Kali ini Garlanda tak sempat terbangun. Ketika hendak terbangun, rasanya begitu sulit membuka mata. Dan ia tak lagi mencium hawa pengap sekitar, tempatnya dikurung oleh kedua orang tua dan saudara - saudaranya, di gudang, di bawah tangga.
Ia mendengar percakapan di sekitar. Suara yang begitu ia kenal. Suara kedua orang tuanya.
"Apa kita harus percaya pada Garland?"
"Tentu saja tidak. Anak itu hanya sedang cari perhatian saja."
"Tapi sepertinya yang ia ceritakan cukup masuk akal. Dia selalu tidur lama. Seakan tidak akan pernah bangun. Bahkan ini sudah dua hari sejak kita membawanya ke kembali ke kamarnya. Tapi dia belum menunjukkan tanda - tanda akan bangun. Mungkin memang benar jika jiwanya sedang berpetualang luas, seperti apa yang dia katakan selama ini."
"Kamu jangan mengada - ada! Atau jangan - jangan kamu memang sudah ikutan sakit jiwa seperti dia."
Perdebatan itu benar - benar ingin membuat Garlanda membuka matanya, kemudian bangun dan menjelaskan segalanya sekali lagi pada mereka. Karena ini adalah kesempatan langka. Kesempatan emas.
Namun sayangnya ia tak berhasil bangun. Justru kembali dalam dunia mimpinya.
Kali ini ia masuk dalam tubuh seorang laki - laki bernama Pia. Yang memiliki seorang teman bernama Uto.
***
Pia bertemu Uto. Ia sedang duduk di depan kamarnya. Bersandar di bangku kayu panjang sambil memejamkan mata. Pia menghampiri dan duduk di sebelahnya. Merasa terusik, Uto membuka mata. ia segera tersenyum Pia.
"Pia," sapanya.
Pia hanya membalas dengan senyum.
Pia anak baru. Usia kandungannya baru tiga bulan. Berbeda dengan Uto yang sudah lama di sini. Sekarang ini bahkan sudah kehamilan ketiganya.
Uto mengernyit saat kontraksi menyerangnya lagi. Ia fokus pada rasa sakit itu, sembari mengatur napas. Pia melihatnya dengan was - was. Pasti ia takut. Ini pertama kalinya Pia melihat Uto seperti itu.
"Kau tak apa, Uto?"
Agak lama, Uto akhirnya menjawab bahwa ia baik - baik saja. Garis - garis kekhawatiran di wajah Pia belum hilang. Ada apa dengan Uto?
"Tak apa, Pia! Sudah lama aku menantikan ini. Dia sudah overdue. Seharusnya dia lahir dua minggu yang lalu."
Pia membelalak sekarang. "Kau ... akan ...."
Uto tersenyum lalu mengangguk. "Iya, aku akan melahirkan. Dan yang tadi itu adalah kontraksi."
Kini pandangan Pia tertuju pada perut besar Uto yang bulat penuh. Tangan Uto bertengger di sana. Kemudian menuntun tangan Pia untuk ikut menyentuh perutnya.
"Rasakan. Keras sekali di sini. Setiap kali mengencang dan rasanya sangat sakit," ucap Uto.
Pia menelan ludahnya. Memang benar, perut Uto terasa sangat keras dan kencang. Pasti lah sangat sakit. Tapi Uto terlihat masih wajar. Ia tak kesakitan berlebihan.
"Aku baru mengalaminya tadi pagi. Makanya kontraksi ini belum parah. Akan semakin parah kalau ketuban sudah pecah. Doakan persalinanku kali ini lancar, ya."
Pia mengangguk canggung. Melihat Uto seramah itu, ia juga harus ramah pula. Tapi ... Pia belum bisa mempercayai Uto benar - benar akan melahirkan. Bahkan ia masih belum percaya bahwa ia sedang hamil sekarang.
Awalnya Pia adalah laki - laki biasa yang bekerja di sebuah perusahaan pembuat roti kemasan. Pada suatu malam, ia tiba - tiba disekap oleh seseorang. Dan terbangun di sebuah kamar yang asing dengan rasa sakit luar biasa di bagian perut.
Kemudian mereka mengatakan bahwa ia sudah berhasil hamil. Itu gila bukan? Pia adalah seorang laki - laki tulen, dan ia bahkan memiliki seorang pacar. Bagaimana bisa ia hamil, sementara ia tak memiliki rahim?
Pia kemudian menyadari bahwa ia tidak sendirian. Ada banyak laki - laki muda lain yang disekap di sini. Dan semuanya mengalami kehamilan.
Salah satunya Uto itu. Bahkan ini sudah kehamilan ketiganya? Apa itu berarti mereka semua akan terus berada di sini dan selalu hamil. Mereka adalah mesin pembuat anak yang dimanfaatkan oleh oknum gila?
Uto kembali mengernyit sakit. Pia berusaha menawarkan bantuan. Lagi - lagi Uto tersenyum.
"Tolong bantu aku ke kamar," ucap Uto akhirnya.
Pia mengangguk paham. Ia segera menyangga tubuh Uto untuk membantunya berdiri. Uto berjalan amat pelan. Garis kesakitan di wajahnya terlihat jelas meski ia berusaha menahannya. Pia bahkan juga melihat bercak merah di celana bagian belakangnya.
Setelah membantu serangkaian kegiatan Uto hingga membantunya berbaring, Pia masih siaga mendampinginya.
"Terima kasih. Lebih baik sekarang kau masuk ke kamarmu. Istirahat, lah."
"Tapi ...."
"Tak apa. Pembukaan itu prosesnya lama. Mungkin bayi ini masih akan lahir nanti malam, atau besok pagi mungkin."
Pia pun cukup yakin. Akhirnya ia pamit undur diri. Pia benar - benar ke kamarnya dan langsung tidur.
***
Hampir tengah malam pukul Sebelas. Pia merasa haus, ia bangun, ingin mengambil air di dapur. Semua kamar di sini sudah gelap. Hanya kamar Uto yang terlihat masih terang. Pia teringat sesuatu. Bukannya Uto tadi ....
Pia berjalan pelan menuju kamar Uto. Pintunya dikunci, tapi korden jendelanya tak ditutup. Pia bisa melihat jelas apa yang terjadi di dalam.
Keadaan Uto jauh berbeda dengan tadi pagi. Raut kesakitan itu benar - benar nyata. Ia terlihat lemah dan lemas di ranjang itu. Kepalanya terkulai di atas bantal.
Perutnya yang besar terlihat jelas dengan posisi terlentang. Apa lagi para midwife sengaja menyibakkan bajunya sebatas d**a. Jadi lah perut Uto terekspos sempurna.
Kakinya terbuka lebar dan diletakkan di alat khusus untuk menopang keduanya. Terdapat darah merah di sekitar pahanya. Pia bahkan bisa melihat bukaan Uto yang sudah sempurna.
Ya ... Uto mengejan. Mungkin ia terlalu lelah hingga tak bisa mengangkat tubuhnya untuk membantu keluarnya bayi. Ia tetap terkulai di sana sambil terus mengejan sebisanya.
Sementara bayi itu masih terlihat jauh di dalam. Para midwife menungguinya dengan sabar. bahkan ada yang mengelap keringatnya.
Dokter yang setia menunggui bukaan Uto dengan sabar menuntunnya. Pia terus berdiri di sana.
Hampir satu jam, ia mendelik melihat kepala mulai keluar, menjalar ke pundak, dan akhirnya bayi itu keluar sepenuhnya.
Bahkan tali pusarnya masih menjalar. Menghubungkannya dengan Uto. Uto terlihat tak sadarkan diri di sana. Dokter segera membawa bayi itu begitu saja tanpa memperlihatkannya pada Uto.
Bayi itu akan langsung diserahkan pada orang tua yang memesannya untuk diadopsi. Sepasang suami istri itu begitu bahagia karena kini akhirnya mereka sudah memiliki anak. Mereka pun langsung membawa bayi itu pulang setelah transaksi selesai dilakukan.
Kejam?
Tentu. Dunia ini memang kejam. Dan rasa - rasanya, Pia sudah tak betah ada di sini.
Yah ... Pia akan kabur. Ia takut.
***