Tujuh Januari, 2009.
Bel istirahat bagaikan irama Surga. Anak - anak berhamburan keluar kelas. Ke mana lagi kalo nggak ke kantin? Ada, sih, yang stay di kelas sepertiku. Tapi kami beda tujuan. Mereka stay di kelas untuk ngerjain PR, sedangkan aku .…
“Tebak! Siapa, hayo?”
Ada sepasang tangan yang menutup kedua mataku dari belakang. Nggak usah ditanya juga aku udah tahu ini siapa.
“Lepasin, Chico! Ihh!” Aku segera mencubit lengannya.
Dan dia malah tertawa, memamerkan deretan gigi rapinya. Chico langsung duduk di bangku depanku setelahnya.
Jadi inilah tujuanku stay di kelas. Nungguin Chico. Kita emang nggak sekelas. Dia di IS3, aku di IS1.
“Apa menu hari ini?”
Bibirku terus - menerus mengulum senyum. Kalau ada Chico, bawaannya memang happy terus.
Kukeluarkan kotak bento dari tas. “Voila … nugget friedrice ala Chef Yulia!”
Chico justru tertawa lagi. “Harusnya ditambah Diaz di belakang nama kamu!”
“Itu, sih, maunya kamu!”
“Alah … kamu juga mau. Jujur aja kali!”
“Nggak!”
“Serius nggak mau jadi nyonya Diaz?”
Ihh ... mulai, deh. Langsung saja kucubit pipinya yang tirus itu.
Kalau lagi begini, pasti yang lain pada envy. Gimana, nggak? Kita, kan, couple paling mesra di SMA 7 Langit Biru. Setiap hari mereka disuguhin adegan iri - able seperti ini.
Aku selalu bawa bekal buat kami makan bareng. Kadang yang masak Mama. Kadang aku sendiri. Kali ini kebetulan aku yang bikin nasi goreng kacangan yang dibuat asal - asalan tapi penuh cinta.
Kulihat Chico cukup antusias memakannya. Dilihat dari buruknya nafsu makan pacarku, dan dia makan selahap itu, jadi pasti rasanya lebih dari lumayan.
Aku dan Chico sudah pacaran sejak kelas tujuh. Kami sama - sama bertemu cinta pertama waktu itu. Sampai sekarang, udah empat tahun hubungan kami.
Selama itu berlangsung, tak pernah ada perkara berarti yang membuat kita berantem. Dengan kata lain, kita masih adem ayem sampai sekarang.
Meskipun satu tahun lalu, ada cobaan yang sangat memukul Chico, dan tentunya juga sangat memukulku. Chico divonis kanker darah.
Pertama, dia down banget. Tapi seiring berjalannya waktu, dia udah bisa nerima kenyataan. Bahwa inilah takdir Tuhan yang harus dijalani. Karena dia hanya sebagai makhluk ciptaan - Nya yang tak punya kuasa apapun.
Chico semangat buat sembuh. Dan aku janji, akan terus dampingin dia, apapun yang terjadi.
Sebulan sekali, aku anterin dia kemo. Sebuah perbuatan biadab yang katanya dapat memperlambat laju sel kanker. Tapi perbuatan biadab itu selalu sukses membuat Chico menderita setelah menjalaninya.
Mungkin aku layak disebut sebagai ratu tega di dunia. Bila cewek lain mengalami hal sepertiku, pasti mereka memilih untuk nggak melihat pacarnya dalam keadaan memprihatinkan seperti itu. Dengan alasan yang klise. Nggak tega.
Tapi aku nggak. Aku bukan tipe cewek seperti itu. Lebih baik menemani pacarku di saat - saat terberat dalam hidupnya, daripada tidak melakukan apa - apa dengan alasan klise di atas.
“Hey, malah ngelamun!” Chico melambai - lambaikan tangannya di depan mukaku. “Udah makan, gih! Kok malah aku yang makan sendirian.”
“Hehe …,” cengirku. Nggak sadar kalo tadi udah kelamaan ngelamun.
Kusendok nasi di dalam bento dan memasukkanya ke mulut. Yumm. Not too bad untuk seorang pemula. Pantesan Chico doyan!
***
Dua Puluh Februari, 2009.
Chico menarik helaian rambut yang tertinggal di sisirnya. Ditatapnya dengan miris rambut - rambut itu.
Setiap Chico mengalami hal ini, hanya senyum yang bisa aku berikan. Senyuman yang tak kalah miris dengan tatapan mata Chico.
“Lama - lama aku botak, Yul!”
“Alah … kamu mah mau botak, mau gondrong, mau gimbal, mau brekele, tetep aja ganteng! Jangan pikirin itu, ah! Kaya nggak ada yang lebih penting aja!”
Chico tersenyum tipis. Syukur lah bukan senyuman miris. Aku suka itu.
“Jadi keluar ke mana, nih, kita?”
“Terserah kamu aja!”
Chico menggandengku ke luar. Uhm ... kebisaan. Pasti dia ngajakin aku ke lapangan. Nggak romatis banget tempat kencan kita, ya?
Tuh, kan, bener. Guys … kalian boleh julukin kita sebagai pasangan paling nggak modal di dunia. Kita nggak pernah keluarin biaya banyak saat kencan. Nggak perlu biaya bensin buat bahan bakar mobil, kan kita pecinta jalan kaki.
Nggak perlu nabung seminggu buat beli makan, kan aku udah bawain. Nggak perlu ngumpulin banyak duit buat ke café cari minum, kan di pojok ada penjual teh botol.
Di lapangan ini, kita selalu lihat anak - anak komplek lagi main bola. Atau kadang saat lapangan nggak dipake, kita cuman memandangi hamparan rumput lapangan yang luas.
Kita berdua senang menikmati bau rumput. Bau rumput bercampur tanah yang selalu mengingatkan kita akan alam. Mengingatkan kita akan pencipta - Nya.
Lapangan hari ini kosong. Suasana baru saja hujan. Bau rumput menjadi semakin kental dan menentramkan. Tempat duduk kesukaan kami adalah di bawah gawang. Dan kami selalu ambil foto berdua di sini. Entah sudah berapa ratus biji foto kami dalam pose yang berbeda, baju yang berbeda, dan waktu yang berbeda, tapi di tempat yang sama.
Kami sama - sama memiliki kopian dari foto - foto itu, yang kami pajang di kamar masing - masing.
Aku selalu suka pose Chico. Dia itu photogenic. Jadi mau pose kayak gimana aja hasilnya tetep bagus.
Kalau aku, mah, nggak kayak dia. Foto - fotoku selalu banyak yang gagal kalo nggak diatur dulu. Makannya poseku suka monoton kalo difoto.
Tapi, kan, ada Chico yang selalu memberi atmosfer positif, jadi fotoku yang beraura negatif, bisa tertutupi aura positifnya yang dominan.
“Yul … kita nggak tahu kapan kisah monoton foto - foto ini akan berakhir. Makanya jangan pernah bosen aku ajak ke sini ,ya?”
“Biar pun kisah monoton kita ini masih seribu tahun lagi, aku nggak bakal pernah bosen.”
“Yulia, makasih!”
“Buat apaan? Ayo foto lagi!”
Satu lagi foto random terjepret. Aku tersenyum melihat hasilnya. Aku yang tersenyum dan Chico yang berwajah datar meghadap ke kamera.
Aku tau bahwa Chico tadi akan membicarakan penyakitnya. Aku sudah hafal semua arti dari polah tingkahnya. Bukannya aku nggak mau mendengar keluh kesahnya tentang hal itu. Tapi setiap dia membahas tentang penyakit laknat itu, pasti ujung - ujungnya dia akan membicarakan kematian. Dan aku nggak suka itu.
***
Tigas Belas Maret, 2009.
Chico terlihat sangat menikmati kopi hitam pahit yang baru saja kubuatkan. Kopi seperti itu adalah kesukaannya. Kadang aku heran, apa enaknya minuman kayak gitu?
Setelah menyeruput sedikit, dia meletakkan lagi cangkirnya di meja. Kemudian dia kembali terjun ke dalam dunia maya. Ke dalam apple silver - nya, asik bermain di akun f*******: - nya yang selalu rame itu.
Sesekali dia menatapku, dan tersenyum. Senyumnya … Ya Tuhan … terimakasih telah mempertemukanku dengannya, dan menjadikannya kekasihku.
Chico selalu ngakak melihat komentar - komentar yang dikasih para cewek ‘gaje’ yang nggak bisa lihat orang ganteng dikit. Eits,… tapi pacarku ini nggak dikit gantengnya. Banyyaaaakkkk banget. Sampai kami empat tahun pacaran aja, nggak habis - habis gantengnya. Awet. Bahkan justru tambah banyak.
“Eh, ada Chico!” seru Papa yang barusaja pulang dari kantor.
Chico langsung bangkit dan menyalami Papa. “Iya, Oom! Udah dari tadi saya, mah! Sekalian numpang makan. Boleh, kan?”
Papa tertawa lalu geleng - geleng. “Udah tiap hari numpang makan di sini, baru izin sekarang!”
Chico ikut tertawa mendengarnya. “Ngomong - ngomong tante mana, Oom?”
“Masih ada pengajian, nanti setelah Isya pulangnya!”
“Oh, Chico boleh stay di sini sampe malem kan, Oom?
“Boleh lah. Nginep sini juga boleh!”
“Wahhhhhh ….” Chico langsung menatapku dengan pandangan m***m.
Diperkuat dengan gerakan alisnya ke bawah dan ke atas. Mirip sama oom - oom yang suka main ke tempat begituan. Ckckck. Langsung saja kucubit pinggangnya sekeras mungin.
“AAARRRGGGHHH!” teriaknya. Pasti sakit banget! “Ahelaahh … bercanda kali, Yul!”
“Biarin! Nakal, sih!”
Papa malah ketawa ngakak karena aksi kami. Dasar aneh! Tapi aku seneng Chico bisa akrab sama Papa dan Mama. Kita seperti bener - bener udah menjadi keluarga. Aku harap itu bisa menjadi kenyataan suatu saat nanti. Aku mau banget menjadi Ny. Diaz di masa depan.
***