Wanita itu menangis tertahan di sebelah sang suami. Ia sudah dipaksa pergi terlalu cepat, dan sekarang, ingin angkat telepon saja juga dilarang. Padahal perasaannya mengatakan, bahwa telepon itu akan menginformasikan sebuah kabar penting.
Ia sempat melihat di layar ponsel tadi. Nomor yang melakukan panggilan padanya, adalah salah satu kontak tercatat dalam ponselnya, yang ia beri nama rumah.
Entah siapa yang menelepon di antara orang-orang yang sedang berada di rumah. Tapi baru saja mereka berangkat, kini sudah ada panggilan dari rumah. Pasti ada sesuatu yang penting yang harus disampaikan saat ini juga, mengingat mereka belum jauh. Sehingga bisa segera kembali.
Terlebih perasaan Maharani mengatakan, ini ada hubungannya dengan Jodi. Teringat bagaimana raut waja putranya itu ketika ia berpamitan tadi. Seperti ada sorot tak rela. Sorot ingin menyampaikan sesuatu, namun terus ia tahan.
"Kamu jangan cengeng ... sudah lah. Kamu jangan terlalu lembek jadi orang tua. Aku paham, kamu begitu karena sayang. Tapi kalau cara mendidik kamu terlalu lembek, itu justru nggak bagus buat perkembangan mental Jodi sendiri. Sudah lah. Dia harus belajar menghadapi asam garam kehidupan. Supaya dia lebih bisa menghargai setiap hal yang ada dalam hidupnya."
Jayadi malah menceramahi Maharani yang masih terus saja menangis.
"Pa ... apa salahnya kembali sebentar saja? Toh kita juga belum jauh. Tiket pesawat juga masih lama jadwalnya. Kita di sana juga nggak akan langsung berangkat. Nunggu dulu. Belum lagi kala pesawatnya delay. Telepon itu nggak mungkin dilakukan kalau bukan karena hal penting. Kalau Papa memang nggak mau kembali, setidaknya biarkan aku angkat telepon itu. Sehingga aku bisa memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya aku bisa lebih tenang. Nggak kepikiran hal-hal yang tidak-tidak."
"Memangnya kamu kepikiran apa? Sudah lah. Jodi nggak mungkin kenapa-kenapa. Aku udah suruh Mbah Jum paksa dia ke rumah sakit. Di rumah sakit dia akan ditangani dokter yang jelas-jelas ahli di bidangnya. Kamu rawa pun nggak akan ada pengaruhnya. Malah bisa gawat, karena kamu bukan dokter."
Maharani pun terdiam. Sulit sekali bicara dengan suaminya ini. Sudah belasan tahun mereka menikah, tapi rasanya ia tetap belum bisa memahami cara berpikir Jayadi yang benar-benar melatih kesabaran Maharani sebagai seorang istri. Sikap Jayadi semakin buruk, semakin menjadi-jadi terhitung sejak mereka kehilangan Aldi.
Maharani awalnya memaklumi, karena itu adalah efek trauma dari kehilangan orang terkasih. Tapi lama-lama Maharani lelah juga. Ia tak pernah dihargai, hanya disakiti terus menerus.
Ia pun kehilangan. Bahkan bisa dikatakan ukuran lubang di hatinya lebih besar. Mengingat ia adalah seorang ibu. Tapi ia masih bisa mengontrol diri. Tidak kehilangan kewarasan seperti suaminya itu.
Yang lebih buruk dari semua ini adalah ... Maharani sama sekali tak bisa melawan. Ia terlalu lemah menjadi manusia. Terlalu lembek. Ia terlalu menurut pada sang suami, sehingga mengalami tekanan batin mendalam.
Perjalanan itu pun akhirnya berlanjut dalam keheningan. Supir di depan terus melaju dengan konsentrasi penuh. Sementara sepasang suami istri di belakang sana saling mendiamkan satu sama lain.
Jarak semakin lama semakin jauh. Dan sudah terlalu jauh untuk sekadar kembali. Maharani sesekali melihat ke belakang. Sempat terpikirkan untuk berbuat nekat. Tapi tentu saja hal itu tak bisa ia lakukan secara instan. Butuh sebuah perencanaan yang matang terlebih dahulu.
***
"Tenang Bu Jum ya. Oke, saya mengerti. Saya akan segera memanggilkan ambulans. Bu Jum, Pak Muklas dan Pak Bagio silakan mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Saya juga akan perjalanan ke sana sekarang juga."
Setelah mengatakan hal itu, Pak Irwan segera memutuskan sambungan telepon. Dalam seumur hidup menjadi guru, jarang sekali ia bersikap tidak profesional. Ia berdedikasi tinggi atas amanah yang sudah ia emban. Tapi untuk kasus ini, jelas berbeda.
Hubungannya dengan Jodi tak sekadar sepasang guru dan murid. Lebih dari itu, mereka adalah sepasang sahabat yang solid. Meski hubungan mereka sempat merenggang, tapi keakraban itu kembali terjalin sejak Jodi berterus terang tentang penyakitnya.
Ya, itu dia. Karena Pak Irwan adalah satu-satunya orang yang tahu untuk saat ini, maka tentu ia juga yang harus bertindak di saat dibutuhkan seperti ini.
Sudah benar ia meninggalkan kartu namanya tempo hari. Sehingga Mbah Jum bisa menghubunginya seperempat sekarang ini. Sudah benar Mbah Jum menghubunginya, karena jika wanita itu mengubungi orang lain yang tidak tahu menahu tentang penyakit Jodi, akan fatal akibatnya karena bisa jadi seseorang itu hanya akan menganggap apa yang dialami oleh Jodi hanya lah hal biasa, pingsan biasa, dan mimisan biasa. Padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Pak Irwan langsung menuju ke meja guru piket untuk melakukan izin mendadak. Ia juga memanggil ketua kelas yang akan ia ajar, untuk datang mengambil tugas di meja guru piket.
Tak ingin menunda waktu lebih lama, Pak Irwan segera menuju ke parkiran, dan ia segera tancap gas saat itu juga.
***
"Gimana, Mbah Jum?" tanya Pak Muklas.
"Siapa sih tadi yang Mba Jum telepon?" Mr Bagie kali ini.
Mba Jum berjalan mendekat kembali ke ranjang setelah menutup telepon. Ia menatap raut wajah Jodi yang seperti menahan sakit meskipun ia belum sadarkan diri. Semakin membuat hatinya hancur berkeping.
"Tadi sebenarnya aku telepon nyonya. Tapi nggak diangkat. Pasti nggak boleh sama Tuan. Terus aku ingat kalau kapan hari Pak Irwan ninggalin kartu nama. Ada nomornya di sana. Aku telepon Pak Irwan saja. Karena kita d sini sama-aama Bingung apa yang harus dilakukan. Ingin membawa Mas Iyaz ke rumah sakit, tapi bingung juga ke rumah sakit mana. Alhamdulillah Pak Irwan kasih solusi terbaik. Beliau sedang perjalanan ke sini, dan sudah panggil ambulans. Sebentar lagi ambulans akan datang. Ayo kita siapkan dulu semua keperluan."
Pak Muklas dan Mr Bagie pun kini mengerti. Bingung sekali mereka akan segala sesuatu yang terjadi. Bahkan awalnya mereka mengira Jodi hanya kelelahan setelah bertanding, sehingga mengalami masuk angin. Tapi ternyata, sampai saat ini, keadaan Jodi belum membaik, bahkan justru semakin memarah. Hingga puncaknya terjadi pagi ini.
"Sebenarnya Mas Iyaz ini kenapa ya Mbah Jum? Kalau masuk angin biasa, kenapa lama banget sembuhnya. Mana sekarang malah mimisan banyak dan pingsan." Pak Muklas akhirnya menanyakan hal itu.
Disusul Isa tangis Mbah Jum kembali. Wanita itu bahkan tidak berani menyuarakan kekhawatiran dalam hatinya. Hanya memandamnya sendiri. Berharap suara hati itu salah.
Tapi ternyata Pak Muklas merasakan hal sama. Sekarang tiga orang usia lanjut itu hanya bisa saling menguatkan, sembari menunggu ambulans datang.
Dan juga menyiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa dalam kesedihan yang mendalam.