Satu tahun lalu.
Mereka tiba di Selopanggung sekitar jam 9 pagi. Rombongan tiga mobil itu berisi mahasiswa yang hendak melakukan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) anggota Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang baru. Para Senior sudah berjajar rapi di lapangan yang berada di depan sebuah rumah beratap merah. Mereka memasang tampang sangar, seperti siap menerkam para junior yang baru datang.
Hari — yang merupakan salah satu dari anggota baru HIMA — menatap Haru yang berada di antara jajaran para senior. Ingin sekali ia tertawa melihat adik kembarnya memasang tampang garang seperti itu. Sangat tidak cocok! Tapi ia tahan tawa itu sebisanya. Ia tak ingin menghancurkan akting sang Adik. Hari yakin, saat ini Haru sedang susah payah menahan tawa pula.
Hari dan Haru memang kembar. Tapi tingkat sekolah mereka berbeda satu tahun. Terhitung semenjak kelas 11 SMA. Ada kejadian tak mengenakan menimpa Hari kala itu. Mengharuskan dirinya tidak masuk sekolah selama 10 bulan lamanya. Akibatnya, ia harus mengulang kelas. Dan sekarang, Hari harus terima. Adik kembarnnya — yang biasanya menjadi korban bully di rumah — justru menjadi seniornya di kampus. Dan sekarang, ia yang akan menjadi korban bully. Hukum karma ternyata benar - benar ada.
“DALAM HITUNGAN TIGA, KALO KALIAN NGGAK BERGEGAS BARIS DI LAPANGAN, MAKA AKAN KAMI HUKUM!” Haru berteriak sampai urat lehernya kelihatan jelas.
Aduh, Hari semakin ingin tertawa saja dibuatnya. Ia segera melempar tas, lalu berlari bersama teman - teman seangkatannya menuju lapangan, dan mulai berbaris.
Sehari, dua hari, LDK berjalan lancar tanpa halangan suatu apa pun. Paling hanya para gadis yang sering menangis karena tantangan dan hukuman yang diberikan senior tak main - main. Belum lagi saat malam - malam, tiba - tiba mereka dibangunkan, lalu diharuskan melakukan sebuah misi yang dinamakan Jerit Malam. Tapi hal itu sudah biasa dalam LDK seperti ini, bukan? Karena memang bertujuan melatih mental.
Namun siang ini ada yang berbeda. Masih berada di lapangan. Dua kelompok anggota HIMA baru sedang duduk melingkar, menunggu jatah makan siang yang diberikan oleh para senior. Mereka menunggu dengan khidmat, sudah mirip anak TK yang sangat menurut pada para Ibu Guru. Maklum, lah. Mereka sudah lapar setengah mati.
Salah seorang senior bernama Jalu, berdiri di tengah lingkaran kelompok Hari. Ia menatap Hari sekilas. Sebenarnya tidak enak bersikap tegas dan sok senior pada seseorang yang seumuran, apalagi Hari merupakan kakak kembar dari sahabat sendiri. Tapi ia harus profesional.
“Semua sudah dapat makan?” tanya Jalu akhirnya, dengan suara yang ditegas - tegaskan.
“SUDAH, KAAAAAAK!” koor mereka bersama.
“Oke. Silakan dibuka makanan kalian! Saya hitung … satu, dua, tiga!”
Mereka bergegas membuka bungkusan koran yang di dalamnya ada lapisan kertas minyak. Seluruh anggota HIMA baru terlihat antusias dan tersenyum menatap menu makan siang hari ini. Kemarin - kemarin hanya tahu dan tempe lauknya. Tapi sekarang … lumayan, lah.
Berbanding terbalik dengan ekspresi Hari. Kedua matanya terbelalak. Rasa mual itu sudah muncul mengaduk - aduk perutnya. Dari sekian banyak jenis makanan di dunia ini, kenapa harus telur?
Sekali lagi … kenapa harus telur?
***
Haru terjingkat kala membuka nasi bungkusnya. Ia segera teringat kakaknya yang masih di lapangan.
“Kenapa lo, Ru? Tampang lo gitu banget?” tanya Ringgo yang sudah makan dengan lahap di sebelah Haru.
“Ini yang lauknya telur cuman kita aja, apa junior - junior juga dapet?”
“Nggak tahu gue. Semua kayaknya?”
“Aduh!” Haru semakin terlihat gelisah. “Sie konsumsi ke mana orangnya?”
“Kenapa, sih, Ru?” Ringgo kebingungan. “Gitu amat manggil Laila. Iya dia sie konsumsi, tapi … please, deh! Itu, tuh, dia lagi makan sama Sovia di depan.”
Haru bergegas keluar untuk menemui Laila. Sontak Laila dan Sovia kaget dengan kedatangan Haru yang tiba - tiba datang dengan wajah gelisah dan napas yang terlihat tak beraturan.
“Kenapa?” tanya Laila.
“Makan siang yang lauknya telur, semua atau kita aja?” Haru langsung bertanya pada inti.
Laila terlihat ketakutan. “S - semuanya.”
“La, bukannya gue udah bilang. Jangan kasih lauk telur!” Haru benar - benar kecewa.
“I - iya. Tapi, budget kita terbatas, Ru. Mereka pasti bosen kalo tahu tempe terus. Kita seminggu, lho, di sini! Jadi gue pikir ….”
“Jadi, lo anggep enteng phobia - nya kakak gue?”
“T - tapi, kan ….”
Tanpa menunggu lebih lama — bahkan Haru tak sudi mendengar penjelasan Laila — ia berlari keluar rumah menuju ke lapangan. Apa yang ditakutkannya terjadi. Suasana di lapangan begitu riuh. Para mahasiswa, senior dan junior, bergerombol di tengah lapangan, mengerumuni sesuatu — seseorang.
Haru menyibak gerombolan itu dengan susah payah. Saat sampai pada tujuan, ia tercenung menatap kakaknya tergeletak. Masih sadar, namun terlihat tidak berdaya. Ada genangan muntahan tak jauh darinya. Haru segera menghampiri, berlutut di hadapan kakaknya yang sedang ditangani oleh Yumna.
Yumna ke sini lebih dulu darinya. Gadis itu terlihat khawatir luar biasa. Siapa yang tidak khawatir melihat seseorang yang istimewa di hati berada dalam keadaan seperti itu? Tapi ia dengan cekatan memberi pertolongan pertama pada Hari. Tak lama kemudian anak kesehatan yang lain datang membawa tandu untuk memindahkan Hari ke tempat yang lebih nyaman, lalu baru akan dilakukan pertolongan lebih lanjut.
***
Kembali ke sekarang.
Haru, Ringgo, Jalu, dan Junot — semua menunggu dengan gelisah di kursi masing - masing. Hari dibaringkan di atas susunan kursi yang dijejer setinggi tubuhnya, berbantalkan paha Yumna. Untung gadis itu juga ikut dengan rencana ini. Coba kalau tidak? Bisa habis mereka kalau Hari sudah sadar nanti.
Haru seketika berdiri ketika melihat kerutan samar di kening kakaknya. Yumna juga semakin intense menatap kekasihnya itu, mengantisipasi bahwa Hari akan segera membuka mata. Ternyata benar dugaan mereka, Hari sadar. Awalnya tatapan pemuda itu lemah. Ia lalu menatap lembut pada Yumna. Tapi berubah begitu menatap Ringgo, Jalu, dan Junot. Terlebih saat menatap Haru, adiknya sendiri.
“Mas, ini rencana kita berenam. Cewek lo masuk itungan. So, jangan marah sama gue doang!” Haru memelas.
“Gue yakin lo dalangnya!” Suara Hari bahkan masih serak dan parau, tapi ia sudah bisa ngamuk.
“Ya … bener, sih. Tapi ….”
“Tuh, kan? Tujuan lo, tuh, apa? Seneng gitu lihat gue lemah?” Hari meluapkan emosinya. “Kalian juga sama aja? Ngapain ikut - ikutan? Mau - mau aja disuruh sama si Haru!” Hari menunjuk Ringgo, Jalu, dan Junot satu per satu. Ketiganya seakan menciut, ingin pulang sekarang juga.
“Ssttt ….” Yumna berusaha menenangkan Hari.
“Kamu juga, Sayang. Kenapa ikut - ikutan sama mereka?” Kekesalan tersirat dalam nada pertanyaan itu, tapi tidak separah pada Haru dan antek - anteknya.
“Ini semacam … perayaan, Sayang,” jawab Yumna.
“Perayaan apa?” Hari benar - benar tak mengerti.
“Perayaan setahun setelah kejadian itu.” Yumna menunjuk layar yang ini kembali redup dengan dagunya.
Hal itu sudah cukup untuk membuat Hari mengerti. Tapi ia tetap tak mengerti apa tujuan mereka. “Tapi kenapa pakek dirayain segala? Faedahnya apa?”
“Hmh ….” Yumna ingin menjelaskan. Tapi ia mempercayakan hal itu pada Haru. Karena ia merasa, Haru lebih berhak. Mengingat hal mulia ini adalah idenya.
Tatapan semua orang tertuju pada Haru — terutama Hari. Ia menunggu jawaban logis dari sang Adik. Meskipun dalam benak, ia masih merasa bahwa hal ini sama sekali tak ada gunanya. Buang - buang waktu dan tenaga. Dan ia adalah korbannya. Perayaan katanya? Omong kosong!
“Gue cuman pengin lo sadar. Phobia lo ini udah masuk dalam kategori akut, Mas. Dulu tiap kambuh lo nggak sampek parah banget. Paling cuman muntah. Tapi semakin kita gede, itu semakin mengkhawatirkan. Waktu kita kelas 11, lo sekarat gara - gara dilempar telur busuk sama saingan lo. Lo collaps, kepala lo nimpa pot sampai bocor parah. Inget? Waktu LDK, lo juga nyaris pingsan. Dan barusan … lo juga kayak gitu Udah tahu parah banget, tapi lo tetep nggak mau berobat. Lo mau ngulangin sekarat lagi kayak dulu?”
Hari terlihat masih belum terima. “Tapi apa iya caranya harus kayak gini? Lo bukannya nolong gue. Bikin gue malu iya!”
“Kalo gitu kasih tahu gue gimana caranya biar lo mau?”
Hari tertegun kali ini. Siratan kepedulian yang begitu besar terpancar dalam mata adiknya. Haru benar - benar mengkhawatirkannya. Benar - benar menginginkan kesembuhannya.
“Kita peduli sama lo. Kita sayang sama lo. Kita pengin lo sembuh.” Haru melanjutkan kata - katanya. “Lo bilang lo kuat. Tapi … mana ada orang kuat takut sama telur?”
Pertanyaan Haru itu menimbulkan efek tawa tertahan dari orang - orang di sana. Yumna bahkan juga sibuk menahan tawa. Dan … Hari pun demikian.
“Ngapain lo ikutan ketawa?” tanya Haru ketus.
“Ya kalo ketawa berarti lucu, Bego!”
“Gue lagi nunjukin rasa sayang ke lo. Tapi lo malah ketawa. Dasar nggak berperi kesaudara kembaran!”
Hari malah semakin tertawa keras karena omelan Haru yang semakin lucu menurutnya.
“Malah ngakak! Jadi gimana? Lo mau terapi setelah ini, atau gue ngambek selamanya sama lo?”
Hari memuaskan dirinya tertawa terlebih dahulu. Sebelum ia berhenti, dan menatap kedua mata adiknya lekat. Sebelum bicara pada Haru, Hari menatap Yumna terlebih dahulu. Seperti meminta persetujuan. Setelah Yumna mengangguk, baru lah ia bicara.
“Okay, Adek! Mas mau terapi atau apa lah itu namanya. Demi kamu seorang!”
“Jijik!” pekik Haru.
“Bilang makasih dan good luck, dong! Kok malah jijik?"
Haru memasang tampang ingin muntah karena kelakuan kakaknya. Tapi ia cukup senang. Meski sempat begitu menegangkan dan mengkhawatirkan juga mencengangkan, rencana ekstremnya untuk menyadarkan Hari tentang phobia itu akhirnya berhasil.
Hal sekecil apa pun tak boleh dianggap remeh. Apalagi phobia yang dialami Hari sama sekali tidak kecil.
Perayaan setahun dari masa depan atas tragedi telur rebus saat LDK dulu, ternyata membuahkan hasil yang memuaskan. Mungkin prosesnya tidak akan instan. Butuh waktu. Tapi Haru tetap senang. Setelah ini Hari akan sembuh, dan tidak takut pada telur lagi.
***