Tale 24

1009 Kata
Malam itu sepi. Seperti biasanya. Bedanya, malam ini Lua masih sendiri. Ayah dan Ibu belum pulang. Ia hanya diam nonton TV. Tadi ia sudah minum s**u. Rasa tak nyaman membuatnya pindah posisi berkali - kali. Ditambah rasa tajam yang menusuk di area punggungnya. Seperti ini tak aneh. Sudah biasa. Hanya saja, dua jam yang lalu tiba - tiba celananya basah. Ia langsung tahu bahwa itu ketuban. Ia sudah menelepon Ibu. Ibu bilang untuk menunggu. Lua segera mengganti celananya saja. Karena pasti tidak nyaman jika mengenakan celana yang sama. Meski bagian basahnya tak terlalu banyak. Mengingat itu tadi hanya rembesan, bukan pecah ketuban. Dan sesuai anjuran ibunya, ia menunggu. Lagi pula ia juga belum merasakan kontraksi yang berarti. Hanya rasa tak nyaman yang begitu mendominasi. Dan juga rasa sakit pinggang yang luar biasa. Sekitar pukul 9 malam, Ayah pulang bersama Ibu. Mereka dengan senyuman bahagia tiada Tara segera duduk di sisi kiri dan kanan Lua. Mereka membawa tas besar, entah berisi apa. "Bagaimana, Sayang? Apa perutmu terasa sakit?" tanya sang Ibu. "Hanya sedikit, Bu. Agak mulas." "Hmh ... sepertinya malam ini akan panjang, Sayang." Ibu mengacak rambut Lua pelan. Pancaran bahagia itu terlihat jelas. "Sabar ya sayang. Rasanya memang akan sangat sakit. Dan kamu akan melewati perjuangan yang tidak mudah. Tapi semua akan terbayar ketika bayinya lahir. Percaya sama Ibu." Lua lagi - lagi hanya bisa tersenyum. Terbayang sudah rasa sakit yang akan ia rasakan. Terbayang juga sulitnya perjuangan yang akan ia hadapi. Namun rasa bahagia yang membayar segala rasa sakit dan perjuangannya ketika bayi itu akhirnya lahir ... Lua tak bisa membayangkannya. Tentu saja, karena Lua sebenarnya tidak menginginkan bayi ini. Tentu saja, laki - laki mana yang membayangkan akan pernah mengalami hal seperti ini, kehamilan, persalinan? Tapi Lua melakukannya, mengalami itu semua. Menjadi objek dari kegilaan kedua orang tuanya yang terobsesi untuk memiliki anak lagi. "Tunggu sebentar ya, Anak Ayah. Ayah akan mempersiapkan segala kebutuhan." Ayah berpamitan dengan raut wajah yang tak kalah bahagia dari ibu. Ayah membongkar isi tas yang dibawanya tadi. Sebuah plastik besar ia keluarkan dari sana. Ternyata itu bak plastik. Ah ... Lua tahu. Orang tuanya menginginkan water birth untuknya. Tak masalah. Jam sebelas malam. Lua mulai tak bisa tenang. Kontraksi setiap 10 menit sekali membuatnya seakan lumpuh. Sulit rasanya untuk bergerak ataupun berdiri. Sesekali ia menggeliat mengikuti setiap rasa sakit yang menyerang. Rasanya sungguh buruk, teramat sangat buruk hingga tak dapat diungkapkan dan dijelaskan. "Sakit, Sayang?" Ibu menyibakkan rambut Lua ke samping. "Tak apa, Sayang. Semuanya akan baik - baik saja." Ayah hanya tersenyum sambil membawa selang untuk mengisi bak yang sudah dipompanya. "Berdiri lah, Sayang," instruksi Ibu. Ia membantu Lua untuk Itu."Ayo kita jalan - jalan sedikit. Nanti itu akan membantu proses persalinanmu." Lua mengangguk, ia membayangkan bagaimana ia akan bangun Sementara rasa sakit itu begitu nyata terasa. Ibu dan Ayah membantunya bangun. Kedua kaki Lua rasanya lemas. Jika kedua orang tuanya tidak memeganginya seperti ini, pasti ia akan jatuh ke lantai. Perlahan Lua mulai berjalan. Satu tangannya bertengger di pinggang. Satu lagi digandeng oleh ibunya. Lua bisa