Tale 71

2815 Kata
Garlanda sempat terbangun beberapa saat. Sudah la sekali rasanya, ia tidak merasa sesantai ini ketika terbangun. Biasanya mimpinya begitu aneh sekaligus menyakitkan. Tapi, kali ini adalah mimpi paling biasa menurutnya. Ia senang mimpi sebagai sosok Jodi, yang memiliki jiwa bebas. Sosok remaja yang hidup bahagia dengan caranya sendiri. Bahkan jika ia berpindah ke dalam dunia mimpi, dan berada dalam tubuh Jodi selamanya, ia juga mau. Ketika terbangun, ia masih berada di ruangan yang sama. Ruangan serba putih. Berbentuk petak. Dan tidak memiliki pintu. Ah, setelah Garlanda mengingat-ingat. Di sini ada pintunya kok. Tapi ia lupa di mana. Toh sekali pun ia ingat di mana letaknya, itu percuma. Karena ia tidak akan pernah bisa keluar. Karena ia tidak tahu bagaimana cara membukanya. Garlanda mengernyit kala mendengar suara langkah kaki. Garlanda mencari ke sekitar. Ternyata ada seorang perawat. Yang mengingatkan Garlanda bahwa ia memang sedang dirawat -- atau lebih tepatnya dibuang oleh keluarganya sendiri. Bagaimana kabar mereka? Kedua orang tuanya, dan juga kakak-kakaknya? Apa mereka sudah lebih bahagia, setelah hidup tanda dirinya? Suara langkah kaki itu berasal dari sepasang sepatu hak tinggi Seorang wanita. Ia tersenyum pada Garlanda. Senyuman yang begitu lepas, tulus, tidak dibuat-buat. Jarang-jarang ada orang yang tersenyum setulus itu pada Garlanda. Bahkan keluarganya sendiri pun tak pernah memberi ia senyuman setulus itu. "Hai ... Garland ... kamu sudah bangun?" tanyanya. Bahkan nada bicaranya pun sangat ramah. "Perkenalkan, nama aku Ayla. Aku perawat baru di sini. Salah satu tugas aku adalah menjaga kamu. Aku memperkenalkan diri, karena kita belum pernah bertemu kan sebelumnya? Meski pun aku sudah bekerja selama dua minggu, tapi ini adalah interaksi pertama kita. Karena kamu terus menerus tidur. Aku senang karena kamu akhirnya bangun juga. Ayo kita ngobrol. Supaya lebih akrab. Sesuai dengan yang aku duga. Kamu memang lebih tampan, ketika terbangun seperti ini. Ketika kamu membuka mata." Garlanda urung menjawab ucapan Suster itu yang memang cukup panjang. Sebenarnya ada beberapa poin dari ucapan sang suster yang membuat Garlanda salah fokus. Pertama adalah namanya. Ayla. Nama yang sama dengan tokoh perempuan dalam mimpinya. Bedanya Ayla di salam mimpinya sangat cupu. Sementara ... Ayla yang ini ... sangat lah cantik dan menggoda. Kedua, Suster Ayla bilang bahwa ia sudah bekerja selama dua minggu? Apa? Jadi sudah selama apa tidur Garlanda kali ini? Astaga ... ternyata ia memang benar-benar betah berada di dalam mimpi itu menjadi sosok Jodi. Eh, tunggu .... ketika diperhatikan lebih dekat. Dan lebih detail. Astaga ... ternyata wajah Ayla cupu dalam mimpinya, dan juga wajah suster Ayla, sangat lah mirip. Bahkan bisa dibilang sama. Hanya saja pembawaannya sangat berbeda. Dengan penampilan yang berbeda drastis pula. Menjadikannya seperti dua orang yang berbeda. Dan ... Ayla yang ini, juga sudah dewasa. Tidak seperti Ayla dalam mimpinya yang masih usia SMA. "Suster Ayla ...." Garlanda mengucapkan nama sang suster. Maksud hati ingin mulai menjawab ucapan sang suster. Tapi rasa kantuk mulai kembali menyerangnya dengan hebat. Astaga ... Garlanda ingin terjaga selama sehari saja. Apa tidak bisa? Kenapa ia rasanya sudah akan tertidur lagi seperti ini? Garlanda berharap semoga mimpi yang selanjutnya bukan mimpi buruk seperti biasanya. Minimal mirip lah dengan mimpi yang terakhir. Supaya Garlanda tidak harus mengalami kesakitan yang aneh lagi. "Iya ... Garlanda ... astaga ... kamu tertidur lagi." Bahkan ketika Suster Ayla belum sempat merespons panggilan Garlanda, pasiennya itu sudah kembali tertidur nyenyak. Suster Ayla hanya tersenyum maklum. Harapan Garlanda menjadi kenyataan -- dalam mimpi. Bahkan lebih baik dibanding ekspektasi. Kenapa? Karena ternyata ia masih berada dalam mimpi yang sama. Dan dalam tubuh orang yang sama. Melanjutkan kembali bagian terakhir dari mimpinya, yang sebelumnya dikira sudah selesai. *** Seperti biasa setelah latihan sepak bola, Jodi segera mandi dan ganti baju. Selesai, dia kembali ke lapangan mencari Fariz dan Iput -- yang selalu setia mendampingi sahabat mereka itu latihan.  Tapi tak seperti biasanya, Jodi terlihat kurang bersemangat hari ini. Sebenarnya hal itu sudah disadari Fariz dan Iput sejak tadi pagi. Cuman, mereka berpikir mungkin karena Jodi sedang bertengkar dengan Ayahnya lagi. Tapi mereka juga bingung apakah dugaan mereka itu benar atau tidak. Karena Jodi tidak bercerita apa-apa. Padahal tiap kali orang tuanya pulang, Jodi selalu cerita. Apa lagi kalau sampai terjadi pertengkaran, Fariz dan Iput lah yang langsung menjadi tong sampah bagi Jodi untuk menceritakan segala gundah gulananya. Lama-lama Jodi semakin aneh. Biasanya juga kalian tahu sendiri, dia sangat semangat mengajak keliling sekolah untuk tebar pesona. Tapi tadi justru Fariz yang mengajak duluan. Itu juga Jodi tidak mau. Sama sekali tidak berminat untuk melakukan kebiasaannya itu. Si Ayla yang biasanya banyak digodai oleh Jodi, hari ini juga banyak dianggurkan. Hanya diberi sedikit senyum ketika berpapasan. Membuat si Miss Lemot itu juga akhirnya kurang bersemangat menjalani hari. Biasanya si Ayla kan sangat senang diberi tugas men-translate bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Tapi hari ini, dia bahkan tidak mengumpulkan tugas. Seorang Ayla tidak mengerjakan tugas bahasa Inggris? Apa kata dunia? Begitu seterusnya sampai bel pulang. Sebenarnya Ayla menengok ke belakang untuk sekedar mendapat pandangan nakal dari Jodi, tapi jangankan pandangan nakal, menatapnya saja tidak. Huff, Ayla yang kesal langsung meninggalkan kelas dan menuju parkiran dengan muka lusuh. Selanjutnya, Faris dan Iput akhirnya mengira bahwa Jodi sedang ada masalah dengan mbak Titi. Bisa jadi begitu kan. Selanjutnya, Jodi langsung ganti baju dan menuju lapangan untuk latihan. Dan hari-hari tetap garing tanpa keusilan Jodi, sampai detik ini. "Guys, gue kok lemes ya! Makan yuk!" Lagi-lagi Jodi tidak seperti biasanya. "Tumben lo yang ngajak makan? Biasanya juga si Iput!" Fariz langsung menimpali. Iput manggut-manggut.  "Nggak tau kenapa nih tiba-tiba lemes. Mungkin laper." Jodi menjawab sekenanya. "Hadeh ... ya iya lah lemes dan laper, kan barusan latihan bola lama banget. Ya udah, cabut! Lagian gue juga laper!" sambut Iput dengan berbinar-binar. Hal itu hanya disambut sebuah jegukan dari Fariz ke kepala Iput. Agak jengah dengan sikap Iput yang selalu lebay jika urusan makan. Iput langsung melotot pada Fariz, meski sia-sia karena matanya tetap sipit akibat terimpit pipi tembam. Mereka bertiga berangkat ke kantin dengan menenteng tas masing-masing Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga, tapi tiga bersahabat itu belum juga pulang. Si Iput gendut sudah melahap habis makan siangnya. Seakan tak peduli bahwa ada manusia lain di sekitarnya. Rambut keriting cepaknya ikut mensupport dalam membuat badan gembulnya terlihat semakin bulat. Bibirnya yang menganga ketika akan menggigit roti lapis, terlihat tetap kecil karena terapit dua pipinya yang melembung besar seperti bakpaw. Belum lagi mata Chinese-nya yang sudah sipit seperti tenggelam di samudera yang teramat dalam. Semakin tidak bisa melek. "Man, jangan banyak-banyak! Liat dong badan lo! Udah segedhe kudanil gitu!" Gerutu Faris yang merasa tak nyaman dengan kebiasaan si pemakan segala itu. "Kenapa sih lo? Sirik ajah! Liat tu si Jodi. Dia biasa-biasa aja tuh!" Faris langsung menatap Jodi yang memang dari tadi lebih banyak diam.  "Kenapa lo, Man? Nggak makan? Katanya tadi laper?" Fariz mulai bertanya lagi pada Jodi. Ia semakin bingung dengan kelakuan aneh Jodi hari ini. Lama-lama kelakuan Jodi ini membuatnya khawatir sebab terlalu aneh. Jodi menggeleng. "Nggak nafsu gue!" "Buat gue aja ya, Jod! Kan sayang dari pada dibuang sama mbak Kantin!" Sahut Iput. Jodi hanya sedikit mengangguk. "Yee,... elo! Dasar omnivora!" Faris menyahut lagi. "Ye,... Biarin! Biar pun gimana, gue tetep lebih baik daripada Herbivora kaya loe! Liat deh, tiap hari yang dimakan cuma daun. Udah kaya kambing aja!" Fariz udah kebal tiap hari dikatai kambing sama Iput. Jadi dia hanya cengengesan sambil mencubit gemas pipi bulat Iput. Lalu dia kembali beralih ke Jodi. "Lo ada masalah sama Mbak Titi ya?" Jodi hanya menggeleng.  "Atau ini tentang bokap lo? Apa orang tua lo pulang? Kapan datengnya? Lo berantem lagi sama bokap?" Fariz tak menyerah mengorek informasi dari Jodi. Sebelum ia tahu akar masalahnya, ia tidak akan berhenti peduli. Jodi menggeleng lagi. "Mereka nggak pulang kok!" Raut wajah Jodi semakin muram akibat nama orang tuanya disebut. Fariz segera paham jika Jodi tak suka membahas tentang orang tuanya. Ia pun langsung berinisiatif ganti topik. "Mr. Baggie udah lo telepon buat jemput?" Fariz langsung menemukan topik baru dengan cepat. "Udah, kok." Fariz semakin gemas karena Jodi belum juga mau bicara tentang masalahnya, meski sudah banyak ia pancing. "Jod, lo kenapa sih? Sakit?" Pertanyaan itu akhirnya muncul dari mulut Fariz. Lama-lama ia benar-benar khawatir. Karena selain terlihat muram dan lesu, Jodi juga terlihat lebih pucat dari biasanya. "Nggak!" jawab Jodi cepat. "Yakin?" "Iya lah. Emang kenapa sih?" Jodi agaknya mulai tidak suka, karena sejak tadi Fariz terus bertanya padanya. "Ya, lo aneh aja!" Fariz menyadari Jodi mulai emosi. Tapi ia tidak mau ikut terpancing emosi. "Oke, lah. Mungkin gye emang ngeselin karena cerewet terus dari tadi. Oke, gue berusaha ngerti. Mungkin lo emang belum mau cerita masalah lo." Iput agaknya juga jadi merasa tak enak makan karena sedikit ucapan mengandung emosi dari Jodi tadi. Jodi bisa dibilang tak pernah marah pada mereka. Tapi kenapa hari ini sampai emosi begitu? Iput pun yakin bahwa memang sedang terjadi sesuatu. Jodi sedang tidak baik-baik saja. Fariz malah meneruskan memakan salad full sayur yang super segar tapi menjijikan bagi Iput. Dikunyahnya salad itu perlahan sampai mulus sekali. Mungkin lembutnya sayur diblender masih kalah lembut dibanding kemampuan memamah biak Faris. Benda yang sudah lembut sekali selembut bubur itu tiba-tiba terasa sulit tertelan karena melihat cairan merah mengalir pelan dari hidung Jodi.  "Jod, hidung lo berdarah tuh!" seru Fariz buru-buru. Iput sampai kehabisan kata-kata, karena kejadiannya terlalu mendadak. Membuatnya terkejut. Jodi langsung mengusap hidungnya. Raut wajahnya terlihat panik. "Jod ... tuh kan ... lo mimisan. Lo emang lagi nggak enak badan, kan?" "Cuma mimisan bisa!" Jodi beranjak cepat, masih dengan menutup hidungnya dengan tangan. Tetes darah merembes dari celah-celah jemarinya. *** Selesai membersihkan sisa darah dan memastikan tak ada lagi yang keluar Jodi memperhatikan wajahnya sendiri di cermin. Wajah seseorang yang kesepian. Selalu kesepian. Semua ini berawal dari kematian Aldi, kakanya. Sepotong demi sepotong flashback dari kematian Aldi muncul.  "Hahaha, kejar gue kalo bisa!" teriak Aldi yang memang sudah jauh meninggalkan Jodi. "Jiah ... lo pikir gue nggak bisa apa?" jawab Jodi dari kejauhan sambil terus mengayuh low raider-nya. Dua saudara kembar itu terus mengayuh sepeda mereka sambil terus bercanda. Mereka memang sering melakukan ini jika liburan ke villa mereka di Malang. Jalanan di sini mulus, sehingga asik untuk dibuat balapan sepeda di sore hari.  Sore itu memang sedikit mendung, tapi tak menyurutkan niat mereka untuk meneruskan perjalanan sampai kembali lagi ke villa. Padahal tinggal menelepon orang tua mereka saja, pasti sudah langsung dijemput. Tapi mereka tidak mau, mereka terlalu bahagia akan kelulusan mereka. Jadi kebahagiaan itu akan lebih terasa jika dirayakan kan? Dan pastinya mereka sudah diterima di SMA terfavorit di Jawa Timur, tanpa tes. Selama asik mengayuh, rantai sepeda Jodi tiba-tiba putus. Dia segera berhenti karena tidak bisa jalan meski pun sudah dikayuh. Aldi yang sudah sedikit jauh memperhatikan adiknya. Karena terlalu focus dengan Jodi, Dia sama sekali tidak memperhatikan kondisi jalanan yang ada di depannya. Hingga akhirnya semua itu terjadi begitu saja. Ada sebuah truk bermuatan padi yang sudah penuh melaju dari arah selatan. Sementara di belakangnya ada mobil sedan yang melaju kencang. Karena truk tersebut terlalu besar, maka jalannya truk jadi lamban. Hal itu membuat pengendara sedan tidak sabar. Dia melempar stirnya ke kanan jalan. Tujuannya untuk menyalip. Tapi dia tidak melihat Aldi yang sedang berada di sana karena dia tertutupi oleh truk itu.  BRAKKK! Ingatan Jodi langsung kembali lagi ke masa sekarang saat mengingat hal itu. Napasnya terengah-engah. Tiba-tiba kepala Jodi terasa pusing. Hidungnya kembali berdarah. Kali lebih banyak dari sebelumnya. Tetes demi tetes semakin pekat mewarnai wastefel yang semula berwarna putih. Kepalanya semakin terasa sakit. Tangan Jodi berpegangan erat pada mulut wastafel. Tetes-tetes Darah itu tercecer ke seragamnya, ke mana-mana. Tak tahu mengapa, tiba-tiba kegelisahan yang teramat sangat menyerangnya. Kilas balik kematian Aldi kembali muncul. Terdengar teriakan Ayahnya,  "Aldi, Kenapa harus kamu?" Teriakan itu terdengar berulang-ulang. Terngiang-ngiang di telinga dan otak Jodi seperti kaset rusak. Jodi merasakan suara-suara itu perlahan semakin hilang. Semakin habis. Seiring dengan habisnya kesadarannya. Pandangannya mulai memudar. Seperti melihat cahaya putih yang sangat terang dan dengan segera berubah menjadi gelap. *** Faris mencibir-cibirkan bibirnya mengikuti gerak bibir Iput saat makan. Ternyata tambahan makanan Jodi tadi belum cukup mengisi perut Iput. Dia masih memesan sepiring nasi goreng lagi. Melihat Iput makan begitu lahapnya, Faris geleng-geleng kepala. Pemandangan seperti itu setiap hari bisa dilihatnya. Tapi dia tak pernah berhenti heran. Ternyata ada manusia semengerikan itu. Sahabat karibnya pula. "Abis itu udah ya, Put!" "Kenapa sih? Gue masih laper!" "Si Jodi belum balik! Dia itu emang pesolek berat, tapi nggak biasanya kan dia ke kamar mandi sampe setengah jam lebih!" "Tapi dia kan tadi mimisan, wajar dong kalo lama!" "Iya. Tapi kenapa bersihin darah aja lama bener. Lagian kayaknya dia lagi sakit! Masa lo nggak perhatiin dia sih? Pucet banget mukanya." Iput seketika kehilangan nafsu makannya. "Iya, deh. Ini yang terakhir." Selesai, Iput segera membayar semua makanan-makanan yang tadi dipesannya. Mbak kantin pasti sumringah bila tiga bersahabat itu datang. Seperti mendapat rejeki durian runtuh. "Besok ke sini lagi ya, Mas!" "Siip, lah, mbak!" jawab Iput antusias. Faris tersenyum kecut saja. Selama menuju kamar mandi, mereka tetap berdebat tentang porsi makan Iput yang makin bertambah setiap harinya. Tapi Iput malah tersinggung. Dipukulnya kepala Fariz. Fariz juga tersinggung. Mereka sama-sama mengambil ancang-ancang untuk segera melawan.  Jika diilustrasikan, mungkin gaya mereka seperti adegan film-film comedy-action Asia Timur. Setelah sampai di posisi yang benar dengan kuda-kuda yang pas, Kemudian berteriak sekeras-kerasnya sambil berlari menghampiri lawan. Begitu mangap sampai memperlihatkan seluruh bagian gigi, gusi dan tekak. Bahkan tonsil mereka yang sedikit bengkak kanan dan kiri, juga terlihat. Kemudian berlari menghampiri lawan. Ketika tinjuan pertama akan melayang, HEY, KALIAN! Sebuah teriakan yang menggema di seluruh koridor muncul. Suaranya merambat berpusat dari depan kamar mandi putra merambat terus, terus, terus dan berakhir di Gerbang masuk utama.  Tanpa melihat, Iput dan Faris sudah tahu dengan pasti suara siapa itu. Dengan kompak, mereka menatap ke arah sumber suara tadi. Ekspresi muka mereka tidak karuan. Raut muka yang takut, menyesal, malu dan ingin pipis. Dengan kompak lagi mereka berseru, "Pak Irwan?!" "Iya saya. Kaget?" Pak Irwan menaikan kaca matanya yang melorot. "Kalian lagi, kalian lagi! Nggak kapok apa bapak hukum setiap hari?" Fariz memasang wajah tak berdosa dengan senyum sok ramah. "Eh, Bapak! Belom pulang, Pak?" Fariz sedang berusaha mengalihkan topik, supaya jauh-jauh dari hukuman. "Kamu nggak lihat bapak masih di sini? Kamu pikir saya ini hantu?" teriak Pak Irwan dengan suara tiga oktaf. "Saya jelas-jelas masih di sini. Itu artinya bapak belum pulang! Seharusnya bapak yang Tanya. Kenapa kalian masih di sini?" Kali ini giliran Iput yang mencari alasan. "Ini juga udah mau pulang, Pak. Mau nyamperin Jodi dulu!" Mendengar nama Jodi, air muka pak Irwan berubah. Seperti mendapat jawaban dari sebuah soal fisika yang begitu rumit. Iput langsung membungkam mulutnya sendiri saat menyadari bahwa perkataannya tadi salah besar. Kenapa harus menyebut nama Jodi? Wah bisa panjang urusannya. Dan Fariz juga geram gara-gara hal itu. Matanya segera memelototi Iput. Seperti biasa, Bila sudah mendengar kata Jodi apalagi melihat wujudnya, maka tak ada hal lain yang akan diperhatikannya. Perhatiannya akan tertuju hanya pada Jodi seorang. Itu dia yang membuat Iput dan Fariz tak jadi dihukum.  "Oo, iya! Mana yang satu itu?" tanya pak Irwan dengan nada nyeleneh. Seperti mengejek tapi marah. "Di kamar mandi, Pak!" Iput menunjuk pintu kamar mandi di depannya. "Ya udah. Habis ini suruh dia temui Saya di UKS. Ada yang mau saya omongin sama dia. Dan kalian cepetan pulang atau kalian bakal hu - ...." Belum selesai pak Irwan berbicara, sekali lagi dengan kompaknya, Iput dan Fariz menyahut. "Hukum kita kan, Pak?" celetuk Iput. Wajahnya itu berekspresi sangat bangga. Seperti baru memecahkan soal yang selama ini belum berhasil dipecahkan Einstein. Padahal hanya hal sepele yang klise sekali. Anak play group saja juga bisa langsung menyahutnya di luar kepala. Pak Irwan jengkel sekali. Tangannya sudah gemas ingin meremas pipi Iput yang sebesar bakpaw. Tapi dia mengurungkan niat, karena takut tekanan darahnya naik, dan mengalami stroke di usia yang terlalu muda. Selama ini dia menginginkan untuk menikah dini, bukan stroke dini. Dengan segera dia berbalik arah dan pergi. "Alhamdulillah ... selamet ... selamet ...." Fariz mengusap;usap dadanya lega. "Lagian kenapa masih di sekolah sih Pak Irwan, rajin amat." Iput mengangkat bahu. "Mana gue tahu. Lagi mau kencan sama penunggu sekolah kali!" Seketika dua remaja itu tertawa terbahak bersama-sama. Mereka pun kemudian lanjut melakukan apa yang tadi hendak mereka lakukan. Yang terpaksa tertunda karena kedatangan Pak Irwan. Fariz membuka pintu kamar mandi. Tapi apa yang ia dapati begitu melihat ke dalam sana. Membuat jantungnya terpacu untuk berdetak makin cepat. "JODI!" teriak Fariz. Betapa kagetnya dia melihat tubuh Jodi tergeletak di lantai berdarah-darah.  Iput di belakangnya tak kalah terkejut mengetahui hal itu.  "Astaga ... Jodi ... k-kenapa ...." Iput sampai tak bisa berkata-kata saking kagetnya Fariz pun langsung teringat dengan Pak Irwan yang masih berada di sekolah. "Put, Pak Irwan. Panggilin pak Irwan! Belom jauh dia!" Fariz yang khawatir dan tak tahu harus berbuat apa, menyuruh Iput untuk memanggil Pak Irwan. Tanpa banyak komentar lagi, Iput segera melakukannya. Sementara itu Fariz tetap bersama Jodi.  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN