Tale 30

1000 Kata
Garlanda lagi - lagi merasakan kesedihan dan kesakitan yang begitu besar. Berada dalam tubuh seorang remaja yang tentu belum saatnya merasakan apa yang dialami oleh Kel. Terlebih hal itu juga bukan merupakan kodratnya. Garlanda bergidik ngeri. Apakah di dunia nyata benar - benar ada kehidupan seperti itu? Meski mustahil, tapi bukan kah tak ada yang tak mungkin? Hanya pengetahuan manusia saja yang masih terbatas. Garlanda urung jua bisa membuka matanya. Apakah ia sudah mati? Apakah ia sedang sekarat? Garlanda tak lama berada dalam fase sadar dengan dirinya sendiri sebagai Garlanda. Karena lagi - lagi ia kembali masuk dalam hidup dan tubuh orang lain. Kali ini ia berada dalam tubuh seorang pemuda bernama Haru. Anak kuliah kekinian yang memiliki saudara kembar identik bernama Hari. *** Haru beranjak dari kursi kemudi, seakan berlari keluar mobil, membukakan pintu bagi saudara kembarnya — Hari. Haru terkikik menatap tampang kesal kakaknya. Meski pun kedua matanya ditutup rapat oleh kain kaos warna hitam, tapi kekesalan itu tersirat jelas. Sayangnya, tampang kesal Hari justru menjadi hiburan bagi Haru. “Sebenernya kamu mau ngapain, sih, Dek? Alay banget pakek tutup mata segala!” Hari mengarahkan kedua tangan ke belakang kepala, bersiap untuk membuka simpul ikat. Haru buru - buru mencegah perbuatan Hari. “Jangan, Mas! Orang mau dikasih surprise, mbok ya yang bahagia! Yang semringah mukanya!” Hari cemberut maksimal. “Surprise macam apa yang bikin perasaan super nggak enak kayak gini. Firasat burukku jarang meleset, lho, Dek. Makanya mukaku surem!” Bukannya prihatin, Haru malah tertawa terpingkal - pingkal. “Ayo, ah! Yang lain udah pada nunggu!” Haru membantu Hari turun dari mobil. Ia memegangi kedua bahu sang Kakak menuju destinasi. Dua bersaudara bertubuh tinggi kurus itu seketika menjadi pusat perhatian orang - orang di Hotel Insumo. Mungkin jika kedua mata Hari tak ditutup, tatapan orang - orang tak akan semenghakimi sekarang — karena mereka akan segera tahu jika keduanya kembar identik — wajah mereka sama persis, bedanya, Haru memiliki gigi gingsul, dan Hari tidak. Namun sekarang mata Hari sedang ditutup. Alhasil orang-orang tak bisa menatap wajah Hari dengan jelas. Jadi lah, mereka menganggap Hari dan Haru sebagai sepasang kekasih. Tapi ada untungnya mata Hari ditutup. Jika saja ia tahu orang - orang sedang menatap menghakimi secara sepihak seperti ini, ia pasti akan mengamuk. Tempramennya memang buruk. Dan untungnya lagi, sifat Haru berbeda 180 derajat dengan kakaknya. Pribadinya cuek, tidak mudah emosian. Makanya ia tak terlalu peduli akan tanggapan orang - orang. “Kok jauh banget, Dek?” “Sabar dong, Mas! Sabar!” Haru membelokkan tubuh kakaknya ke kanan. “Nih, udah nyampek!” Hari bergeming merasakan semilir embusan AC yang terasa jauh lebih dingin. Tanda bahwa mereka memang sudah memasuki ruangan khusus — destinasi yang disebut sebagai lokasi surprise oleh adik kembarnya. Haru tadi bilang, yang lain sudah menunggu. Tapi mana? Di sini tak ada suara apa pun. Tak mungkin sesepi ini jika memang mereka — kelompok pertemanan keduanya — ada di sini. Mengingat mereka termasuk golongan orang - orang yang tak bisa diam, baik secara lisan ataupun motorik. Kedua tangan Haru terangkat. Jemarinya menuju bagian belakang kepala kakaknya. Dengan cekatan ia melepas simpul yang mengikat kain hitam itu memutari kepala sang Kakak, menutup kedua matanya. Kala ikatan kain itu benar - benar sudah terlepas, Hari perlahan membuka mata. Ruangan ini gelap. Ada kursi yang berjajar. Oh, Hari tahu. Ini adalah sebuah meeting room. Dan seperti dugaannya, tak ada siapa pun di sini. “Dek, jadi sebenerny - …." Ucapan Hari terhenti karena Haru menyela. “Lihat ke sana, Mas!” Hari mengikuti gestur tangan Haru ke arah kanan. Sebuah layar putih yang tadinya redup, kini terlihat terang karena cahaya dari proyektor di atas sana. Pandangan Hari fokus pada layar, mengantisipasi apa yang akan muncul. Yang jelas saat ini perasaan tak enak masih menguasai hati Hari. Dan perlu diingat sekali lagi, perasaan tak enaknya jarang meleset. Tiap ia merasa begini, pasti akan ada sesuatu tak beres terjadi. Terputar lah video hitam putih dengan lagu Yiruma ‘Kiss The Rain’ sebagai pengiring. Suasana pedesaan dengan banyak pepohonan asri, melewati jalan makadam dan sungai, hingga sampai pada sebuah rumah beratap merah. Hari mengernyit, suasana dalam video itu sama sekali tak asing. Apalagi rumah merahnya. Di depannya ada sebuah lapangan kecil, di apit pohon - pohon besar beragam jenis. Lagu Yiruma berhenti mengalun. Audio kini berubah menjadi suara asli dari video. Di tengah lapangan itu tengah terbagi dua kelompok anak - anak muda yang membentuk lingkaran. Hari berdecih, ia geram atas kelakuan Haru ini. Bisa - bisanya anak itu memutar video ini? Perasaan tak enaknya kini terbukti! Hari menoleh ke tempat Haru berada. Maksud hati ingin menggertak adik kembarnya. Sayang, ternyata di sampingnya tak ada siapa pun. Ke mana perginya Haru? Hari melangkah maju. Ia mencari di mana letak remot yang dapat ia gunakan untuk mematikan proyektor. Ia juga celingukan mencari di mana laptop atau komputer yang kini sedang memutar video itu. Apa pun akan Hari lakukan asal video itu terhenti. Sembari mencari, Hari benar - benar menjaga pandangannya. Ia tak ingin melihat apa pun yang ada di dalam video itu. Namun, yang namanya manusia. Banyak hal yang tak ingin dilihat, banyak hal yang membuat takut, ataupun merasa jijik. Tapi tiap kali hal yang tak ingin dilihat karena menakutkan dan menjijikkan itu muncul, entah kenapa mata sulit sekali dikontrol. Seperti bersekongkol dengan otak dan hati, bersinkronisasi, hingga kedua netra Hari akhirnya kembali menatap video dalam layar. Sungguh, sial! Kala Hari menatap, tepat sekali dengan saat adegan itu muncul. Adegan saat Junot — sahabat Hari dan Haru — yang duduk tepat di sebelahnya, mulai mengambil sedikit bagian dari bali telur yang berada di atas nasi bungkus dengan tangannya, Kini bentuk telur yang semula oval menjadi tak keruan, dan bagian kuningnya pecah, keluar mengenai bagian atas nasi. Seketika perut Hari bergejolak. Sarapan paginya — mengingat ia belum makan siang — kini sedang dalam perjalanan naik dari lambung ke kerongkongan, dan akhirnya sukses hari muntahkan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh hari. Hingga serangan pusing yang hebat, mengantarkannya dalam kegelapan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN