Terkadang Garlanda sedih dan sakit kala masuk dalam tubuh orang yang begitu menderita dalam hidupnya. Namun tak jarang ia juga merasa kesal dan marah, kala jiwanya masuk ke dalam tubuh yang lebih salah. Yaitu tubuh orang - orang brengs3k. Seperti tubuh yang kini sedang ia huni.
Ia adalah seorang lelaki tukang mabuk bernama Kal. Lelaki yang sudah memiliki pasangan, namun tidak mau bertanggung jawab atas pasangannya, baik secara lahir atau pun batin. Padahal pasangannya itu sedang mengandung keturunan mereka. Bahkan akan segera melahirkan.
***
Kal seperti biasa. Menghabiskan waktu malamnya di klub. Ia berjudi dan menghabiskan berbotol v0dka. Dan ia tak mabuk. Karena ia benar - benar sudah tahan. Hanya V0dka yang akan melumpuhkan segala bebannya.
Kal tersenyum senang saat melihat kartunya bagus semua. Ia yakin malam ini akan menang lagi. Setelah selama lima hari berturut - turut, ia kalah terus. Membuatnya bangkrut. Dan sekarang waktunya balas dendam.
Kal mengutuk dan mengumpat saat ponsel dalam sakunya bergetar. Disusul oleh suara ringtone. Kal memutuskan untuk mengabaikan telepon itu.
Kal bermain terus. Tanpa disangka, ternyata langkah permainannya sudah terbaca oleh kawan - kawan judinya. Akhirnya malam itu, Kal kalah lagi. Ia marah, melempar botol v0dka ke sembarang arah. Hampir saja mengenai kepala orang. Kal sempat dipukul oleh orang itu. Tapi ia tak membalas, ia tahu bahwa ia salah.
Kal memutuskan untuk lanjut menenggak v0dka - nya. Mau ikut main lagi, ia sudah tak punya uang.
Ponsel Kal bergetar lagi. Kali ini bukan sebuah telepon, melainkan SMS. Kal mengambil dan membacanya. Dari pasangannya.
'Kal, kapan kau pulang?'
Lagi - lagi Kal mengabaikannya. Ia sudah bosan hidup miskin sejak menikah. Apa lagi ia tak menyimpan hati sedikit pun pada pasangannya.
Ia hanya bermaksud iseng kala itu. Ia penasaran dan ingin mencicipi. Akibatnya, Kal harus bertanggung jawab. Ia tak bisa lari, karena ternyata Ayah dari orang itu adalah polisi.
Kal diancam akan dimasukkan penjara. Makanya ia mau menikahinya meskipun pada akhirnya, pernikahan itu terasa hambar dan tanpa cinta.
Kal menerima SMS lagi setengah jam kemudian.
Kal, Bisa kah kau cepat pulang?
Isi SMS itu membuat Kal hampir melempar ponselnya. Tapi ia sadar bahwa ia sudah tak punya uang lagi untuk beli ponsel, maka diurungkannya niat itu.
Selang beberapa menit kemudian, pasangan Kal malah menelepon.
"ADA APA SEBENARNYA?" bentak Kal.
"Kal, pulang lah ...."
"Tidak mau."
"Tolong ... perutku sakit. Kurasa bayinya akan lahir."
"Apa?"
***
Di flat kecil tempat Kal dan pasangannya, Kia, tinggal. Kia tentu selalu sendirian di rumah. Ia memang selalu di rumah semenjak kandungannya mulai membuncit.
Ia ingin menghindari segala hujatan tetangga. Sudah cukup dengan beban batinnya yang harus menanggung hal ini. Tapi ia juga tak mau membunuh anaknya sendiri. Makanya ia memutuskan untuk mempertahankan kehamilan itu.
Entah bagaimana ke depannya, yang jelas ia tak mau lagi menanggung lebih banyak dosa.
Sudah sejak pagi tadi Kia merasa aneh. Tendangan yang dilakukan bayinya terasa tak biasa. Tapi Kia berusaha bersikap wajar. Ia melakukan aktivitas seperti biasanya. Meski setiap satu jam sekali, ia harus meringis - ringis saat perutnya tiba - tiba mengencang dan terasa sangat sakit.