merasakan licin di antara kedua kaki dalam setiap langkahnya. Tiga jam .... Pukul satu dini hari. "Ibu ... aku mau duduk," ucap Lua di sela - sela napasnya. Kontraksinya semakin dekat. Pergerakan di dalam sana membuatnya semakin menderita pula. Tubuhnya sudah basah dengan keringat. Terlihat licin dan mengkilat. "Baik lah, kita duduk dulu." Ibu menuntun Lua menuju ke sofa lagi. Ayah menunggu di sana dan segera melepas celana anaknya. Kemudian melebarkan kakinya. "Pembukaan 5, Lu!" serunya. Lua tak merespons. Ia hanya sibuk dengan kontraksi yang dirasakannya. Ia juga melakukan contoh dari ibunya untuk melakukan teknik pernapasan. Meski itu tak banyak membantu, toh Lua tetap melakukannya Tangan Ibu masuk ke dalam kaos - nya. Mulai membuat gerakan memutar di perutnya. Tangannya yang hangat membuat Lua merasa nyaman. Ibu tersenyum dibuatnya. Lima jam .... Pukul enam pagi. Lua bersandar lemah di sofa itu. Kedua kakinya ditekuk. Ia sudah dengan posisi orang melahirkan normal. Lubangnya juga sudah terbuka sempurna. Pergerakan mendesak di pelvisnya benar - benar membuat napas tercekat. Rasanya seperti merobeknya dari dalam. "Ibu ... nggh ... Ibu ...." Ia memanggil - manggil Ibunya. Ibu segera terbangun. Dan dengan segera menggapai tangan anaknya. Ia juga membangunkan suaminya. "Sayang ... sudah waktunya!" serunya. Mendengar itu, suaminya segera bangun. Ia melepas kaos oblong Lua. Kini perut besar dengan beberapa guratan dan bulu halus itu terekspos sempurna. Kesan indahnya semakin terasa karena perut itu terlihat mengkilat dan tipis. Napas Lua pendek dan putus - putus. Ibu terus membimbingnya untuk terus melakukan teknik pernapasan. "Apa yang kau rasakan, Sayang?" "Ibu ... aku ... ngghh ...." Lua tak sanggup meneruskan kata - katanya. Ia tahu ... ia tahu melahirkan akan sakit. Tapi ia tak pernah berpikir bahwa rasanya akan seperti ini. Ia merasakan seperti terbakar di lubangnya. Entah apa yang terjadi. Sementara otot perutnya terus mengencang. Juga pergerakan bayinya. Ayah mengambil beberapa helai tisu dan membersihkan lubang Lua. Lua tak bisa melihatnya, tapi ia segera tahu itu darah saat tisu tadi diangkat tinggi oleh Ayah. Ayah kemudian membantu Lua untuk bangun. Ia juga dengan telaten menuntun Lua menuju bak plastik. Ibu berada di belakang Lua untuk menopangnya. Sementara Ayah setiap menunggu dan berjongkok di antara kedua kaki Lua yang mengangkang. Tanpa diarahkan, Lua segera mengejan. Bayinya yang memberinya signal untuk melakukan hal itu. Pukul sembilan pagi ..... Lua merasa sangat lemas. Tubunya seperti mati rasa. Ia lelah sekali. Apakah ia kurang kuat dalam mengejan? Kenapa bayinya belum mau keluar? "Ayo, Sayang!" Ibu terus menuntunnya. "Ibu ... ergh .... nnghhh ....." Lua mengejan lagi. "Big push, Lu. Kau harus mengejan lebih kuat." Ayah kali ini. "Eunngggghh ...." Ayah terlihat meraih sesuatu di sana. Kepala bayi pertama Lua sudah terlihat. Lua terus mengejan kuat hingga akhirnya kepala bayi itu keluar. Disusul dengan pundak dan akhirnya meluncur keluar seluruhnya. Tubuh Lua terhempas ke belakang. Menyandar pada Ibu. Satu bayi. Ia masih harus berjuang untuk dua bayi lagi. Lua yakin lubangnya telah robek lebar sekali. Ia yakin tak akan mampu berjalan dalam beberapa waktu yang akan datang. Mungkin cukup lama. Tapi ia bisa apa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN