Dua puluh satu April, 2009.
Miris. Itu rasanya. Kepala Chico yang terbaring di pundakku terasa sangat panas. Ini bukan kali pertama Chico kambuh waktu kita kencan. Sejak dia divonis, sudah berkali - kali dia sering drop tiba - tiba.
Di sini, di tengah keramaian, di dalam mall. Di bangku kosong yang berdempet dengan balkon. Aku dan Chico sedang duduk diam. Mungkin dilihat dari jauh, kami nampak seperti pasangan ideal yang sangat romantis.
Mereka bisa melihat kami dengan iri. Tapi mereka tidak tau keadaan yang sebenarnya.
Aku bisa melihat dengan jelas karena kami sangat dekat. Keadaan Chico sangat memprihatinkan. Dia tidak tidur. Dia tidak pingsan. Dia hanya memejamkan matanya untuk menahan rasa sakit yang sedang menderanya.
Aku merasa seperti orang terbodoh yang pernah ada di dunia. Aku nggak bisa melakukan apa - apa untuk menolongnya. Beberapa jenis obat yang dikonsumsi Chico setiap hari, sudah kuberikan tadi. Tapi sepertinya nggak memberi reaksi apa pun. Chico masih belum membaik.
Perlahan kuangkat kepalanya dan kuletakkan di atas pangkuanku. Mungkin dengan demikian, dia akan lebih nyaman. Chico membuka matanya, menatapku sendu.
Wajahnya sangat pucat dan nggak berdaya. Membuatku ingin memaki diriku sendiri yang terlalu bodoh, hingga tak bisa melakukan apa-apa untuk meringankan rasa sakitnya.
“Aku nggak apa - apa! Bentar lagi kita jadi nonton kok,” lirihnya.
“Nggak! Kita langsung balik kalau kamu udah baikan.”
“Aku nggak mau langgar janji aku sendiri, Yulia!”
“Nggak apa - apa. Kan bisa kapan - kapan.”
“Tapi aku sayang kamu!”
Mungkin cewek lain akan senang setiap kali pasangan atau orang yang kita sayangi mengatakan kata - kata tersebut. Tapi aku tidak. Situasinya berbeda.
“Kenapa, sih, kamu selalu ngomong gitu, Chico? Aku tau bahwa kamu sayang sama aku. Meski pun kamu nggak pernah ngajak aku nonton, meski pun kamu nggak pernah ngajak aku jalan, meskipun kamu nggak pernah ngomong kata sayang. Aku udah tau kalo kamu sayang aku. Tapi jangan korbanin kesehatan kamu hanya untuk itu.”
“Aku pengen bahagiain kamu!”
“Aku udah bahagia dengan kita selalu bareng. Nggak perlu kayak gini. Apa Kamu nggak sayang sama diri kamu sendiri?”
“Aku pengen bahagiain kamu!”
“Aku tahu, Chico! Aku tahu!” setetes air mata jatuh di pipiku. “Well ... kalo bukan untuk diri kamu, tapi untuk aku, Chico! Kamu harus peduli sama diri kamu sendiri, demi aku! Kamu nggak pernah mikirin perasaan aku! Hatiku rasanya sakit banget lihat kamu kayak gini, Co!”
“Maafin aku, Yulia! Maaf ....”
Air mataku semakin banyak menetes. Kulihat kilatan cahaya yang menuruni pelipis Chico, ia juga menangis. Dan aku merasa bersalah karenanya.
Tuhan … apa sebenarnya rencana - Mu di balik ini semua?
***
Dua Puluh Sembilan Mei, 2009.
Chico dengan asyik menggiring bola. Sekarang permainan dalam kuasanya. Skor yang tadinya 3 - 1, menjadi 3 - 3 sejak kehadiran kami.
Selama ini, selama kami berpacaran, selama kami sering ke sini untuk kencan, belum pernah Chico ikutan main sama anak komplek. Eh, ini tadi begitu datang, langsung saja dia ikutan berhambur ke lapangan.
Tim yang tadinya sedikit emosi dengan kedatangan Chico, sehingga harus mengundurkan salah satu pemainnya, sekarang justru senang. Berbalik tim lawan yang jadi emosi.
Aku Cuma bisa jadi suporter. Suaraku merajai suasana karena hanya ada aku satu - satunya.
Waktu pertandingan sudah habis, dan tim yang dibantu Chico menang. Tim lawan ternyata fair. Mereka satu per satu menyalami Chico dan sesekali menepuk pundak Chico sebagai tanda keakraban. Kata mereka, permainan Chico keren banget.
Ya iya lah. Pemain Persik Junior gitu! Eh, aku belum cerita, ya. Chico pernah menjadi salah satu pemain Persik Junior di Kediri. Tapi itu dulu. Setelah dia divonis, semuanya berakhir.
Kemudian kami foto - foto di bawah gawang utara. Tempat biasa, tempatku dan Chico mengabadikan kisah monoton kami. Bedanya sekarang rame - rame.
“Ini bisa bawa sedikit suasana baru dalam kisah monoton kita, Yul!” ucap Chico semringah.
Pasti karena dia baru saja melampiaskan kehausannya selama ini akan sepak bola, setelah sekian lama istirahat. Aku jadi ikut seneng.
“Iya. Jadi berkurang dikit kesan monotonnya.”
***
Satu Juni, 2009.
Satu per satu foto kami kutempel di tembok kamar. Memperpanjang kisah monotonku dengan Chico. Sudah lebih dari 500 foto yang ber - background sama. Dengan tokoh yang sama pula. Kuperhatikan satu per satu foto kami.
Kisah dimulai dari rambutku yang masih sebahu dan terlihat polos tanpa poni, sampai rambutku telah sepinggang, dan sekarang kembali sebahu namun dengan poni imut yang bikin aku kelihatan lucu. Dari mulai rambut Chico masih cupu banget.
Gaya khas anak - anak ABG, sampai ganti 6 kali style rambut dan sekarang hanya dipotong cepak, buat nutupin ketipisan rambutnya karena kemo. Dari mulai dulu aku kurus banget, sampai setembem ini. Dari mulai dulu Chico yang atletis sampai menjadi Chico yang kurus tapi tetep keren! Kalo dipikir - pikir rupanya kisah kami nggak monoton - monoton amat kok.
“Sayang, ada Chico tuh!” seru Mama yang tiba - tiba masuk kamarku.
“Ihh ... Mama! Bikin kaget aja! Ya udah, suruh tunggu sebentar!”
“Ok!”
Mama berlalu. Kuperhatikan wajahku lekat - lekat di depan cermin. Cantik! Aku mah, mau diapa - apain aja juga tetep cantik! Yulia gitu loh! Well done! Siap untuk keluar.
“Hai!”
Chico yang tadinya terlarut dalam bukunya, segera bergerak refleks menanggapi rangsang bunyi yang kuucapkan tadi.
“Hai!” balasnya, dan aku selalu suka senyumnya yang indah itu.
Papa dan Mama yang tadi nemenin Chico di ruang tamu, sekarang kompakan langsung masuk kamar. Kirain mau double date. Ternyata mereka lebih memilih kencan sendiri. Asal aku nggak dibikinin adek aja. Masak aku udah segede ini punya adek, ntar malah dikira anak aku.
Tapi sebenarnya Chico ke sini bukan buat kencan kok. Kita itu mau belajar bareng, soalnya lagi UAS. Dan ini menentukan banget, bahwa kita bakal naik kelas atau nggak.
“Eh, Co, punya kamu udah ditempel belum?” Aku bertanya tentang foto kisah monoton kami.
“Udah dong! Tapi ngomong - ngomong, Yul, besok ulangan kita jadwalnya apaan, sih?”
“Jiaaahhhh, kalo jadwal aja nggak tau, terus tadi kamu ke sini bawa buku apa, Dodol?”
“Nih …!”
Chico menyodorkan buku yang tadi dibacanya dengan serius. Langsung saja k****a cover - nya. ‘SMART PARENTING’.
Dalam sesaat kami saling berpandangan dan…. “PUHAHAHAHAHAHA.”
Parah. Dasar Chico edan.
***
Sembilan Belas Juli, 2009.
Mama dengan telaten memoles wajahku dengan make up tipis yang modis. Gaun simple warna kuning pastel ini, terlihat matching dengan make up - ku. Ditambah lagi bando imut dengan warna senada telah nagkring di kepalaku. Penampilanku sekarang sudah sempurna!
Gimana nggak sempurna coba? Dandan udah sejak dari jam lima tadi. Sampai sekarang jam setengah tujuh baru selesai.
Bunyi klakson Chico menyambut.
“Sayang, Chico udah dateng!” teriak Papa.
“Sayang, Chico udah dateng!” Mama yang ada di sebelahku ikutan teriak - teriak.
Yang mau pesta siapa, yang heboh siapa?
Mama segera menyemprotkan parfum mewah ke seluruh tubuhku. Uhm,.. wanginya permen karet. Manis banget! Tapi kira - kira gimana penampilan Chico nanti, ya? Pasti as flawless as always.
Mama menuntunku keluar kamar. Papa berdecak kagum melihatku. Aku hanya bisa pamer senyuman terbaikku.
“Itu Chico - nya udah dateng!” ucap Papa lagi.
“Iya udah tahu. Biar dia aja yang ke sini!”
“Nanti inget, nggak boleh lebih dari jam 10!” Mama mewanti - wanti.
“Iya mamaku tersayang!!!”
“Kalo Chico lupa, diingetin ya, Sayang!” Papa lagi ini.
“Iya, Papaku tersayang!”
Kutengokkan kepalaku ke luar. Mana sih si Chico? Papa sama Mama juga ngikutin aku nengok ke luar.
“Udah kamu aja sana yang keluar. Chico mau kasih surprise kali!” ucap Papa, diiyakan oleh Mama.
“Ya udah, deh!”
Aku, Papa, dan Mama bareng - bareng keluar. Begitu sampai, nggak ada Chico yang menyambutku di depan pintu, dengan membawa sebuket bunga mawar, seperti yang kuharapkan. Uhm ... mungkin dia bakal kasih surprise yang lebih wah dari yang pernah aku bayangkan.
Tapi ….
“CHICO!” teriakku ketika melihatnya tergeletak di samping mobil.
Aku berlari menghampirinya. Papa dan Mama mengikuti. Tanpa mengulur waktu, Papa membopong Chico ke dalam mobil, kami berangkat ke rumah sakit.
***
Dua Puluh Juli, 2009.
Oom Diaz dan tante Irma bercincang lirih dengan Papa dan Mama. Aku masih di sini sejak semalam. Aku sama sekali belum pulang. Bahkan baju pesta ini masih menempel di tubuhku. Dan sisa - sisa make up yang memudar masih menghiasi wajahku. Aku senantiasa menggenggam erat jemari Chico.
Perlahan kurasakan gerakan - gerakan semu dari jemarinya. Matanya mulai terbuka.
Papa, Mama, Tante Irma, dan Oom Diaz segera menghampiri kami.
“Maaf.” Kata itu yang pertama kali diucapkan Chico.
Tubuhku langsung bergetar hebat, air mataku menetes tak keruan.
“Untuk apa? Kamu nggak salah apa - apa!” jawabku.
“Maaf,” ucap Chico lagi.
“Udah ... kamu istirahat, aja, ya! Biar cepet baikan.” Kuberikan sebuah senyuman.
Kuusahakan sealami mungkin, meskipun aku sama sekali tak ingin tersenyum sebenarnya. Chico hanya menatapku nanar, tak menanggapi senyumanku.
***