Namun dalam sekejap rasa itu hilang. Kia langsung tahu bahwa itu adalah gejala persalinan. Karena memang hitungannya ia sudah overdue. Usia kandungannya sudah hampir 10 bulan.
Kia cukup lega karena bayi itu akhirnya mau lahir. Lega sekaligus takut. Sangat takut. Terlebih tak ada seseorang di sisinya. Bahkan suaminya sendiri.
Kia masih kuat menahan segala rasa sakitnya sampai hari menjelang sore. Saat kontraksi yang lebih hebat mulai menyerangnya.
Dan temponya juga semakin dekat. Ditambah rasa mulas yang sedikit berlebihan. Juga rasa sakit yang kentara di perut bagian bawahnya.
Kia langsung berbaring di kamar saat itu terjadi. Dan Kia kesakitan sendirian sampai semalam ini. Dikiranya Kal akan segera pulang, tapi ternyata ia tak kunjung datang.
Kia sempat frustrasi karena Kal tak mengacuhkannya. Tapi ia tak mau menyerah.
Kia tak sengaja menjatuhkan ponselnya ke lantai. Mau mengambil ia tak sanggup. Ia hanya pasrah sekarang. Semoga Kal mau mendengarkannya.
Kia memang tidak berteriak sakit, tapi rasa sakit itu terlihat nyata di wajahnya. Rasa sakit yang asing dan menyerangnya tanpa ampun. Bahkan Kia sampai sulit bernapas.
Sesekali Kia mengelus perutnya. Peluhnya sudah mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Kia tak mau bergerak karena sedikit gerakan saja membuatnya semakin sakit. Sudah cukup dengan yang dirasakannya sekarang.
Suara gebrakan pintu yang agak keras mengagetkan Kia. Membuatnya cukup lega setelah tahu siapa yang datang.
Kal memang tetap angkuh seperti biasanya, tapi tersirat sedikit rasa takut di wajahnya, saat ia melihat Kia berbarik miring di ranjang seraya menenggerkan kedua tangannya di perut.
"Kau sudah menyiapkan segalanya?" tanya Kal.
"Ada di lemari," jawab Kia susah payah di antara rasa sakitnya.
Kal melenggang mengambil tas besar di dalam lemari. "Ayo berangkat!" seru Kal dan berjalan duluan menuju ke depan.
Kia berusaha bangun dari posisinya sekarang. Perlahan tapi pasti, ia mulai berdiri. Dan berjalan dengan tertumpu di setiap benda di sekitarnya. Beberapa kali ia membuang napas untuk meringankan sakit. Tapi sepertinya tak berhasil.
Kal sudah menunggunya di depan dengan motornya. Entah lah Kia bisa naik sendiri atau tidak ke motor itu. Tapi harus bagaimana lagi. Hanya itu kendaraan yang mereka punya.
PRAK ....
Suara yang keras tiba - tiba terdengar. Membuat Kal dan Kia terbelalak bersamaan. Apa itu tadi?
Pandangan Kal segera terfokus dengan celana Kia yang tiba - tiba basah. Kia tak bisa melihatnya karena terhalang oleh perutnya. Tapi ia bisa merasakan rembesan air itu.
Seketika rasa sakit yang semakin intens menyerangnya. Bayinya juga bergerak - gerak mendesak di dalam perut. Kia tak sanggup jalan lagi. Ia terjatuh begitu saja di teras.
Ekspresi kesakitan itu semakin kentara terlihat. Kia tak mau berteriak. Ia tak mau mengeluh. Ia tak mau Kal semakin tak suka padanya.
Kal melompat cepat dari motor. Ia mengalungkan tas yang sudah disiapkan Kia di bahunya. Ia segera ambil ancang - ancang dan posisi untuk menggendong Kia. Mungkin tak harus ke rumah sakit.
Kalau Kal tidak salah, ia pernah tahu ada midwife yang tinggal di dekat sini. Kal menggendong Kia kembali ke kamarnya. Dan bergegas untuk memanggil midwife itu ke rumah. Lagi pula sebenarnya ini lah yang ia inginkan. Supaya tidak lebih menanggung malu.
***