang juga mengalami kecelakaan, kan?” tanya dokter Sultan.
Lintang mengangguk mengiyakan.
“Sebaiknya kita lakukan pemeriksaan juga padamu.”
“Ha? N - nggak usah, Dok,” Lintang tergagap. “Aku ngak apa - apa kok.”
“Cuman buat jaga - jaga. Buat mastiin kalau kamu memang baik - baik saja.”
Lintang terlihat berpikir. Sepertinya ia setuju dengan opsi dokter itu. Namun Ayah sudah menyela duluan sebelum Lintang bicara.
“Lintang nggak apa - apa, Dok!” serunya singkat. Pandangannya beralih pada Lintang dan Kian. “Kalian ikut Ayah pulang aja. Besok kalian harus sekolah, kan?”
“Apa sebaiknya nggak usah sekolah dulu, Yah! Mereka masih terguncang karena kecelakaan ini. Lagian Lintang juga butuh istirahat. Dia juga luka - luka,” sergah Ibu.
“Ibu selalu aja gitu. Mereka itu laki - laki, jangan dibiasaain manja! Apalagi Lintang sudah kelas 12. Dia bisa ketinggalan pelajaran.”
Tak ingin orang tuanya lanjut berdebat, Lintang segera menyetujui perkataan Ayah. “Baik, ayo kita pulang, Yah!”
Berbeda dengan Kian yang terlihat enggan. Tapi ia tak berani buka suara.
Ayah mendahului mereka, berjalan duluan tanpa berpamitan pada Ibu dan dokter Sultan. Lintang dan Kian mengikuti di belakangnya.
“Kalau Ayah mereka sudah bicara, nggak ada yang berani membantah, Dok. Maafkan sikap suami saya, ya!” raut wajah Ibu dipenuhi penyesalan.
Dokter Sultan memang sempat heran dengan sikap Ayah. Tapi karena rasa hormat pada wanita di depannya ini, ia pun hanya tersenyum maklum.
***
Sesaat setelah masuk mobil, mereka bertiga mulai berdebat. Atau lebih tepatnya, hanya Kian dan Ayah yang berdebat.
“Ayah nggak bisa nyalahin Mas Lintang gitu dong!” Kian mati - matian membela kakaknya. “Aku juga salah di sini.”
“Tapi kakakmu itu yang paling besar di antara kalian. Seharusnya dia bisa jaga sikap. Andai saja dia nggak biarin kamu pergi, pasti nggak akan ada kejadian ini!”
Kian tak habis pikir dengan kata - kata Ayahnya. “Sudah lah, Yah. Aku merasa bersalah. Mas Lintang pun begitu. Kami sudah sama - sama menyesal. Dan sekarang Mas Dion juga sudah tidak apa - apa. Seharusnya kita bersyukur, bukannya malah saling menyalahkan!”
Setelah kata - kata Kian itu, mobil ini dihantam suasana hening. Lintang menggamit tangan Kian. Memintanya untuk berhenti bicara. Ia tahu Ayah masih emosi. Jadi wajar bila berkata seperti itu.
Wajar bila seorang Ayah memarahi anaknya demi kebaikan. Ayah juga pasti sangat khawatir dengan Dion. Lintang bisa mengerti itu.
Kian sebenarnya enggan berhenti. Tapi melihat wajah memohon Lintang, membuatnya luluh juga. Mereka berdua di belakang segera saling membuang muka. Menanatap suasana di jalanan yang sepi. Sementara sang Ayah fokus menyetir.
***
Seperti rutinitas setiap harinya. Pagi - pagi sekali Lintang dan Kian sudah berada di meja makan untuk sarapan. Bedanya pagi ini tak ada Dion dan mereka hanya ditemani oleh Ayah. Tepat pukul enam, Lintang dan Kian berpamitan untuk berangkat.
Lintang dan Kian berpisah di gerbang sekolah, menuju kelas masing - masing. Saat melewati kelas Dion, Lintang tak lupa mengantarkan surat izin.
Sampai di kelas, Lintang disambut oleh beberapa temannya. Sahabatnya yang bernama Ichal malah sampai memeluknya.
“Syukur deh lo nggak apa - apa, Tang!”
Lintang tersenyum mendengarnya. Ia lega bahwa ternyata masih banyak yang menyayangi dan mengkhawatirkannya.
Sepanjang pelajaran pertama dan kedua sampai jam istirahat, Lintang tak bisa konsentrasi.
Ia merasa tidak fokus, meski sudah menatap ke depan dan memastikan bahwa ia mendengar penjelasan sang guru dengan baik. Ia merasa bingung. Hingga rasa sakit di kepalanya itu menyerang. Wajah Lintang memucat seketika.
“Lo kenapa? Sakit? Mau gue anter ke UKS?”
Lintang menolak pada awalnya, Tapi karena Ichal terus memaksa, Lintang akhirnya mau juga. Jadi lah jam istirahat itu sampai pulang sekolah, Lintang habiskan untuk tidur di UKS.
***
Saat Lintang dan Kian sampai rumah, ternyata Ibu sudah pulang. Ia menyambut kedua putranya dengan ceria. Bahkan ia sudah membuat beberapa masakan untuk makan malam.
“Kalian cepat ganti baju sana, sambil nunggu Ayah pulang, nanti kita makan bareng - bareng!”
“Tapi Bu … Dion bagaimana?” tanya Lintang.
“Dia sudah sadar tadi siang. Dia langsung menanyakan kalian. Ibu bilang kalian sekolah. Dan pasti akan ke sana besok. Makanya kalian harus cepat - cepat makan malam dan segera tidur. Agar besok pagi - pagi bisa langsung berangkat ke sana,” jelas Ibu.
Besok memang hari Minggu. Makanya mereka libur.
Lintang dan Kian terlihat bersemangat. Mereka segera berhambur ke kamar mereka masing - masing. Tak terlalu lama hingga mereka sudah berkumpul di Meja makan. Sang Ayah juga sudah pulang.
Sepertinya Ayah sudah reda emosinya. Ia beberapa kali tersenyum pada celetukan Kian dan istrinya. Tapi tidak untuk Lintang.
Lintang diam. Ia tidak protes karena ia memang salah. Anggap saja ini pelajaran untuknya.
Kian yang pada awalnya bersikap biasa, lama - lama menyadari juga kecanggungan antara kakak dan Ayahnya. Ia memperhatikan mereka berdua secara bergantian.
“Ayah … kenapa? Apa Ayah masih marah pada Mas Lintang?” Kian terus terang, langsung pada intinya.
Ibu terlihat bingung dengan pertanyaan Kian. Ia memang tak tahu menahu tentang perdebatan mereka semalam. Sementara Lintang … lagi - lagi ia kesal karena sifat Kian yang terlalu ceplas - ceplos.
“Kian … udah jangan dibahas lagi!” tegur Lintang.
“Tapi Ayah udah keterlaluan, Mas!”
“Hey, ada yang bisa jelaskan pada Ibu, apa yang terjadi?” Ibu akhirnya berhasil menyela.
***