Garlanda kembali tak bisa membuka matanya meski ia sudah kembali ke dalam raganya sendiri. Kenapa ini? Pemuda itu begitu bingung. Apakah karena sudah terlalu sering ditinggalkan, maka raganya kini mengalami masalah, sehingga ia tidak lagi bisa mengontrol dirinya sendiri sepenuhnya?
Ia tidak lagi mendengar suara orang tuanya. Bisa dipastikan bahwa dua orang itu telah keluar dari kamarnya.
Hilang sudah kesempatan emas yang sudah ditunggu - tunggu oleh Garlanda. Sementara entah kapan lagi ia akan bisa kembali ke dal raganya seperti ini.
Karena sudah bisa dipastikan bahwa sebentar lagi ia akan segera masuk ke dalam kehidupan lain. Dan itu benar adanya.
Kali ini ia masuk dalam kehidupan seorang gadis remaja yang sedikit tomboi, bernama Agni.
Agni yang sedang merasakan cinta pertama, dengan pacarnya yang bernama Arkan.
***
Pintu kamarku masih terkunci. Mama berkali - kali mencoba membuatku keluar kamar. Tapi aku masih sedih banget dengan kejadian kemarin. Intinya aku nggak akan pernah memaafkan Arkan.
Aku benci Arkan!
Dengan masih berderai air mata, pikiranku kembali pada saat itu. Saat di mana aku melihat Arkan sedang bersenang - senang dengan cewek lain. Padahal Arkan sebelumnya membatalkan janjinya denganku, dengan alasan lain.
Hari ini cerah banget. Hari yang pas buat jalan - jalan. Tapi sayangnya pacarku nggak ngajak jalan.
Payah.
Sebenarnya kami sudah ada janji untuk kencan bersama hari ini. Tapi dia tiba - tiba batalin janji itu. Katanya nganter mamanya ke dokter kulit, mau konsultasi tentang flek hitam di wajahnya.
Nyebelin.
Well, that’s alright. Aku bisa kok jalan - jalan sendiri tanpa dia. Ada Bang Rio sih, lagi nganggur. Bisa dimanfaatkan sebagai supir. Tapi kayaknya lebih asyik jalan sendirian.
Kakiku melangkah menuju taman kota. Efek hari yang cerah. Rame banget taman ini, padahal masih lumayan pagi.
Tiap hari libur begini, aku sama pacarku Arkan sering banget ke sini. Habis tempatnya indah dan asri, sih. Jadi banyak temannya berduaan, tanpa takut terciduk satpol PP.
Hehe. Iya. Di sini emang surganya anak muda yang lagi kencan.
Kakiku berhenti di sebuah bangku -- bangku favoritku dan Arkan. Kulirik kanan kiri. Duh … jadi menyesal ke ini sendirian. Kusadari. Hanya aku yang sendirian datang. Rasanya jadi minder sendiri.
Mungkin jalan - jalan ke sini bukan pilihan yang tepat. Aku beranjak. Langkahku santai menikmati indahnya taman, menuju pintu keluar. Mungkin enak kali, ya, ke mall?
Langkahku mendadak terhenti di dekat air mancur. Aku melihatnya. Aku melihat Arkan - ku … dengan … seorang cewek.
Jantungku berdegup sangat cepat secara tiba - tiba. Sakit rasanya. Sakit karena cemburu. Dan sakit karena ternyata Arkan sudah berbohong.
Jadi itu mama yang katanya punya flek hitam di wajah? Padahal itu jelas - jelas seorang cewek muda seumuran aku.
Cewek itu terlihat feminim dan anggun. Nggak kayak aku yang tomboi ini.
“Arkan, lo inget, nggak, dulu kita sering main bareng. Kita habisin banyak waktu bersama, bersenang - senang, bahagia!” kata cewek itu.
“Inget, lah. Mana gue bisa lupa salah satu saat paling berharga dalam hidup gue.” Arkan menanggapi dengan senyum lepas nan ceria.
“Kalo bisa gue pengin balik ke masa - masa itu. Saat kita cuman mikirin bahagia. Nggak kayak sekarang, udah lumayan gede, jadi sibuk sama urusan masing - masing. Lo jadi nggak ada waktu buat gue.”
“Ish … jangan gitu, dong! Mana ada manusia mau mundur. Kita kudu baju terus. Toh sekarang atau pun nanti, kita bisa kok sering ketemu dan habisin waktu bersama. Tinggal atur waktunya aja.”
“Bener juga, ya. Kalau gitu misal gue ajakin jalan lagi lo nggak bakal nolak, dong?”
“Pastinya. Kenapa harus ditolak? Toh kita have fun, kan?”
Aku bener - bener nggak bisa percaya dengan apa yang kudengar dan kulihat. Mataku memanas. Hatiku sakit.
Aku bergegas pergi. Tapi seseorang memanggilku. Suara orang yang sangat aku kenal. Suara Arkan.
“AGNI!”
Aku berpura - pura tak mendengar.
“AGNI!”
Suaranya semakin mendekat. Sepertinya dia mengejarku. Hingga akhirnya tanganku berhasil diraih olehnya.
Dan … apa? Tangan kiri Arkan meraih pergelangan tanganku, namun tangan kanannya menggandeng cewek centil itu.
Aku baru sadar Arkan benar - benar nggak tahu diri. Dia bahkan berani tersenyum sekarang. Berani banget dia!
Aku segera melepas tanganku dari genggamannya. Air mataku akhirnya menetes. Arkan dan cewek centil itu terlihat bingung melihatku menangis.
Aku nggak tahan lagi. Kuayunkan kakiku cepat. Ini bener - bener gila. Arkan udah gila. Aku benci Arkan!.
***
"Ag, kamu keluar dong. Cerita ke Mama!"
Mama nggak menyerah sama sekali untuk membujukku keluar. Tapi aku nggak peduli. Uhm ... bukannya aku nggak peduli, sih. Aku cuma belum siap.
Beberapa jam kemudian, aku mikir. Mungkin ada benernya kalo aku cerita ke Mama. Mungkin dengan begitu aku bisa dapet jalan keluar atas masalahku dengan Arkan.
Akhirnya aku bener - bener keluar dan bercerita semuanya ke Mama.
Aku nangis - nangis sambil disuapin Mama. Maklum, beliau nggak tega lihat anaknya yang sudah agak gembul ini belum makan dari kemarin. Aku tetap menangis sambil mengunyah - ngunyah masakan Mama yang selalu enak.
“Tapi bisa jadi cewek itu cuman temennya Arkan, kan, Sayang.”
“Arkan juga bilang gitu, sih, ke Agni, Ma. Katanya cewek itu sepupunya. Tapi Agni nggak percaya. Soalnya mereka mesra banget!”
"Mesra gimana?"
"Ya bercanda gitu. Ketawa - ketawa bareng. Bahkan ketawa Arkan lebih lepas ke dia, dibanding ke Agni!"
"Hmh ... masa, sih? Jangan - jangan kamunya aja yang terlalu cemburuan? Udah deh, nanti kalau calon mantu Mama itu telepon, diangkat dan kasih dia kesempatan untuk menjelaskan, ya!"
“Ih, Mama kok belain dia, sih?”
“Bukan belain, Sayang. Mama cuman mau kamu nuntut penjelasan sedetailnya dari Arkan. Biar masalah clear. Misal cewek itu beneran sepupunya Arkan gimana? Kamu pasti nyesel nanti.”
Aku diam sejenak, dan akhirnya mengangguk. Iya juga ya. Mungkin aku terlalu cinta sama Arkan sampai sebegini cemburunya. Jangan - jangan cewek itu memang benar - benar sepupunya!
***
Jam berdentang menunjukkan pukul 23.00 WIB tepat. Aku masih terjaga karena menunggu telepon dari Arkan. Tapi dari tadi tetap tak ada panggilan masuk.
Aku ingin menelepon duluan sebenarnya. Tapi gengsi dong! Padahal aku sudah sangat kangen pada Arkan.
Hari Rabu, tiga hari setelah nggak ada kabar sama sekali dari Arkan. Aku mulai khawatir dan sedih. Di sisi lain juga semakin banyak berspekulasi.
Jangan - jangan Arkan bener - bener selingkuh sama cewek itu. Jangan - jangan dia malah seneng - seneng di atas penderitaanku.
Tapi bisa jadi Arkan sedang sakit. Tau ….
Kuputuskan untuk menelepon dia. Kusingkirkan sejenak egoku. Mungkin ini cara terbaik untuk memperbaiki hubungan kami.
Lama sekali nada tunggunya. Tapi akhirnya dijawab juga.
"Halo, Ag!"
Ini jelas sekali suara Arkan. Tapi kok nggak jelas gini, ya? Serak - serak parau gimana gitu. Aneh, deh.
"A - Arkan ….”
"Iya, Ag?”
"Aku cuman mau nanya, biar semuanya clear. Arkan, cewek yang waktu itu beneran sepupu kamu?"
"Iya, Ag! Maafin aku, ya, karena bikin kamu kecewa. Tapi sumpah. Riran itu sepupuku. Waktu di taman aku pengen kenalin kamu ke dia, tapi kamu udah salah paham duluan."
Aku cemberut maksimal. Aku menyesal karena sudah salah sangka. Tapi di sisi lain juga masih ngambek. Kenapa dia nggak ngenalin sepupunya jauh - jauh hari. Kan aku jadi salah paham!
"Kita ketemuan dulu. Baru, deh, ntar aku maafin!"
Aku menahan cekikikan supaya tak terdengar oleh Arkan. Sebenarnya aku ingin ketemu hanya karena rindu. Ini hanya akal - akalanku supaya kami cepat bertemu.
"Maaf … aku nggak bisa, Ag." Arkan memberi jeda. "Aku butuh maaf kamu sekarang juga."
Aku mengernyit. Aneh banget si Arkan. Kenapa kelakuannya jadi nyeleneh?
"Whatever. Pokoknya kita ketemu di cafe Happiness jam 8 malam ini. Aku tunggu kamu. Kalau kamu nggak dateng, kita putus!”
Sambungan segera aku putus secara sepihak.
***