Tale 87

1132 Kata
"Astaghfirullah ... ya Allah ... Mas Iyaz kenapa ini Mbah Jum?" tanya Pak Muklas begitu mereka sampai dan melihat bagaimana keadaan Jodi. Tentu saja mereka terkejut. Siapa yang tidak akan terkejut saat melihat bocah yang biasanya terhitung paling aktif di dunia, tahu-tahu berada dalam kondisi tak sadarkan diri, dengan banyak sekali darah mengalir dari tubuhnya. Hal seperti ini sama sekali tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiran mereka, akan terjadi pada Jodi tuan muda mereka yang selalu lincah dan penuh energi, bahkan kelebihan tenaga. Mbah Jum langsung menggeleng. "Aku juga nggak tahu, Muklas. Tadi aku pamit buat anter kepergian Tuan dan Nyonya dulu ke luar sebentar. Setelah Tuan sama Nyonya berangkat, aku langsung balik. Dan aku malah lihat Mas Iyaz seperti ini." Mbah Jum berusaha menjelaskan situasinya sebisanya di sela-sela Isak tangis. "Ya Allah Mas Jodi ... kenapa bisa jad begini." Mr. Bagie pun nampak benar-benar syok atas kejadian ini. "Gimana ya ini, Muklas ... Bagio .... Apa yang harus kita lakukan untuk menolong Mas Iyaz? Mbah Jum bingung banget. Tadi Tuan sempat bilang ke Mbah Jum untuk paksa saja bawa Jodi ke rumah sakit. Apa kita ke rumah sakit aja dulu. Supaya Mas Iyaz segera bisa ditolong. Kasihan Mas Iyaz." "Iya, gitu juga nggak apa-apa, Mbah Jum," sahut Pak Muklas. "Uhm ... coba aku hubungi Nyonya sama Tuan. Mereka pasti belum jauh kan. Supaya mereka tahu ... Mas Iyaz benar-benar sakit, dan membutuhkan kehadiran mereka di sisinya." Mbah Jum kembali meminta pendapat. "Oh ... begitu juga nggak apa-apa." Tak butuh waktu lama bagi Pak Muklas untuk setuju atas ide Mbah Jum. Karena jujur mereka juga gemas dengan kelakuan Jayadi dana Maharani. Memang ia mereka menyempatkan pulang setelah diberi kabar bahwa Jodi sakit. Tapi kedatangan mereka benar-benar dalam kurun waktu yang singkat. Yang membuat Pak Muklas ingin bilang, "Aturan kalau cuman sebentar, mending nggak usah pulang sekalian." Tapi tentu saja baik Pak Muklas atau pun Mr. Bagie, hanya bisa mengatakan itu dari dalam hati saja. Hanya bisa heran, ternyata ada orang tua yang nyaman pergi jauh ketika anaknya jelas-jelas berada dalam kondisi kurang baik. Jika mereka adalah orang tua Jodi, mereka tentu akan sangat menyayangi anak sebaik Jodi ini. Selain baik, juga berprestasi di bidangnya. Mereka tidak akan memaksakan kehendak pada Jodi, tentang perusahaan yang mereka kembangkan. Kecuali jika anak-anaknya memang mau sendiri, tanpa ada unsur pemaksaan sama sekali. "Ya, udah. Kalau gitu tolong pindahkan Mas Iyaz ke ranjangnya lagi. Biar aku langsung telepon Tuan sama Nyonya saja. Mereka pasti belum jauh, supaya cepat kembali. Pak Muklas dan Mr. Bagie hanya langsung setuju dengan ucapan Mba Jum itu. Mereka pun perlahan langsung bersama-sama memindahkan Jodi dari dinginnya lantai, kembali ke atas ranjangnya. Selama Mbah Jum berdiri dengan menempelkan gagang telepon di telinganya, mereka bertugas untuk menjaga Jodi. Berharap Jodi juga akan segera sadar. Supaya bisa menjelaskan apa yang ia rasakan, dan apa yang sebenarnya ia butuhkan. Apa yang Jodi ingin minta tolong, supaya merasa lebih baik. Mbah Jum menekan angka-angka yang sudah sangat ia hafal. Kini ia sedang menanti nada tunggu. Berharap kedua tuan besarnya itu akan segera mengangkat panggilan itu. Sayang seribu sayang ... setelah menunggu sekian lama, telepon itu sama sekali tak diangkat. Hanya nada tunggu saja. Dan kemudian dijawab oleh operator. Jika si penerima telepon sedang tidak bisa memberikan respons. Astaga ... kenapa mereka tak kunjung mengangkat? Padahal mereka pasti tahu jika Mbah Jum sedang menelepon. Tidak mungkin mereka tidak sedang memperhatikan ponsel masing-masing. Mereka pasti memang sengaja tidak mau mengangkat, karena menganggap, Mbah Jum hanya akan mengabarkan hal sepele tentang Jodi. "Gimana, Mbah?" tanya Pak Muklas. Mbah Jum hanya menatap Pak Muklas dengan sedih. Kemudian menggeleng dengan penuh penyesalan. Raut wajah Pak Muklas dan Mr. Bagie pun jadi ikut sedih. Benar-benar menyayangkan nasib Jodi yang begitu malang. "Terus gimana ini, Mbah? Apa kita langsung bawa Mas Jodi ke rumah sakit aja? Mumpung dia belum sadar. Kalau sudah sadar, pasti nanti dia akan menolak dibawa ke rumah sakit." Mbah Jum berpikir, berusaha tenang, meski sulit dan terus diselimuti rasa khawatir. Ada satu nama yang ia ingat dala kepanikannya itu. Nama seseorang yang ia anggap akan bisa membantu urusan mereka. Mbah Jum ingat, ia pernah menyimpan kartu nama orang itu, di dalam laci nakas Jodi di hadapannya ini. Mbah Jum pun langsung membuka laci itu. Syukur lah, gajinya masih di sana. Mbah Jum pun langsung menekan nomor demi nomor yang tertera. Nada tunggu kembali terdengar. Tapi dalam nada tunggu yang sekarang, tersimpan keoptimisan. Karena Mba Jum yakin, seseorang yang ia telepon, tidak akan mengabaikannya. *** Pak Irwan sedang hendak masuk kelas pagi itu, ketika tiba-tiba ponselnya menyala. Hanya layar saja menyala tanpa suara, karena ia memang lebih senang mengatur ponsel dalam mode diam. Suara dering nada panggilan, sering membuatnya merasa tertekan dan pusing. Ia mengernyit karena panggilan itu berasal dari nomor rumah. Sempat curiga bisa saja itu adalah penipuan, Pak Irwan sempat ingin mengabaikan saja telepon itu. Tapi entah mengapa, muncul dorongan yang kuat dari dalam dirinya, untuk tidak mengabaikan panggilan itu begitu saja. Setelah berpikir beberapa saat, Pak Irwan pun memutuskan untuk menerima panggilan itu saja. Membayangkan bagaimana jika yang menelepon adalah seseorang yang sedang sangat butuh bantuan. "Halo, ada yang bisa saya bantu?" Pak Irwan pun berakhir benar-benar menerima telepon yang bersangkutan. Hal pertama yang ia dengar adalah, Isak tangis. Membuat Pak Irwan terhenyak. Kenapa orang yang meneleponnya ini menangis? Meski kecurigaan tetap ada, tapi ia memutuskan untuk melanjutkan mendengar terlebih dahulu. "Pak guru ... ini saya Mbah Jum." Setelah mendengar siapa ternyata orang yang sedang meneleponnya, Pak Irwan langsung yakin, jika keputusannya untuk tidak mengabaikan panggilan tadi adalah langkah yang paling tepat. "Iya, Bu Jum. Apa yang bisa saya bantu?" Pak Irwan berusaha tetap tenang. Meski pikirannya sudah ke mana-mana. Tidak mungkin Mbah Jum minta tolong, jika tidak sedang kambuh, atau sedang terjadi sesuatu yang tak bisa ia hadapi sendiri. Semoga saja buka sesuatu yang fatal. "Pak Guru ... Mas Iyaz ... dia kehilangan kesadaran. Hidungnya juga mengeluarkan banyak darah, sampai menggenang di lantai. Kami bingung harus bagaimana. Kami benar-benar butuh bantuan. Ingin membawa mas Iyaz ke rumah sakit. Tapi kami juga tidak tahu harus membawa ke rumah sakit yang bagus yang mana. Tolong katakan pada kami apa yang harus kami lakukan, Pak?" Pak Irwan pun langsung terkesiap. Ternyata memang benar dugaannya. Mbah Jum tidak mungkin menelepon, jika tidak sedang terjadi sesuatu. Seperti waktu itu lagi. Ketika Pak Irwan, Fariz, dan Iput, membawa Jodi ke rumah sakit karena pingsan dan mimisan sangat banyak di toilet sekolah. Pak Irwan yakin, Jodi tidak cerita tentang peristiwa itu pada orang rumah. Makanya mereka terkejut sekali ketika Jodi mengalami kejadian ini. Karena ini adalah yang pertama bagi mereka. Pak Irwan kembali menyesalkan keputusan Jodi yang urung jua terus terang pada orang terdekatnya. Sementara tubuhnya terus melemah. Pak Irwan sadar, ia tak lagi bisa diam saja. Ia ... harus melakukan sesuatu segera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN