Tale 22

1002 Kata
Pukul 20.30 WIB di cafe Happiness, tempat di mana aku mendikte Arkan untuk datang mau tidak mau. Arkan lama banget datengnya. Mana cafe sepi gini Sumpah, sepi banget! Ya kali cuma ada aku doang. Kasian pelayannya dari tadi cuma bengong nggak jelas. Mereka jadi makan gaji buta deh. Arkan … lamanya .... Ke mana, sih, dia? Atau jangan - jangan dia lagi nyiapin kejutan manis buat aku? Haha. Bilang aja aku kepedean. Tapi Arkan memang semanis itu kok. Dia sering kasih aku kejutan manis. Tuh kan bener. Nggak lama kemudian Arkan dateng sambil menenteng sebuket mawar merah. Dia langsung memberikannya padaku. Hmh ... wangi banget bunganya. Padahal kalau dilihat dari fisikku yang tomboi, orang nggak akan menyangka kalau aku ternyata suka bunga. Tapi Arkan bisa tahu tanpa harus bertanya padaku. Dia benar - benar cowok yang peka. "Indah, Arkan! Makasih, ya!" Aku girang sekali menerima mawar itu. "Sama - sama. Maaf, ya, kelamaan nunggu." "Nggak apa - apa kok. Asalkan kamu telatnya karena alesan yang jelas kayak gini, aku nggak bakal marah," kataku sembari mengangkat buket bunganya. Arkan hanya tersenyum menanggapi kelakuanku. Sejauh kencan ini, kami nggak makan apa - apa. Cuma minum. Hal yang biasa lagi - lagi. Padahal saat nongkrong begini, biasanya kami makan banyak. Arkan juga jauh lebih pendiam dibanding biasanya. Arkan juga kelihatan pucat banget. Aku jadi ingat obrolanku semalam dengannya. Dia sempat bilang kalau dia nggak akan bisa datang. Tapi belum sempat dia menjelaskan alasannya, aku sudah mematikan telepon duluan secara sepihak. Jangan - jangan alasan Arkan tidak bisa datang adalah karena ia sedang sakit. Astaga, aku jadi merasa bersalah. "Kamu kenapa, sih, Kan?" tanyaku akhirnya. "Nggak apa - apa, kok." "Kok nggak mau makan?" "Nggak laper aja!" “Minumnya juga dari tadi dilihatin aja. Nggak diminum sama sekali.” Lagi - lagi Arkan hanya tersenyum. "Ini artinya, aku udah dimaafin kan, Ag?" tanyanya. Huff, akhirnya dia bertanya juga. Akhirnya muncul sedikit sosok Arkan - ku yang biasanya. Aku menggeleng. "Ini belum cukup, Arkan. Besok malam minggu, kan? Kita kencan lagi kayak gini. Baru, deh, aku maafin kamu." Raut wajah Arkan nampak kecewa. Tapi ujung - ujung tetap berusaha tersenyum. "Kalau itu mau kamu, aku pasrah aja sama takdir, deh. Soalnya aku cinta kamu melebihi apapun." Wuiiiihhhh, SO SWEET. Bibirku ini rasanya nggak tahan banget buat nggak nyengir. Tapi aku berusaha kuat buat nutupin kegiranganku. "I love you too, Arkan," jawabku sekenanya. *** Jam 12 malam tepat. Jam besar di ruang tengah berbunyi cukup lama. Entah mengapa bunyi dentang jam itu selalu membangunkanku. Padahal jam ini sudah menemani hidupku selama 16 tahun. Tapi tetep aja bikin aku parno. Angin pelan berembus. Aneh. Kok ada angin? Padahal nggak ada celah ventilasi yang terbuka. Pintu ketutup rapat. Jendela apalagi. Angin berempus lagi. Dingin. Kali ini cukup untuk bikin bulu kudukku merinding. Nggak tahu kenapa aku jadi ingat Arkan. Aneh sekali lagi, tiba - tiba aku mencium bau parfum Arkan. Bagaimana bisa? Semakin lama, wanginya semakin kuat. Bahkan aku merasakan kehangatan Arkan saat duduk di sampingku. Secara refleks aku menoleh ke samping. Seperti ada Arkan di sana. Di saat yang hampir bersamaan, ponselku berbunyi. Aku berharap banget itu dari Arkan. Ternyata ini si Jer, sahabatnya Arkan. Nggak biasanya dia nelepon aku. Perasaanku jadi semakin nggak enak. Halo!" "Hey, Ag! Kamu yang sabar, ya. Janji ke aku kamu akan kuat!" Aneh sekali si Jer. Kenapa dia ngomong begitu? "Heh, Jer. Ini ada apaan?" "Janji dulu ke aku kalo kamu akan kuat, ya?" "Jelasin dulu maksud lo apaan?” Aku emosi karena Jer tak kunjung bicara ke inti. "Arkan, Ag. Dia barusan aja pergi." "Hah, pergi ke mana?" "Dia pergi, Ag … Arkan … akhirnya pergi setelah tiga hari koma. Aku mohon kamu ikhlasin dia." Ponselku seketika terjatuh. *** Aku, Mama, Papa, dan Bang Rio sudah sampai rumah Arkan. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Semua Yang ada di pikiranku hanya satu … ini tidak nyata. Aku tetap tenang. Diam. Menatap orang-orang yang lalu lalang. Sibuk dengan urusannya masing - masing. Mama Papa yang sibuk menenangkanku. Bang Rio yang hanya bisa menatapku iba. Orang tua Arkan menangis sejadi - jadinya. Jer sedang memandang lurus raga Arkan di sana. Aku akan menunggu. Sampai Arkan lelah bersandiwara. Iya, dia pasti hanya bersandiwara. Satu jam berlalu. Aku nggak menangis. Karena jika aku sampai nangis, pasti Arkan senang karena merasa berhasil ngerjain aku. Aku masih yakin bahwa ini hanya sebuah sandiwara. Aku yakin Arkan hanya sedang melakukan Prank supaya aku cepat memaafkannya tanpa banyak syarat lagi. Niat sekali si Arkan itu. Sudah akting - nya totalitas, mengajak kerja sama begitu banyak orang pula. Seakan - akan ini adalah kenyataan. Tapi seorang Agni tentu tidak akan percaya begitu saja. Ya, aku harus tetap yakin bahwa Arkan hanya sedang mengerjai aku saja. Bang Rio datang menghampiriku. “Ag, Arkan udah mau diberangkatin. Lo yakin nggak mau lihat dia untuk terakhi kali?” Aku menatap Bang Rio tak berkedip. Air mataku akhirnya lolos. Entah karena apa. Padahal batinku masih meyakini Arkan hanya pura - pura. “Ag, gue tau lo sedih dengan ini semua. Tapi lo harus ikhlasin dia. Biar dia tenang di sana!” Aku tunggu … lama. Lama sekali. Hingga jasad Arkan telah dikafani, siap dikebumikan. Seorang cewek datang menghampiriku. Riran. Dia menangis sembari memelukku erat. “Maafin gue, Agni. Kalo aja gue nggak jalan ke taman sama Arkan waktu itu, semua nggak akan terjadi! Harusnya aku aja yang celaka dalam kecelakaan yang kami alami. Bukannya Arkan!” Riran menangis tersedu - sedu dalam pelukanku. Ternyata benar, kejadiannya adalah setelah kami bertemu dan bertengkar di taman hari itu. Aku masih diam, tak memberi tanggapan apa pun. Air mataku menetes lagi - lagi. Kepalaku pening. Pandanganku kabur. Tubuhku melemas. Dan aku tidak ingat apa - apa lagi. *** Arkan datang. Dia menatapku dingin dari ayunan sebelah. Suasa taman kota ini benar - benar indah sekarang. Meskipun cuaca mendung. Arkan memakai pakaian serba putih. Sepi. Hanya kami berdua. Aku tersenyum menatapnya. "You're Forgiven, Arkan!" Itu yang aku katakan selanjutnya. Dan Arkan - ku tersenyum. Senyuman yang begitu indah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN