Tale 84

2082 Kata
Pagi ini, pasangan suami istri itu baru datang dari Solo. Melihat kedua tuan besarnya datang, Mbah Jum langsung bergegas turun. Menyambut kedatangan mereka, untuk segera memberi tahu mereka bahwa Jodi sakit. Mbah Jum memang sudah menyampaikan melalui telepon, tapi rasanya belum lega jika belum menyampaikan secara langsung. Terlebih Mbah Jum tahu, tipe orang tua seperti apa kedua majikannya itu. Padahal Mbah Jum sudah berusaha memberi tahu mereka sejak hari pertama Jodi sakit. Tapi mereka baru pulang di hari ke empat. Mbah Jum takut, jika ia tak menyusul ke depan, mereka masih akan santai-santai dulu di depan, sebelum akhirnya melihat kondisi Jodi nanti belakangan. "Lho, Ibu ... tumben ibu antusias banget lihat kami pulang." Jayadi Aditya malah menggoda Mbah Jum ketika ia turun dari mobil. Maharani Aditya tersenyum pada Mbah Jum. Ia lalu menjabat tangan Mbah Jum, bahkan menciumnya seperti pada orang tua sendiri. "Gimana, ibu sehat, kan?" tanyanya kemudian. Mbah Jum tak mau mengulur waktu. Ia langsung mengatakan saja apa yang ingin ia ucapkan. "Alhamdulillah saya sehat, Nyonya. Mas Jodi yang sedang tidak sehat. Sejak 4 hari yang lalu, kondisinya belum membaik sama sekali." Mbah Jum sedikit lega karena sudah berhasil menyuarakan isi hatinya. Hanya saja, ia belum bisa sepenuhnya lega, sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika sepasang suami dan istri itu, sudah melihat keadaan Jodi. "Dia sebenarnya sakit kenapa sih, Bu?" tanya Jayadi. "Mas Iyaz badannya panas, nggak nafsu makan, lemes terus, Tuan." Mbah Jum menjelaskan kondisi Jodi apa adanya. "Tapi Ibu sudah panggil dokter, kan?" tanya Maharani kali ini. "Iya, sudah, Nyonya. Tapi hanya dokter praktik terdekat. Saya sebenarnya pengin bawa Mas Iyaa ke rumah sakit. Tapi Mas Iyaz menolak terus." Mbah Jum tak bisa menutupi kekhawatirannya. "Ya udah, kamu lihat sana aja dulu gimana keadaannya sama Bu Jum. Aku mau telepon kolega sebentar aja. Nanti aku nyusul." Jayadi tanpa menunggu konfirmasi dari Maharani atau pun Mbah Jum, segera melenggang duluan mendahului mereka. Maharani dulu sering kecewa dengan sikap suaminya yang suka seenaknya sendiri. Tapi semakin ke sini, ia semakin beradaptasi dengan hal itu. Jadi ia tak lagi mengambil hati akan sikap suaminya. Karena ujung-ujungnya hanya ia sendiri yang sakit hati. "Ya sudah. Yuk, Bu. Antar saya ketemu sama Jodi!" pinta Maharani. Mbah Jum mengangguk. "Baik, Nyonya." *** Perlahan Maharani membuka pintu kamar Jodi. Begitu pintu terbuka, ia langsung melongok ke dalam. Dilihatnya Jodi masih tertidur. Dengan pelan Maharani berjalan masuk, dengan Mbah Jum yang membuntut di belakangnya. Maharani masih senantiasa tersenyum. Namun senyum itu perlahan sirna, setelah melihat kondisi Jodi dari dekat. Maharani tadi sebenarnya berinisiatif untuk membangunkan Jodi. Tapi setelah melihat bagaimana Jodi sekarang, rasanya ia benar-benar tidak tega. Jujur Maharani kini merasa menjadi orang tua yang jahat. Ia sempat menganggap bahwa sakitnya Jodi hanya wujud rasa manja saja. Hanya supaya kedua orang tuanya cepat pulang. Mana Maharani menyangka, jika Jodi ternyata benar-benar sedang sakit. Benar kata Mbah Jum. Jodi sangat pucat. Ketika Maharani coba menyentuh keningnya, terasa sangat panas. Demikian pula telapak tangannya. Terakhir kali melihat Jodi baru beberapa hari yang lalu. Tapi saat ini Jodi terlihat jauh lebih kurus. Perubahan yang begitu besar dalam hitungan hari. Membuat Maharani mendadak merasa sangat takut. Perlahan Maharani duduk di pinggiran ranjang Jodi. Sudah lama sekali dia tidak pernah memperhatikan anaknya dari dekat seperti ini.  