Lav amat lelah hari ini. Ia segera memacu mobilnya setelah mengurus surat cerai. Tinggal sidang saja dan semua selesai. Ia akan mengajak Vai pindah ke tempat yang lebih tenang dan pastinya aman.
Ia tak akan membiarkan ada orang lagi yang menyentuh Vai selain dirinya. Sampai sekarang pun, Lav masih tak percaya Nam bisa sekeji itu.
Membayangkannya saja Lav tak bisa. Ia menyesal kenapa bisa - bisanya percaya pada Nam.
Beberapa kali Lav memukulkan kepalan tangannya ke setir mobil. Melampiaskan amarah.
Sampai rumah, Lav menuju ke kamar Vai. Adiknya yang baru 16 tahun itu sudah terlelap rupanya. Lav senang, ternyata Vai tak mengalami trauma yang keterlaluan.
Lav mengelus rambut Vai pelan, kemudian mengecup keningnya. Tanpa ingin buang waktu, Lav bergegas mengemas semua barang agar besok pagi bisa segera berangkat ke apartemen baru.
Pagi datang, Vai terlihat bingung melihat kakaknya sedang sibuk mengangkat tas - tas besar ke dalam mobil. Mobil itu sudah terlihat amat penuh. Tapi Lav tetap memaksa semua barang masuk.
"Lav ...," gumam Vai pelan.
"Vai, sudah bangun ternyata. Cepat mandi dan sarapan. Kita akan segera berangkat."
"Berangkat? Ke mana?"
Lav tersenyum. "Kita pindah ke rumah baru."
"Benarkah? Tidak ada Nam di sana?" tanya Vai dengan antusias. Senyuman terpatri di wajah polosnya.
Membuat hati Lav kembali tersayat. Tentu saja karena nama Nam disebut. Namun ia tak mau menunjukkan kesedihan pada Vai.
"Tentu saja tak ada. Di sana aman. Vai hanya bersama Lav."
Vai mengangguk dan segera mengambil handuk. Begitu antusiasnya ia untuk pindah. Lav berharap setelah pindah nanti Vai akan melupakan segalanya.
Hanya tinggal mengurus kepindahan Vai ke sekolah luar biasa yang baru.
Ya ... Vai memang bersekolah di sekolah khusus itu. karena memang adik Jungsoo tersebut menyandang keterbelakangan mental sejak kecil.
Meski penampilan luarnya terlihat normal, namun semua tingkah laku dan cara berpikir Vai masih seperti anak kecil. Itu pula yang membuat Lav semakin kecewa dan marah pada Nam.
Perjalanan pagi itu terasa sepi. Hanya musik yang mengalun menguasai suasana. Vai sebenarnya ingin mengajak ngobrol kakaknya. Tapi ia ragu karena Lav terlihat lelah.
Ia bisa tahu itu. Ia tak mengerti, tapi bisa merasakan. Akhirnya ia pun ikut diam.
Sebuah apartemen di perbatasan kota. Di lantai 14. Vai melompat senang mengetahui apartemen ini jauh lebih besar dari pada apartemen yang lama. Ia segera bergerak memilih kamar. Sekali lagi Lav merasa senang karena Vai juga senang.
Kebahagiaan Vai adalah segalanya baginya. Gagal dalam melindungi Vai sudah membuatnya hancur. Ia tidak mau gagal sekali lagi. Itu lah yang membuatnya bertekat untuk benar - benar menghapus masa lalu. Membuka lembaran baru secara total.
Untuk masalah pekerjaan, Lav tak terlalu khawatir. Ia punya banyak koneksi. Sebagai midwive rumahan, ia tak perlu pusing memikirkan pelanggan.
"Vai ... nanti setelah beres - beres, aku harus keluar sebentar. Kau tak apa kan aku tinggal sebentar?"
Vai terlihat gelisah dan gugup. Lav menyadarinya. Memang semenjak kejadian itu, Vai menjadi takut bila ditinggal sendirian. Namun Lav punya jurus ampuh agar Vai tak ketakutan.
"Tenang saja, kau ingat bahwa tak ada seorang pun di sini kecuali kita berdua, kan?"
Vai mengangguk.
"Aku tak akan lama. Setelah bayi kecilnya lahir, aku akan segera pulang. Bila Vai takut, maka Vai kunci saja pintunya. Aku punya kunci duplikatnya kok."
Air muka Vai mulai menenang.
"Nanti kalau adik bayi sudah lahir, Lav belikan Vai coklat, ya. Vai sudah lama tidak makan cokelat." Vai memberi sebuah syarat ternyata.
Lav terkikik mendengarnya. "Oke."
Mereka kemudian segera bekerja sama menata ulang perabotan. Semoga tak terjadi hal buruk lagi setelah ini.
***
Lav pulang dengan membawa pesanan Vai. Ia masuk rumah dan lampu masih belum dinyalakan semua. Gelap sekali. TV juga tidak menyala. Sepi. Kemana Vai?
Tepat setelah Lav menyalakan lampu, dilihatnya ....
Cokelat yang dibawanya pun terjatuh. Ia berlari menghampiri seseorang yang tergeletak di sana.
"Vai!" Lav sedikit menepuk pipi Vai.
Untung lah Vai segera sadar. Lav juga melihat bekas muntahan di lantai dan sedikit mengenai baju Vai.
Bagaimana ia bisa tak sadar bahwa Vai sakit?
Jantung Lav berdetak sangat kencang. Ia begitu takut jika terjadi apa - apa pada Vai. Ia berharap semoga adiknya itu baik - baik saja. Semoga.
Vai membuka matanya. Ia menggumamkan kata Lav yang amat lirih hingga tak terdengar. Lav segera mengangkat adiknya ke kamar, membaringkannya di sana.
Lav bergerak cekatan merawat adiknya. Dari mengompres hingga memberi suntikan pereda demam. Lav bersyukur karena dua jam kemudian panas Vai sudah turun.
"Vai ... maafkan aku."
"Maaf kenapa?"
"Seharusnya aku tak meninggalkanmu!" Raut wajah Lav menunjukkan penyesalan mendalam.
"Tak apa. Tadi tiba - tiba saja Vai pusing, lalu muntah."
Lav mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Vai. Ia bersumpah akan membenci dirinya sendiri bila sesuatu terjadi pada adiknya.
Tepat sejak hari itu, Vai menjadi lebih ringkih. Ia gampang sekali sakit. Tak jarang juga pingsan.
Hal itu membuat Lav lebih protektif padanya. Bahkan ia belum jadi mengurus surat kepindahan sekolah Vai. Ia tak bisa megizinkan adiknya sekolah dalam keadaan begini.
Bahkan Lav hanya menerima job saat Vai merasa sehat. Bila tidak, Lav akan menolak. Lav bahkan pernah mengajak Vai menemaninya membantu orang melahirkan.
Sudah tiga bulan semenjak kepindahan mereka ke apartemen baru. Sakit Vai sudah agak mereda. Ia masih sering muntah meski tak sesering dulu.
Lav cukup tenang dibuatnya. Ia mulai menerima lebih banyak job sekarang.
Sarapan pagi ini ... Vai hanya mengaduk-aduk isi piringnya. Lav melirik kelakuan adiknya itu.
"Vai ... kenapa tidak dimakan?"
"Vai ... tidak lapar."
"Hey, kau kan baru sembuh. Nanti kau sakit lagi, lho."
"Tapi kalau Vai makan rasanya mu - ...." Belum selesai Vai bicara, ia sudah lari duluan ke kamar mandi.
Lav sudah tahu, adiknya muntah lagi. Lav menyusulnya. Dilihatnya baju Vai kotor oleh cairan yang dimuntahkannya.
"Kau tak apa?"
Vai mengangguk.
Lav segera membantu Vai melepaskan kaosnya. Satu hal membuat Lav mengernyit heran. Ia memerhatikan hal itu dari dua sisi. Dari penglihatannya sendiri, dan juga dari refleksi Vai di cermin.
Gundukan itu memang nyata. Bukannya selama ini Vai sakit, jarang makan. Mana mungkin ia tambah gemuk, kan?
Dan ... hanya di bagian perut saja pembesaran itu.
Detak jantung Lav terpacu. Muncul lah beberapa kemungkin yang bisa dibilang sangat buruk dalam pikiran Lav. Tapi ia berusaha menepis pikiran - pikiran buruk itu. Mengganti dengan pikiran positif.
"Kenapa, Lav?"
Lav langsung terkesiap karena pertanyaan Vai. Lav pun langsung kembali ke dunia nyata. "Boleh aku pegang perutmu?"
Vai mengangguk.
Lav segera melakukanya. Jantung Lav berdetak dua kali lipat lebih kencang. Ia segera menelan ludah saat tangannya benar - benar sudah menyentuh perut Vai.
Tidak mungkin. Lav mengacak rambutnya frustasi. Tanpa menghiraukan Vai yang kebingungan menatapnya.
***
Dengan gemetar, Lav menunggu Vai di luar toilet. Tak begitu lama hingga Vai menyerahkan satu tabung kecil berisi air seninya. Lav segera meletakkan sebuah test pack di sana.
Hasilnya ... sama dengan yang Lav pikirkan. Positif.
Vai memang hamil. Dan bila dilihat dari ukurannya, usia kandungannya kurang lebih sudah tiga bulan. Sementara ... kenapa jadi seperti ini?
Seketika pikiran Lav kembali terfokus pada banyak kemungkinan buruk. Sampai buruknya sampai membuatnya menggeleng frustrasi hanya dengan memikirkannya.
Dua minggu yang lalu pun Lav mendapati dirinya hamil. Tapi bahkan usia kandungannya baru menginjak dua bulan.
Berarti ... Nam sudah pernah melakukan hal itu pada Vai sebelumnya.
Hati Lav serasa makin hancur berkeping. Tapi apa yang bisa dilakukan Lav? Tak ada ... benar-benar tak ada.
"Lav kenapa?" tanya Vai.
Lav segera berusaha bersikap normal dan tersenyum.
"Tidak." Lav berusaha mencari alasan.
Pikirannya berarak. Vai adalah tipe anak yang cukup aktif. Ia harus tahu keadaannya, agar ia lebih bisa mengontrol diri.
Tapi Lav ragu. Ia harap Vai bisa mengerti apa yang akan dijelaskannya.
"Vai ...."
"Iya?"
"Mulai sekarang, Vai harus lebih tenang dan hati - hati. Tidak boleh melompat - lompat lagi, ya!"
"Memangnya kenapa?" Mata Vai mengerjap polos.
Jantung Lav terus - menerus berdetak kencang. Rasanya benar-benar takut. Tapi ia memang harus mengatakannya.
"Di sini ...." Lav meletakkan tangannya ke perut Vai. "Di sini ada bayi kecil. Bayinya Vai. Maka Vai harus menjaganya. Bila Vai melompat - lompat, Baby akan sakit."
Mata Vai berbinar. "Vai akan punya bayi?" Ia terlihat antusias.
"Ya ...," jawab Lav. Suaranya bergetar.
Entahlah ... ia sedang menahan tangis. Ini salahnya. Ia lah yang salah memilih pasangan. Tapi kenapa Vai juga harus kena imbasnya?
***