Tale 25

1007 Kata
Kali ini Garlanda masuk dalam kehidupan seorang gadis yang hampir depresi bernama Yulia. Kasihan, gadis itu masih sekolah, namun sudah harus menghadapi sebuah hal yang begitu menyedihkan, sampai - sampai membuatnya hampir gila. Ia telah kehilangan cinta pertamanya. Kehilangan untuk selama - lamanya. *** Sebelas Desember, 2010. Terdapat 17 friend requests, 48 notifications, dan 8 messages. Wah … masih rame aja f*******:. Padahal setiap sempat, pasti aku log in akunnya. Bahkan aku lebih sering log in ke akunnya dari pada akunku sendiri. Dan setiap aku log in, pasti aku takjub dengan eksistensi Chico di dunia maya. Kubaca komentar - komentar di album foto Chico. Rata - rata isinya sama. ‘Eh, lucunya ….’ ‘Kenapa nggak pernah upload foto lagi?’. ‘Ih, pacar siapa, sih, lucu banget?’. ‘Uwaaah ….’ Semacam itu lah. Aku senyam - senyum sendiri dibuatnya. Muncul sebuah kebanggaan yang mendalam. Benar - benar bangga aku punya pacar kayak Chico. Cewek - cewek yang komentar tadi adalah mereka yang baru aku terima friend request - nya. Sebelum komentar - komentar itu masih ada beratus - ratus komentar lain, yang nggak pernah aku bales. Males. Terlalu banyak. Puas membaca komentar baru, aku membuka inbox. Tuh, kan, rata - rata pesan yang masuk masih identik dengan komentar yang mereka tulis. Tapi ada satu pesan yang membuatku memicingkan mata dari seorang cewek. 'Gue sering lihat lo dulu, sekolah kita sebelahan. Lo pindah sekolah, ya, kok nggak pernah kelihatan? Gue juga sering lihat Yulia jalan sendiri, apa kalian udah putus? Gue juga baru putus, apa lo mau memulai sama gue? Kita coba dulu.' Gimana bisa ada cewek yang berani banget nulis kayak gini ke cowok? Seperti nggak punya harga diri. Aku terbawa emosi, lalu membalas pesannya. 'Hai, ini Yulia.' Cewek itu langsung membaca pesanku, dan saat ini sedang menulis balasan. 'Kok yang bales lo?' 'Sah - sah aja dong gue bales pesan yang masuk ke inbox pacar gue.' 'Oh, jadi kalian belum putus? Sorry deh. Gue pikir kalian udah putus. Tapi sumpah gue dari dulu tertarik sama Chico. Kalau boleh tahu kenapa dia nggak pernah kelihatan?' Aku mengernyit membaca pesan terakhirnya. Dia bilang sekolah kami sebelahan, tapi kenapa kentinggalan zaman banget? Baik lah, kalau memang cewek ini belum tahu, akan ku beri tahu. Lumayan, bisa menambah kiriman doa untuk Chico. 'Chico udah nggak ada. Udah meninggal. Akun ini sekarang gue yang pegang. Tolong doain dia, ya.' Cewek itu langsung membaca pesanku. Tapi ia tak segera membalas seperti tadi. Ia sudah mengetik sebenarnya, tapi belum mengirim balasannya. Aku tidak heran, sudah hafal dengan gelagat cewek - cewek yang kuberi tahu tentang berita ini, selalu seperti itu. Kalau aku ada di posisi mereka juga pasti seperti itu. Mengarang kata - kata yang pas supaya si lawan bicara alias aku sendiri alias pacarnya Chico, merasa sedikit berkurang kesedihannya. 'Innalillahi. Sekali lagi sorry ya. Gue bener - bener nggak tau. Dan gue turut berduka, gue nggak bermaksud. Maafin gue.' 'Nggak apa - apa kok. Tapi gue serius . Tolong kirim doa buat dia ya. Supaya dia bahagia di sana. Trima kasih!' Berbeda dengan komentar - komentar di album, setiap inbox yang menanyakan tentang Chico, setiap hari, setiap saat, setiap waktu, aku tak pernah bosan membalasnya. Ini sudah menjadi rutinitas baruku semenjak 10 bulan lalu. Teman - teman kami di sekolah yang juga berteman dengan kami di f*******:, nggak pernah bosan memberi like status - status yang aku update di akun Chico atau akunku sendiri. Mungkin itu adalah wujud kepedulian mereka. Dan aku senang dengan kepedulian mereka pada kami. Cewek yang tadi baru saja membalas pesanku lagi. 'Iya, tentu akan gue doain. Btw, kalau boleh tahu, Chico meninggalnya kenapa, dan kapan kejadiannya?' Nah ini, cukup sampai di sini. Bila pertanyaan seperti ini sudah muncul, maka aku nggak akan membalasnya. “Sayang!” Gawat! Ada Mama! Langsung saja aku selipkan ponselku ke bawah bantal. “Iya, Ma,” jawabku begitu Mama sampai. “Kamu lagi ngapain?” “Lagi tiduran aja.” Mama hanya diam mendengar jawabanku, meskipun sepertinya agak curiga. Mungkin aku memang lagi beruntung, posisiku dari tadi emang udah berbaring gini. Mama jadi nggak punya bahan dan bukti buat menuduhku macam - macam. Karena biasanya Mama akan langsung mengomeliku. “Ya udah, kamu cepet tidur, udah malem.” Mama mengecup keningku. Kutatap terus Mama sampai beliau benar - benar sudah keluar. Perlahan aku duduk dan mengambil ponsel di bawah bantal. Saat lagi asik lihat - lihat foto Chico, tiba - tiba Mama masuk lagi. YA TUHAN. Setelah melihat apa yang kulakukan, Mama langsung menangis dan berlari keluar. Aku beranjak mengejarnya. Papa sedang nonton TV di ruang keluarga. Papa terlihat shock saat melihat Mama menangis. Mama langsung masuk kamar tanpa menyapa Papa. Papa juga segera berusaha mengejar Mama seperti yang kulakukan. Sia - sia. Mama sudah mengunci pintu dari dalam. Sekarang aku diam. Siap - siap untuk mengalami hal ini untuk kesekian kalinya. “Yulia, udah Papa bilang berkali - kali, iklaskan Chico! Udah dong, Sayang! Papa sama Mama benar - benar hancur lihat Yulia seperti ini!” Aku diam terpaku. Bibirku bergetar dan napasku mulai sesak. Pandanganku mengabur karena butiran - butiran air bening sudah naik membasahi kedua bola mataku, dan sebentar lagi akan terjatuh. Aku menangis. Lagi. Papa sudah angkat tangan bila aku menangis seperti ini. Beliau segera beranjak, kembali ke ruang keluarga. Kulihat Papa justru mematikan TV, dan hanya duduk diam di sofa. Kenapa selalu begini? Kenapa? Kenapa mereka melarang aku melakukan ini? Apa aku salah melakukannya? Apa aku salah mengenang pacarku sendiri? Lagi pula dengan terus mengenang Chico, akan semakin banyak pula orang yang mendoakannya. Aku dan Chico memang sudah terpisah secara fisik. Raga kami memang sudah tak bersama. Chico mendahuluiku pergi ke fase hidup selanjutnya. Tapi cintanya tak pernah pergi dariku, bukan? Cinta kami nggak akan pernah terpisah. Nggak ada yang bisa pisahin cintaku dan Chico. Nggak ada! Apa aku salah mengenang dia?. Mungkin aku sudah mempersiapkan segalanya. Karena aku tahu bahwa Chico akan pergi, aku tahu! Aku telah menguatkan diriku sendiri. Tapi ternyata kenyataan lebih sulit dijalani dari pada dikatakan, apa lagi dibayangkan. Chico, maafin aku! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN