Tale 83

1814 Kata
Mbah Jum baru saja membenarkan posisi selimut Jodi, ketika terdengar suara ketukan pintu. Tak ingin seseorang yang mengetuk pintu terus melakukan hal sama, Mbah Jum bergegas menuju ke sana untuk membukakan pintu. Entah siapa yang datang itu. Yang jelas bukan Pak Muklas ataupun Mr. Bagie yang tidak pernah ketuk pintu dulu sebelum masuk. Betapa terkejutnya Mbah Jum ketika tahu siapa yang datang. "Masya Allah ... Pak Irwan!" seru wanita renta itu. Pak Irwan pun tersenyum. Tak menyangka bahwa Mbah Jum pun masih mengingat dirinya, meski sudah tidak pernah bertemu dalam hitungan tahun. Ingatannya masih sangat tajam. "Iya, ini saya Bu Jum. Saya datang untuk menjenguk Jodi." "Alhamdulillah ... terima kasih, Pak Irwan. Silakan langsung masuk saja. Monggo. Tapi Mas Iyaz-nya masih tidur." Mbah Jum tampak menyesal karena Pak Irwan jadi tak bisa langsung berinteraksi dengan Jodi. Bahkan sempat terpikir untuk membangunkan Jodi saja, meski ia tak tega. "Oh, nggak apa-apa, Bu Jum. Biar saya tunggu sampai dia bangun saja. Kasihan kalau dibangunin. Biar dia istirahat dulu aja." Untung lah Pak Irwan seakan bisa membaca pikiran Mbah Jum. Yang seketika membuat Mbah Jum mengurungkan niat teganya untuk nekat membangunkan Jodi saja. "Ya, sudah. Kalau begitu silakan masuk dulu, Pak Irwan. Biar saya turun untuk membuat kopi dulu." "Ah ... nggak udah repot-repot, Mbah Jum." "Nggak apa-apa, Pak. Hanya segelas kopi. Rasanya sangat jahat kalau Pak Irwan sudah jauh-jauh ke sini, tapi malah nggak dikasih apa-apa." Pak Irwan pun hanya tersenyum. Kemudian membiarkan Mbah Jum berlalu. Rasanya tak enak pula jika ia sampai menolak penawaran Mbah Jum sampai dua kali. Setelah Mbah Jum berlalu, baru lah Pa Irwan masuk ke dalam kamar Jodi yang begitu besar. Ia tak terkejut sih sebenarnya. Ia sudah pernah masuk ke kamar ini dulu. Sering malah. Bedanya hanya pada tatanan ruang saja. Kini kamar ini menggambarkan sosok laki-laki yang lebih dewasa. Berbeda dengan dua tahun lalu, yang masih ada stiker karakter Naruto di meja belajar, dan beberapa ornamen khas anak laki-laki pada umumnya. Pak Irwan berusaha untuk tidak berisik. Ia melangkah sehati-hati mungkin supaya tidak membuat gaduh. Ia tak mau membangunkan Jodi. Pak Irwan mengangkat sebua kursi plastik ke samping ranjang Jodi. Ia kemudian duduk di sana, sambil memperhatikan Jodi dari dekat. Hatinya sakit melihat Jodi yang tampak begitu lemah dan pucat. Laki-laki itu tak mau tahu. Jika Jodi sudah bangun nanti, ia benar-benar harus bicara banyak hal pada bocah di hadapannya ini. Tak lama kemudian Mbah Jum datang membawa segelas kopi dan sepiring camilan. Wanita itu hanya mengantarkan, kemudian segera pergi lagi. Pak Irwan begitu prihatin pada Mbah Jum. Sejak dulu wanita itu lah yang selalu menyayangi Jodi dengan tulus. Pasti ia akan sangat hancur, ketika terjadi apa-apa pada Jodi, sementara ia tak tahu apa-apa tentang penyakit bocah itu. *** Pak Irwan pikir, ia akan menunggu cukup lama. Setidaknya satu jam lah sebelum akhirnya Jodi bangun. Tapi nyatanya tak sampai 10 menit penantian, Jodi sudah bangun. Jodi mengernyit ketika membuka matanya. Kemudian kedua maniknya membulat begitu melihat Pak Irwan ada di sana. "Lho ... Pak Irwan." Jodi langsung kelimpungan, bingung. Ia ingin duduk, tapi kepalanya terlalu pusing. Badannya terlalu lemah. Ia sampai limbung karena terlalu memaksakan diri. Pak Irwan harus membantunya untuk berbaring kembali. "Kamu mau ngapain sih, Jod. Udah kamu tiduran aja lah." Pak Irwan berujung mengomeli Jodi. Sementara Jodi masih memegangi kepala sembari memejamkan mata untuk mengusir rasa pusing yang masih sangat menggangu. "Udah lama nunggu, kah, Pak?" tanya Jodi kemudian. Ia perlahan berusaha membuka matanya kembali. Syukurlah rasa pusingnya sudah tak terlalu. "Barusan kok. Sekitar 10 menitan lah. Saya pikir, saya akan nunggu lebih lama. Kenapa kamu cepet banget bangunnya? Apa udah dari tadi tidurnya?" Jodi meraih ponselnya. Dan menyadari baru sekitar 10 menit ia tertidur. Jodi tidak heran. Ya memang begitu lah siklus tidurnya saat kondisinya sedang drop. Ia justru malah sangat sulit untuk tidur. Sulit juga untuk makan. Makanya kondisinya tak kunjung pulih. "Saya kena gangguan tidur yang lumayan parah. Jarang bisa tidur nyenyak yang lama. Ketiduran sebentar-sebentar bangun." Jodi pun menjawab apa adanya. Toh tak ada yang harus ia tutupi dari Pak Irwan. Karena laki-laki itu sudah tahu semuanya. "Yah ... itu ada hubungannya dengan tujuan saya ke sini tadi," gumam Pak Irwan. Seketika Jodi kembali mengernyit. "Maksudnya?" "Saya datang ke sini, selain untuk memastikan kondisi kamu, juga karena saya tahu, kamu yang keras kepala ini pasti menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Sudah lah Jod. Tolong kesampingkan dulu keras kepala kamu. Yang lebih penting sekarang adalah, kesehatan kamu. Ayo kita ke rumah sakit. Setidaknya di sana para dokter dan perawat tahu cara untuk segera memulihkan tenaga kamu." Jodi bergeming. Wajahnya nampak terluka. Ia bahkan kini sudah tak mau memandang Pa Irwan lagi. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Pak Irwan segera tahu jika Jodi kesal padanya. "Kenapa? Apa yang saya ucapkan tadi salah? Di mana letak kesalahannya?" "Bukan Pak Irwan yang salah. Tapi saya. Harusnya sejak awal saya tetap menjaga rahasia tentang penyakit saya pada siapa pun. Tapi saya ceroboh dengan malah bercerita pada Bapak." Pak Irwan tahu perasaan Jodi yang sedang tak menentu. Suasana hatinya menjadi buruk karena kondisi fisiknya yang buruk pula. Tapi Pak Irwan harus tetap pada tujuannya, untuk membuka mata Jodi supaya ia menyadari kesalahannya. "Saya bingung kenapa kamu merahasiakan kondisi kamu. Padahal itu sama sekali nggak perlu menurut saya. Justru itu adalah kesalahan yang fatal." Jodi urung jua mau menatap Pak Irwan lagi. Ia malah tampak semakin terluka. Tampak semakin kesal. Dan masih senantiasa bergeming. Pak Irwan memanfaatkan situasi ini untuk melanjutkan ucapannya. Ia tahu Jodi mendengarkannya, meski tak menatapnya ataupun menjawabnya. "Kalau kamu nggak mau mengatakan penyakit kamu pada orang tua kamu, setidaknya kamu harus mengatakan hal itu pada orang-orang terdekat kamu. Mbah Jum, Pak Muklas, Pak Bagio, Fariz, Iput. Atau pada pacar kamu jika kamu punya. Saya lihat akhir-akhir ini kamu juga memiliki kedekatan khusus dengan Ayla. Katakan pada mereka, sehingga mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika penyakit kamu kambuh. Pikirkan perasaan mereka dong. Mereka tidak tahu apa-apa. Terus nanti kalau ada apa-apa sama kamu, mereka pasti khawatir banget. Dan mereka pasti akan sangat sedih jika tahu tentang kondisi kamu belakangan. Saya bukannya nyumpahin kamu. Tapi usia manusia nggak ada yang tahu. Bayangin, gimana perasaan mereka jika baru tahu tentang penyakit kamu, saat kamu sudah tidak ada di dunia ini?" Jodi masih bergeming. Kata-kata Pak Irwan itu begitu menyakiti hatinya. Tapi sialnya, setiap kata yang terucap dari bibir apak Irwan, adalah benar adanya. "Kamu jangan egois, Jod. Hanya karena kamu kesal dengan kedua orang tua kamu, tapi kamu juga mengorbankan perasaan orang-orang yang sayang sama kamu. Jangan gitu lah. Egois. Jahat." Pak Irwan sengaja mengucapkan kata-kata itu untuk memancing emosi Jodi. Supaya Jodi mau mengungkapkan alasannya kenapa masih terus menyimpan rahasianya itu sampai sekarang. "Jujur, saya menyesal karena sudah mengatakan rahasia itu pada orang yang salah. Hanya karena saya menganggap Anda dan saya pernah dekat di masa lalu, saya terbawa suasana untuk bercerita. Lebih baik Pak Irwan nggak usah bahas masalah itu lagi. Anggap saja Pak Irwan nggak pernah dengar cerita tentang saya. Abaikan aja saya seperti dulu. Kembali jadi Pak Irwan yang menyebalkan dan selau cari-cari kesalahan saya. Coba aja jika Pak Irwan nggak tahu saya sedang sakit. Pasti Pak Irwan juga nggak akan datang ke sini sekarang. Dan sok-sok member perhatian seperti ini. Kalau saja Pak Irwan nggak tahu saya sakit, pasti Pak Irwan juga nggak bakal peduli. Bahkan menganggap surat izin sakit di sekolah itu hanya alibi supaya saya bisa bolos aja." Pak Irwan tak menunggu lama. Ia segera menjawab dengan lantang. "Iya, itu benar. Jika saya nggak tahu tentang penyakit kamu, pasti saya akan anggap surat itu sebagai alibi bolos. Tapi untunglah saya tahu tentang penyakit kamu. Sehingga saya jadi bisa mengarahkan kamu untuk melakukan hal yang benar. Salah jika kamu menganggap saya selama ini nggak peduli sama kamu. Atau hanya selalu berusaha cari-cari kesalahan kamu. Justru ketegasan saya selama ini di sekolah, saya lakukan karena saya ini peduli sama kamu. Jika benar saya nggak peduli, saya bisa memilih untuk cuek, dan nggak akan pernah Sudi capek-capek mengarahkan kamu sama dua tema kamu itu." Jodi kembali bergeming. Ia menatap Pak Irwan sekilas, sebelum akhirnya membuang pandangan lagi. Sembari ia menjawab ucapan Pak Irwan. "Kalau tujuan Bapak ke sini hanya mau menghakimi keputusan saya saja, lebih baik Pak Irwan pergi. Saya ngga butuh nasihat dari Bapak." "Saya nggak menghakimi keputusan kamu. Saya hanya mengarahkan kamu supaya kamu nggak lagi salah jalan. Memangnya apa sih tujuan kamu merahasiakan penyakit kamu? Kamu hanya ingin memberi pelajaran pada orang tua kamu, kan? Ketika kondisi kamu kritis, dan mereka baru tahu kamu ternyata selama ini sakit. Lalu apa, Jod? Nyatanya kamu nggak hanya menghukum kedua orang tua kamu. Tapi juga menghukum semua orang yang sayang sama kamu. Saya tahu, kamu kesal dengan kata-kata saya. Kamu renungkan saja dulu. Nanti kamu juga pasti tahu sendiri, jika yang saya ucapkan adalah kebenaran." Bahkan tak perlu merenungkan sekali pun. Jodi saat ini juga sudah mengakui, bahwa ucapan Pak Irwan itu benar adanya. Ia memang merahasiakan penyakit ini untuk membuat efek jera pada kedua orang tuanya. Dan benar, ia tak hanya menghukum kedua orang tuanya. Tapi juga menghukum orang-orang yang selama ini selalu ada untuknya. "Saya tahu kamu kesal, Jodi. Tapi jangan terlalu lama larut dalam rasa kesal itu. Saya harap setelah ini kamu bisa berpikir dengan logis. Sadar bahwa apa yang kamu lakukan selama ini adalah sebua kesalahan. Jika kamu bingung bagaimana harus mulai jujur pada mereka semua, saya bersedia kok bantu kamu. Katakan saja jika kamu mau. Saya akan bantu kamu dengan sekuat tenaga saya. Tenang, saya bukan orang yang suka membocorkan rahasia. Jika saya ngga mendapatkan persetujuan dari kamu untuk mulai membuka rahasia kamu, saya juga nggak akan lancang membocorkan pada semua orang. Lebih baik sekarang saya pamit. Saya tahu kamu sedang sangat kesal pada saya. Tapi saya tetap ingin mengatakan, jika kamu butuh saya, langsung bilang saja. Saya akan berada pada barisan terdepan untuk siap sedia membantu kamu." Pak Irwan pun langsung beranjak dari duduknya. Ia menyesap kopi hitam yang dibuatkan oleh Mbah Jum. Jadi cepat dingin di dalam ruangan ber-AC. Membuat Pak Irwan bisa dengan nyaman menandaskannya dalam waktu sekejap. Pak Irwan melenggang pergi setelah itu. Ia pergi tanpa menengok sedikit pun, yang membuatnya tidak tahu, jika Jodi sekarang sedang menatapnya. Pak Irwan berjalan dengan cepat. Ketika sampai d lantai dasar, ia bertemu dengan Mbah Jum. Pak Irwan mendekati wanita itu untuk memberikan sebuah kartu nama. "Lho, Pak Guru kok sudah pulang?" Mbah Jum kebingungan. Pak Irwan tersenyum. "Iya, Mbah Jum. Jodi seperti capek banget, biarkan dia istirahat dulu aja. Kapan-kapan aja saya mampir lagi. Saya doakan supaya Jodi cepat sembuh. Kartu nama itu berisi nomor hp saya. Jika sewaktu-waktu Mbah Jum butuh bantuan tentang masalah Jodi, jangan ragu untuk hubungi saya. Saya pamit, ya." Mbah Jum bergeming sembari menggenggam erat kartu nama yang diberikan oleh Pak Irwan. Ia tidak mengerti kenapa Pak Irwan tiba-tiba memberikan kartu nama ini. Namun ia toh tetap menyimpannya kemudian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN