"Kita sama kan, Jal?" Jodi tiba-tiba bertanya.
"Sama gimana maksudnya, Yaz? Kalau sama muka dan segala hal yang berhubungan dengan fisik, ya udah jelas lah. Kan kita kembar identik." Aldi hanya menjawab sekenanya, tak menganggap pertanyaan Jodi serius.
Jodi mengamati refleksi mereka berdua. Masih memperhatikan refleksi mereka berdua, dan sama sekali tak menemukan perbedaan, kecuali pada baju dan susunan gigi keduanya. Jodi pun lantas menyuarakan isi hati terdalamnya. "Jika kita memang sama, jika kita memang semirip itu. Tapi kenapa Ayah cuman sayang sama lo?"
Aldi langsung terhenyak mendengar pertanyaan adik kembarnya itu. Ia sebenarnya sudah menyangka jika pertanyaan seperti ini akan muncul dari mulut Jodi. Tapi ia tak menyangka akan semendadak ini. Membuat Aldi cukup bingung harus menjawab apa.
Aldi pun langsung menarik tangan adiknya itu. Aldi berpikir, mungkin berbicara di kamar akan lebih comfortable. Tiba lah mereka di kamar. Duduk di ranjang masing-masing.
"Gue tegasin sama lo ya, Yaz! Nggak ada di dunia ini orang yang sama. Entah itu fisiknya, entah sifatnya, entah cara pikirnya, dan segala hal lain. Semuanya berbeda. Meski pun kembar identik seperti kita ini, pasti masih ada perbedaannya lah. Karena Allah menciptakan manusia dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Agar kehidupan di dunia seimbang. Gue ngerti kok atas kecemburuan yang lo rasakan. Mengingat selama ini Ayah memang lebih banyak sama gue dari pada sama lo. Tapi itu bukan berarti, Ayah lebih sayang sama gue."
Jodi menggeleng tak terima. "Pada kenyataannya Ayah emang lebih sayang sama lo kok. Tiap pulang pasti lo aja yang disapa. Gue? Dilihat aja nggak. Padahal gue juga pengin diperlakukan sama. Iya, gue paham. Lo itu pinter. Sementara gue bego. Makanya Ayah benci sama gue. Karena nggak ada yang bisa dibanggakan dari gue."
Aldi tersenyum miris. Ia pun sebenarnya juga menyayangkan sikap Ayah yang terlalu condong perhatian padanya. Ia tahu, maksud Ayah agar supaya Jodi termotivasi untuk berprestasi juga sama seperti Aldi. Tapi cara Ayah salah. Kini Jodi malah menganggap bahwa Ayah membencinya. Tapi di depan Jodi, Aldi juga tidak bisa secara terang-terangan menyampaikan ketidak setujuannya atas sikap sang ayah. Karena itu sama saja dengan mengadu domba Ayah dan Jodi. Yang akan membuat hubungan keduanya, lebih buruk dibandingkan sekarang.
"Jod ... nggak ada di dunia ini orang tua yang nggak sayang sama anaknya. Semua orang tua pasti sayang sama anaknya. Cuman kita harus ingat, orang tua itu juga manusia, yang nggak luput dari salah, nggak luput dari kekurangan. Kadang mereka salah, tapi mereka tidak sadar jika mereka sudah salah. Tugas kita sebagai anak, untuk rajin berusaha mengambil hati mereka. Mungkin aku bisa dengan mudah mengambil hati ayah dengan prestasi akademis. Kamu ... juga bisa berusaha mengambil hati Ayah dengan prestasi non akademis kamu. Mungkin akan sedikit lebih sulit. Karena Ayah kurang open minded, dipikir yang berprestasi itu hanya masalah akademis saja. Maka buktikan ke ayah, jika prestasi non akademis itu juga merupakan prestasi yang cemerlang."
"Apa lo pikir selama ini gue nggak berusaha bikin ayah bangga? Gue berkali-kali menang lomba ini itu. Tapi nggak ada satu pun dari piala gue yang bikin ayah bangga. Dia cuman peduli sama lo. Dan semua prestasi akademis lo. Gue nggak habis pikir sama ayah. Seandainya gue punya anak, mau dia berprestasi dalam bidang apa pun, gue akan tetap bangga. Meski anak gue nggak berprestasi sekali pun, gue juga akan tetap bangga." Jodi menjelaskan dengan menggebu-gebu, dengan melupakan emosinya sekalian.
Aldi hanya tersenyum menanggapinya. Yang Aldi pikirkan, adalah ... bagaimana cara membuat perasaan Jodi jadi lebih baik. "Uhm ... gue juga sama."
"Ha? Maksud lo?"
"Ya gue juga sama. Kalau gue punya anak, mau anak gue berbakat dalam bidang apa pun, atau bahkan dia ngga berbakat sama sekali, gue bakal tetap bangga kok."
Syukur lah usaha Aldi ir berhasil. Karena Jodi berhasil tertawa setelahnya.
Baru lah setelah Jodi tertawa, Aldi bersiap untuk kembali menjelaskan.
"Uhm ... sebenarnya kebanggaan orang tua itu, nomor dua lho, Yaz. Ada satu hal utama, yang harus didahulukan."
"Ha? Maksud lo apaan sih, Jal?"
"Maksud gue ... dari pada nunggu orang tua bangga, kamu harus lebih dulu bangga pada diri kamu sendiri. Kalau kamu sudah bangga dengan diri kamu sendiri, orang lain pasti akan lebih menghargai setiap hal yang kamu lakukan. Percaya deh sama gue. Lo punya lebih banyak bakat dari gue. Gue hanya punya kelebihan di bidang akademis. Sementara lo? Lo mahir di gymnastic. Prestasi akademis lo juga nggak buruk-buruk amat. Lo pandai sosialisasi. Lo punya banyak teman. Lo pintar main alat musik. Lo juga pinter nyanyi. Sebanyak itu hal yang bisa lo banggain. Kelak ketika sudah terjun ke dunia yang sebenarnya, prestasi akademis itu nomor Sekian Jod. Justru apa yang kamu punyai, adalah yang benar-benar dibutuhkan di masa depan, asal kamu tahu saja."
Dan Jodi baru mafhum saat Aldi telah menjelaskan semuanya. Dia baru ngeh bahwa memang dia punya lebih banyak kelebihan dibanding Aldi. Dia bisa tebar pesona setiap saat dan setiap waktu, nggak peduli suasana dan tempat. Itu hal yang Aldi sangat payah di dalamnya.
Jodi punya skill musik yang tak ada duanya. Semua alat musik bisa dimaikannya. Ditambah lagi dia bisa bernyanyi dengan baik. Sedangkan Aldi? Dia juga sangat tertarik dengan musik. Tapi ketika ketemu gitar, dia hanya memetik senar-senar gitar itu seenak jidatnya. Karena memang dia tidak tahu nada. Jadi selama ini Aldi hanya bisa menjadi pendengar dan komentator.
Lagi, Jodi adalah atlet sepak bola. Sepak bola adalah salah satu kegemaran Aldi juga. Tapi dia tidak pernah akan bisa menjadi pemain sepak bola, karena sang Ayah tidak akan perah mengizinkan kedua anaknya bermain bola. Sang ayah menginginkan kedua anaknya menjadi pengusaha sukses seperti dirinya. Salah satu caranya adalah hebat di bidan akademis agar perjalanan karir mereka semakin dipermudah.
Dan satu lagi, Jodi adalah orang yang bebas. Dia tidak perduli apa kata orang. Karena dia hanya menuruti kemauannya sendiri. Tidak seperti Aldi yang selalu tunduk pada peraturan. Sehingga lama-lama dia jadi merasa terkekang sendiri dengan aturan-aturan itu.
"Jod, terserah lo mau percaya atau enggak. Tapi ... gue iri banget sama lo. Selama ini lo bisa menikmati hal-hal yang lo senengin. Itu hal yang nggak bisa gue nikmati karena gue terlalu sibuk belajar. Gimana pun juga, gue adalah remaja yang normal. Gue juga pengen bebas. Jadi, gimana gue bisa nikmatin hidup dalam keadaan tertekan, Jod. Lo tau sendiri kan gimana rasanya diatur-atur? Makanya lo memberontak. Tapi gue? gue sama sekali nggak punya keberanian untuk melakukan itu. Tapi cukup gue aja yang ngerasain ini semua. Gue harap lo bisa meraih cita-cita yang lo inginkan yaitu di sepak bola dan musik. Karena sekaligus mewujudkan impian gue yang takkan pernah tercapai karena gue payah."
Jodi terdiam seribu bahasa sekarang. Baru kali ini ia tahu isi hati Aldi yang sebenarnya. Ia tak pernah tahu jika selama ini Aldi juga tertekan. Ia pikir, hanya ia seorang diri yang tertekan.
Dan malam itu merupakan malam terakhir mereka berjumpa. Keesokan harinya, kecelakaan tragis itu tejadi. Kecelakaan yang merenggut nyawa dari salah satu putra Aditya.
Lamunan Jodi terhenti karena kedatangan ayahnya. Sang Ayah seperti biasa sudah rapi dengan setelan jas lengkap. Wajahnya terlihat sumringah kali ini.
"Ayah nggak ngerti perasaan Aldi, karena dia nggak pernah bisa bilang. Semua yang ada di pikirannya hanya untuk membuat Ayah bangga." Tiba-tiba kata-kata itu keluar dari mulut Jodi.
Membuat Tn. Aditya langsung naik darah. Air mukanya dengan segera berubah 180 derajat dari sebelumnya. Apa maksud si Jordiaz ini?
"Kamu ini ngomong apa, ha? Itu pasti. Seharusnya seperti itu jika ingin Ayah bangga."
"Tapi apa Ayah tahu apa sebenarnya keinginan Aldi? Nggak tahu kan? Itu semua karena Ayah terlalu terobsesi. Ayah merasa bangga saat para relasi memuja anak ayah yang cerdas."
"Kalo kamu mau menjadi seperti itu, kamu juga harus berusaha Jodi. Jangan hanya bisa menghakimi!"
Jodi menggeleng. Dia tidak habis pikir tentang semua ini. Ternyata obsesi ayahnya sudah sangat besar.
"Yah, denger ya! Jodi sama Aldi itu satu, Yah! Jodi dan Aldi itu kembar. Kita punya hubungan batin yang kuat. Jodi tahu persis apa yang diinginkan Aldi. Karena kita punya satu kesenangan yang sama."
"Musik dan bola maksud kamu? Itu sih keinginan kamu. Kembar identik itu memang sama persis untuk ukuran fisik. Tapi pasti ada perbedaan. Ayah yakin bahwa selama ini Aldi memang mencintai dunia akademis. Jadi tidak ada unsur paksaan."
Jodi hanya terkekeh. "Yang kembar siapa, yang ngeyel siapa. Dia jengkel sekali. Ayah nggak akan pernah ngerti! Ayah nggak ngerti seberapa besar pengorbanan aldi selama ini. Dan ayah hanya bisa memaksa dan memaksa tanpa memikirkan perasaannya. Ayah telah merampas semua hak-hak Aldi untuk hidup bebas. Dan akhirnya Aldi tetap terkekang sampai akhir hayatnya."
PLAK. Sebuah tamparan menghempas pipi Jodi.
"CUKUP!" kata sang Ayah kemudian.
Jodi memegangi pipinya yang terasa panas.
"Keinginan terbesar Ayah akan segera terwujud! Camkan itu baik-baik. Dan Jodi yakin bahwa tidak akan lama lagi hal itu akan terjadi."
Ucapan Jodi itu lebih tepat jika disebut sebagai ancaman.
Jodi segera pergi setelah itu. Sang ayah hanya memandangi putranya geram. Dia menganggap bahwa kelakuan Jodi barusan benar-benar tidak beradap. Padahal tujuannya masuk ke kamar Jodi tadi baik. Dia ingin memperbaiki hubungannya yang memang sudah sangat renggang dengan sang anak. Dia ingin mengajak Jodi sarapan. Tapi yang diajak malah langsung nyablak.
Tapi sebenarnya Tn. Aditya juga sedikit bingung dengan maksud kata keinginan terbesar yang diucapkan Jodi tadi.
Ny. Aditya yang baru saja keluar dari kamar mandi bertanya-tanya apa yang baru saja terjadi. Tapi tak ada jawaban. Dia tidak tahu sama sekali apa yang terjadi. Mbah jum yang dari tadi mengintip dari dapur hanya bisa menangis melihat pertengkaran tadi.
Di luar, Jodi terlihat mengeluarkan motor kesayangannya yang sudah lama tak dipakai. Mr. Baggie bingung kenapa motornya dikeluarkan.
"Den, naik motor hari ini?"
Jodi tidak menjawab pertanyaan itu. Hanya terus mengegas motornya dan segera pergi.
***
Aroma kamboja menyebar di seluruh penjuru tempat ini. Jumlah pohonnya ratusan bahkan ribuan. Tumbuh subur di setiap gundukan dengan panjang antara 150 sampai 200 cm di bawahnya. Matahari pagi tak kuasa menembus rimbunnya pohon kamboja. Menjadikan tempat ini tetap gelap dan berkesan horror.
Seseorang berjongkok dengan menengadahkan kedua tangannya ke atas. Dia duduk di celah salah satu dari ribuan gundukan yang ada. Bibirnya membaca doa dengan sangat lancar. Aroma kamboja dipadu dengan harumnya bunga tujuh rupa segar yang baru ditaburkannya di atas makam sang Kakak, benar-benar menunjukkan khas bau TPU alias Tempat Pemakaman Umum.
Di batu nisannya tertulis:
Rizaldi Putra Aditya
"Jal, Bokap lu tuh. Pagi ini dia nampar gue. Lihat nih, pipi gue. Merah. Jal, tenang aja! Nggak lama lagi, gue bakal temenin lo. Sebelum gue mati, gue bakal suruh bokap buat pesen kuburan di samping lo. Kompak banget ya Kita! Sebentar lagi bakal ada nama gue di samping lo."
Jordiaz Putra Aditya
"Haha, Kocak juga ya kalau nama gue tertulis di batu nisan. Kayanya belom pantes banget.Orang ganteng kaya kita itu nggak pantes mati muda, Di. Kasihan sama cewek-cewek yang nangisin kita. Tapi takdir berkata lain. Kita emang harus mati. Kan kata lo, semua orang terlahir dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita udah cukup memiliki banyak kelebihan. Ganteng, tinggi, imut, tajir, keren, pinter lagi. Satu kekurangan kita yaitu, berumur pendek, hehe.
"Ya udah ya, Jal! Gue berangkat dulu. Udah siang nih! Eh lupa satu lagi, besok gue bakal tanding lawan SMA Jati Luhur, doain gue biar menang ya. Gue harap, itu bukan pertandingan sepak bola gue yang terakhir." Jodi mengusap nisan Aldi. Lalu pergi dengan Harley Davidson-nya. Meninggalkan kepulan asap di jalanan berpasir yang tak beraspal di tanah kuburan.