"Mas Iyaz, Mbah Jum pamit dulu sebentar. Mbah Jum harus mengantar kepergian Mama dan Papa Mas Iyaz. Sebentar saja ya, Mas. Mbah Jum akan segera kembali, untuk mendengar cerita Mas Iyaz." Mbah Jum pun akhirnya terpaksa berpamitan dulu pada Jodi.
Jika bisa memiih, ia pun akan memilih tetap di sini saja bersama Jodi. Tapi ia hanya asisten di sini. Tentu saja ia ahrus selalu mengantar kedua majikannya, setiap kali mereka akan berangkat dinas.
Jodi nampak sudah pasrah. Remaja itu hanya mengangguk samar. Tatapannya tampak kosong. Entah apa yang Jodi pikirkan.
Mbah Jum turun dari kursi tempatnya duduk. Ia letakkan kembali mangkuk ke dalam nampan.
Mbah Jum pun mulai berjalan pelan keluar kamar. Sembari sesekali menatap dan menoleh pada Jodi. Berharap setelah ini, Semuanya benar-benar baik-baik saja, seperti yang Jayadi Dan maharani ucapkan tadi.
Sepeninggal Mbah Jum, Jodi terus menatap ke arah jendela. Dari jendela itu, Jodi nisa menatap ke bawah, dan melihat semuanya. Untuk pertama kalinya, Jodi ingin sekali mengamati kepergian kedua orang tuanya.
Meski tak yakin dengan kata-kata mereka tadi, tapi ia bisa merasakan kepedulian mereka barang sedikit.
Jodi pun mulai berusaha bergeser ke arah pinggiran ranjang. Dengan menahan sakit yang teramat sangat. Bergerak sedikit saja kembali membuat keringat dinginnya merembes keluar.
Jodi berpegangan pada apa pun yang bisa ia raih, dengan sisa-sisa tenaga, ia bangun ke posisi duduk. Dan dengan berpegangan kembali, ia berusaha berdiri.
Sulit sekali menjaga keseimbangan. Menjaga supaya posisi berdirinya stabil tanpa sempoyongan. Kedua kaki Jodi terasa sangat lemah dan lemas setelah tidak berjalan sama sekali selama kurang lebih satu minggu. Hanya digunakan berjalan ke kamar mandi saat ia ingin buang air. Itu pun biasanya ia dipegangi oleh Mbah Jum, Pak Muklas, dan Mr. Bagie. Baru kali ini ia benar-benar melakukannya seorang diri.
Dengan usaha yang begitu besar, dengan sangat bersusah payah. Jodi akhirnya kini berdiri tepat di hadapan jendela itu. Ia sibak korden yang terbuka setengah saja. Benar, ia bisa mengamati segala hal dari sini.
Jayadi sudah masuk ke dalam mobil duluan. Sementara Maharani sedang berpamitan pada mbah Jum, Pak Muklas, dan Mr. Bagie.
Selanjutnya Maharani pun menyusul Jayadi masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan rapat. Perlahan mobil itu mundur, kemudian berbalik dengan sempurna. Perlahan mobil itu mulai pergi meninggalkan pekarangan rumah. Dan setelah kepergiannya, bubar pula lah barusan kecil yang terdiri dari Mbah Jum, Pak Muklas, dan Mr. Bagie.
Jodi masih menatap lurus ke arah mobil itu melaju. Di saat itu lah, tetes-tetes cairan berwarna merah mulai meluncur dari kedua lubang hidung Jodi. Jodi merasakannya, diikuti dengan dengingan melengking di telinganya. Kepalanya serasa dihantam palu godam nan besar. Membuatnya meringis, menahan betapa sakitnya.
Ingin rasanya Jodi segera kembali berbaring di ranjang saja. Namun pandangannya perlahan menjadi ganda. Disusul serangan sakit kepala yang terus menyerang. Kucuran darah pun semakin deras mewarnai piyama warna biru mudanya. Dan juga mewarnai lantai putih di bawah.
Jodi gagal menjaga keseimbangan. Ia berusaha berpegangan supaya tidak jatuh, namun justru juntaian gorden lah yang ia raih. Yang tentu tak mampu menopang tubuh Jodi, justru terlepas dari tiang penyangganya di atas.
Jodi pun jatuh menghantam dinginnya lantai bersama juntaian kain berwarna putih itu. Dan seketika kehilangan kesadarannya.
***
Mbah Jum berjalan kembali menaiki satu per satu anak tangga, menuju kembali ke kamar Jodi untuk melanjutkan menyuapi sang tuan muda, dilanjutkan membantu meminum obat.
Langkah kaki renta itu tak bisa bergegas menaiki satu per satu anak tangga. Pelan-pelan asal selamat. Hingga ia akhirnya benar-benar sampai di lantai dua.
Langkah kakinya menuju ke arah kiri, hingga berhenti tepat di depan pintu berwarna cokelat. Tanpa ragu, Mbah Jum hanya langsung memutar knop pintu, dan lanjut masuk ke dalam kamar itu.
Awalnya ia belum menyadari kejanggalan yang ada. Baru ia sadari setelah ia menutup kembali pintunya. Ranjang Jodi terlihat kosong. Mbah Jum pun mengernyit, bertanya-tanya kira-kira sedang berada di mana Jodi?
Mbah Jum menengok ke arah kiri, tempat kamar mandi dalam kamar ini. Tidak ada Jodi di sana, karena pintunya terbuka. Lagi pula biasanya jika mau ke kamar mandi, Jodi selalu menunggu ada Orang yang bisa membantunya terlebih dahulu.
Mbah Jum bertanya-tanya di mana keberadaan Jodi. Dengan keadaan seperti itu, Jodi tidak mungkin bisa kabur kan? Berjalan sedikit ke kamar mandi saja pasti sudah cukup untuk membuat anak itu keringat dingin.
Astaga ... padahal Mbah Jum sudah sangat penasaran dengan apa yang akan Jodi ceritakan ke padanya. Tapi Jodi malah menghilang begini.
"Mas, Mas Iyaz!" Mbah mencari-cari Jodi. Tapi dia tak mendapatkan jawaban apa pun. Dan saat itu, Mbah Jum baru menyadari bahwa salah satu sisi gorden jendela, telah terlepas dari tiang penyangganya.
Langkah renta itu secara otomatis melangkah dengan cepat menuju ke arah jendela. Dari sini memang tidak terlihat apa yang ada di balik ranjang. Tepatnya di bagian bawah.
Mbah Jum berharap pikirannya tidak lah benar. Namun ia tetap melangkah ke sana dengan sendirinya.
"Ya Allah, Gusti!" Mbah Jum sangat syok melihat Jodi tergeletak di lantai.
Dengan segera tubuh rentanya berlari sekuat tenaga menghampiri Jodi di sana. Ia berlutut dan melihat genanganbdaeah di lantai. Dan darah itu bersumber dari hidung Jodi.
Mbah Jum berteriak memanggil Pak Muklas dan Mr. Bagie. Mbah Jum seketika itu juga menangis. Antara benar-benar tertekan melihat Jodi yang begitu ia sayangi, berada dalam keadaan yang seperti itu. Juga sangat khawatir. Bertanya-tanya kenapa Jodi bisa seperti itu.
Pak Muklas dan Mr. Bagie yang berada di lantai bawah, sepertinya tidak mendengar panggilan Mbah Jum. Wanita itu pun kembali berdiri, kembali berlari sebisanya keluar kamar.
Ia kembali berteriak di balik pagar pembatas lantai satu dan lantai dua. "Muklas ... Bagio!" Mbah Jum berteriak sekali lagi. Ia lakukan beberapa kali, hingga ia melihat dua orang laki-laki itu berlari dan kini sama-sama sedang menengadah ke atas.
"Ada apa, Mbah Jum?"
"Cepat kalian ke sini. Tolong Mas Iyas. Ayo cepat!" Mbah Jum segera menjelaskan.
"Mas Iyaz kenapa?"
"Udah, cepat ke sini saja. Cepat!"
Mbah Jum segera berbalik saja, kembali ke dalam kamar Jodi. Supaya Pak Muklas dan Mr. Bagie segera ikut dengannya saja. Sehingga Mbah Jum tak perlu terlalu bertele-tele menjelaskan.
Mbah Jum segera menghampiri Jodi kembali. Wanita itu sudah menangis tersedu-sedu. Menangisi Jodi yang sama sekali tak memberi respons akan kedatangannya.
Mbah Jum duduk bersimpuh di lantai, tak peduli ia terkena noda darah itu. Ia kerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh bagian atas Jodi, kemudian ia letakkan kepala sang tuan muda di atas pangkuannya.
Berapa pucat raut wajah Jodi. Mbah Jum meraih kotak tisu di nakas. Ia ambil beberapa lembar sekaligus untuk membersihkan darah pada wajah Jodi.
"Ya Allah ... astaghfirullah ... kenapa Mas Iyaz tiba-tiba seperti ini? Tolong jangan biarkan Mas Iyaz kenapa-kenapa ya Allah. Jadikan lah Mas Iyaz baik-baik saja. Hamba mohon ya Allah ...." Mbah Jum memanjatkan doa di tengah-tengah isakannya.
Terdengar derap langkah kaki yang masuk kamar. Pak Muklas dan Mr. Bagie sudah datang.
"Di sini!" Mbah Jum segera memberi tanda pada mereka.
Mereka bertanya-tanya. Dan segera melangkah ke sana supaya rasa ingin tahu mereka terjawab.
Saat mereka mengetahui apa yang terjadi, merek segera meneriaki nama Jodi berkali-kali saking terkejutnya. Siapa yang tidak terkejut jika melihat seseorang yang sangat dekat dengan kita, tiba-tiba berada dalam kondisi seperti itu?