Tentu saja Maharani sangat menyayangi Jodi lebih dari Apa pun di dunia ini. Terlebih Jodi hanya tinggal satu-satunya. Sudah cukup ia kehilangan Aldi. Bahkan mentalnya belum sembuh hingga sekarang akibat kehilangan Aldi secara mendadak. Dan kini ... rasa takut baru muncul. Entah apa yang membuatnya berpikir seperti ini. Ia ... takut jika sampai kehilangan Jodi juga. Tidak. Maharani bukannya berburuk sangka. Ia tentu saja berharap Jodi baik-baik saja dan bisa segera sembuh. Hanya saja perasaannya saat ini sangat tak menentu. Mendadak rasa khawatir yang begitu besar menerpanya. Bahkan air matanya sudah mengalir begitu saja menuruni pipinya. Ia menyadari kesalahannya, yang lebih memilih ikut dengan Jayadi berbisnis. Padahal Jodi sangat membutuhkan sosok seorang ibu. Melihat Jodi sakit begini, membuat Maharani ingin berhenti selalu ikut dengan Jayadi. Tapi bagaimana dengan Jayadi? Apakah ia akan diizinkan oleh suaminya itu untuk berada di rumah saja? Sepertinya akan sulit mendapatkan izin dari Jayadi. Di saat itu, Maharani melihat Jodi mulai mengernyit. Putranya akan segera bangun. Maharani buru-buru menghapus air matanya. Mengganti dengan senyum terbaik, untuk menyambut putranya ketika pertama kali melihat dunia pagi ini. Perlahan mata Jodi mulai terbuka. Silau menyambut. Dan kemudian silau itu tergantikan oleh senyum cantik ibunya. Jodi bertanya-tanya, apa ia sedang bermimpi? Apa ini hanya halusinasi? Ini tidak mungkin kenyataan, kan? Tapi kemudian wanita itu memeluk Jodi. Jodi juga mendengar ia akan samar, seperti memang sengaja tidak diperdengarkan. "Astaga ... kenapa kamu jadi sakit begini sayang," ucapnya, kemudian terkikik. Yang lagi-lagi, sengaja dilakukan untuk menutupi tangisnya. "Kamu kenapa, hm?" Suaranya ... pelukannya ... terasa sangat nyata. Jadi benar ... bahwa ini adalah nyata? Bukan sekadar mimpi atau halusinasi? Maharani kemudian melepas pelukannya. Diam-diam kembali menghapus air matanya. Dan kemudian segera tersenyum lagi. "Badan kamu panas banget, Sayang. Sebaiknya kamu cepat sarapan, ya. Dan minum obat." Sementara Jodi masih bergeming. Masih belum percaya dengan apa yang ia lihat, ia rasakan, dan ia dengar. Jodi menatap Mbah Jum di belakang Maharani. Mbah Jum juga menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Uhm ... sarapannya Mas Iyas sudah saya siapkan di dapur. Sebentar biar saya ambilkan dulu." Mbah Jum kemudian justru bergegas pergi. Seolah-olah memang sengaja memberi ruang bagi Jodi dan Maharani untuk menghabiskan waktu berdua saja. "Mama dengar dari Mbah Jum, kamu sulit makan ya, Jod? Kenapa hm? Nanti Mama suapin, kamu makan yang lahap, ya. Sebenarnya orang sakit nggak minum obat tuh, nggak masalah. Asal tetap mau makan dengan baik." Lagi-lagi Maharani tersenyum lagi. Dan Jodi masih hanya diam. Pikirannya menjelajah ruang dan waktu. Kira-kira sudah berapa lama sejak terakhir kali ia berada dalam jarak yang sedekat ini dengan ibunya sendiri? Kira-kira sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka ngobrol dengan benar? Jodi sudah lupa. Yang jelas sudah lama sekali. Saking lamanya, Jodi bahkan sampai bingung bagaimana harus bersikap. Bagaimana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Maharani ini. Menghadapi Maharani, tentu saja berbeda dengan menghadapi Jayadi. Setiap kali bertemu Jodi, Jayadi hanya terus saja emosi, dan menyerang Jodi dengan kata-kata yang tidak baik. Sehingga Jodi terpacu adrenalinnya untuk menjawab dengan nada dan emosi yang serupa. Bahkan lebih parah. Tapi untuk kasus menghadapi Maharani ini ... susah. Selama ini Maharani selalu bersikap lembut. Selalu baik padanya tiap kali ada kesempatan. Intinya Maharani tidak pernah secara terang-terangan menyalahkan Jodi atas kematian Aldi. Namun Maharani juga tidak pernah berusaha membela Jodi, tiap kali Jayadi memaki-maki Jodi, menyalahkan Jodi ini itu. Maharani hanya di dan menatap. Seolah-olah ia membenarkan tuduhan yang dilakukan oleh Jayadi. Padahal ... ia sendiri juga kehilangan sosok Aldi. Bahkan tak perlu disalahkan sekali pun, Jodi sudah kenyang menelan rasa bersalah itu sendiri. Ia kehilangan sosok terbaik dalam hidupnya. Saudaranya, kembarannya, sahabatnya. Orang yang paling dekat dengannya. Dan paling memahaminya. "Uhm ... Mama udah pulang." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Jodi. Saking bingungnya ia harus menjawab apa. Maharani menggangguk seraya tersenyum. "Iya, Sayang. Sebenarnya Mama dan Papa belum ada rencana untuk pulang lagi dalam waktu dekat. Tapi karena kami dengar dengar Bu Jum bahwa kamu sakit, akhirnya kami sempatkan dulu untuk pulang sebentar melihat kondisi kamu." Jodi mengangguk mengerti. Maharani mengatakan demikian, seolah-olah sakitnya Jodi adalah beban yang membuat Maharani dan Jayadi terpaksa pulang sebentar sekadar untuk melihat kondisinya. "Oh, terima kasih udah peduli," ucap Jodi. Maharani lagi-lagi tersenyum. "Gimana kondisi kamu sayang? Apa yang kamu rasakan, hm?" Jodi kembali bingung harus menjawab apa. Apa ia harus jujur dengan apa yang ia rasakan? Bahwa seluruh tubuhnya terasa sakit, sampai-sampai ia bingung bagaimana caranya mengaduh. Bagaimana caranya mengeluh ketika merasakan sakit. Bagaimana rasanya merasa tidak sakit. "Aku ... baik kok, Ma. Mama sama Papa harusnya nggak perlu repot-repot pulang. Palingan sebentar lagi aku juga sembuh." Jodi sedikit meluapkan emosinya, meski tidak secara terang-terangan. Maharani menggeleng. "Kamu ngomong apa sih, Sayang. Repot gimana? Nggak kok. Anak kami sedang sakit. Pasti lah kamu harus datang untuk melihat kondisi kamu. Sayang, Mama tadi terkejut sekali melihat kondisi kamu, Nak. Kamu pucat. Kamu kurusan. Padahal baru beberapa hari lalu kita bertemu." Maharani menyentuh pipi tirus Jodi. "Sayang, kita ke rumah sakit, yuk. Periksa. Biar kita tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan kah kamu demam sudah 4 hari. Harusnya demamnya sudah turun. Tapi badan kamu masih panas banget. Takutnya ada peradangan atau infeksi. Mau ya, Sayang?" Mendengar Maharani mengucapkan itu, bukannya terkesan. Jodi justru merasakan sesak luar biasa. Buka terharu akan kepedulian ibunya. Tapi lebih pada ... ke mana saja wanita itu selama ini? Ketika Jodi kesakitan sendirian menanggung penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya. Peradangan atau infeksi katanya? Ingin rasanya Jodi tertawa keras sekarang juga. "Nggak perlu, Ma. Buat apa ke rumah sakit? Mama sama Papa, kalau memang masih banyak urusan penting yang harus dilakukan, silakan saja pergi dulu. Aku di rumah sudah sama Mbah Jum. Sahabat-sahabat aku juga sering datang kok. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan." Maharani seketika terdiam. Lidahnya kelu hingga belum mampu berucap untuk menjawab pertanyaan putranya sendiri. Ia merasa, Jodi sengaja mengatakan itu semua. Karena sengaja ingin menyindirnya, sosok ibu yang tidak becus. Yang bahkan tak pernah ada di sampingnya saat ia butuh. Jodi justru kini lebih nyaman bersama orang-orang terdekatnya. Dan itu bukan kedua orang tuanya. Entah sejak kapan Jayadi datang dan menyimak obrolan ibu dan anak itu. Yang jelas saat ini Jayadi sedang berjalan mendekat ke arah mereka. Dengan raut wajah menyimpan amarah. Maharani seakan sudah tahu dengan apa yang hendak suaminya katakan. Makanya wanita itu berusaha mencegah. Namum hal itu seakan tak berguna. Karena Jayadi tetap saja mengatakan apa yang ingin ia katakan. Tanpa memikirkan bagaimana kondisi Jodi saat ini. "Kamu itu kenapa, Jodi? Mama kamu bicara baik-baik. Tapi kamu malah sengaja menyindir-nyindir seperti itu. Setidaknya hargai dong itikad baik ibu kamu. Kamu kan tahu sendiri, kami selama ini bekerja bukan tanpa tujuan. Bukannya kelak kamu sendiri yang akan menikmati hasil kerja keras kami. Maka sekarang kalau kami jarang berada bersama kamu, itu sudah merupakan konsekuensi. Harusnya kamu sudah mengerti itu, Jodi." Seperti biasa, Jayadi tak bisa bicara dengan nada rendah tanpa emosi pada Jodi. Jodi hanya menyeringai kecil. Bahkan di saat kondisinya seperti ini pun -- di saat laki-laki itu tahu bahwa putranya sedang tidak sehat -- masih saja ia memaki-maki. Ingin sekali Jodi membalas kata-katanya seperti biasa. Sayang seribu sayang ... penyakitnya justru kambuh di saat yang sangat tidak tepat. Sial! Kenapa pula ia harus merasa kesakitan sekarang? Seketika Jodi lunglai, bahkan seperti tak lagi memiliki tenaga sekadar untuk menatap tajam ayahnya. Tangannya secara refleks memegangi area perut yang terasa paling sakit di antara seluruh rasa sakit di sekujur tubuhnya. Keringat dingin langsung merembes dari setiap pori-pori kulitnya. Jodi mengernyit menahan sakit. Sakit. Sangat sakit. Tapi sesakit apa pun itu. Jodi berusaha menahan. Tentu saja karena ia tidak ingin menunjukkan sisi terlemahnya di hadapan kedua orang tuanya. Jodi tak sudi terlihat lemah di mata mereka. "Jodi ... kamu baik-baik saja, Nak?" Maharani langsung menyadari perubahan dalam diri anaknya itu. Wanita itu tampak sangat khawatir. Jayadi sebenarnya juga menyadari hal itu. Tapi ia memilih untuk bertahan dengan sikap dinginnya. Maharani bermaksud untuk menggenggam tangan Jodi, tapi Jodi langsung menepisnya. Di mana hal itu langsung memacu emosi Jayadi lagi. "Dasar anak nggak tahu diuntung. Masih bagus ibu kamu mau peduli sama kamu. Tapi malah begitu reaksi kamu!" Jodi ingin sekali tak mendengar kata-kata menyakitkan itu. Sayangnya telinganya masih berfungsi dengan baik meski ia sedang kesakitan seperti ini. "Memangnya apa peduli kalian?" Jodi masih berusaha terlihat kuat di antara rasa sakitnya. "Lebih baik Papa dan Mama pergi saja. Nggak usah peduliin aku. Toh masih banyak urusan yang lebih penting dari aku." Jodi mengatakan hal itu tanpa melihat kedua orang tuanya. Ia fokus menahan sakitnya. Supaya ia tidak kehilangan kendali atas dirinya sendiri. "Jodi ... tolong katakan apa yang kamu rasakan? Katakan mana yang sakit, Nak." Maharani bertanya dengan bercucuran air mata. Perasaannya mengatakan, putranya itu memang sedang tidak baik-baik saja. Rasa khawatir yang ia rasakan semakin besar. Ia semakin takut. Takut jika akan kehilangan lagi. Jayadi yang masih tenggelam dalam emosinya, segera meraih tangan istrinya. "Buat apa kamu tanya lagi sama dia. Dia aja nggak mau kita ada di sini. Udah, kita pergi aja." Jayadi langsung menarik tangan Maharani. "Tapi, Pa ...." Maharani berusaha menolak. "Udah, jangan ngelawan. Ayo pergi!' Kalau sudah begini, Maharani tak berani melawan lagi. Ia hanya pasrah digelandang pergi oleh suaminya sendiri. Sementara Jodi kini meringkuk pasrah di atas ranjang, menggenggam bed cover dengan erat, meluapkan rasa sakit yang terus menyerang tanpa ampun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN