Giana terdiam di dalam mobil ketika sudah sampai di depan rumahnya. Ia tidak mengizinkan Indra mengantarkan pulang karena belum siap mengatakan pada Maria tentang kemunculan mantan pacarnya. Indra tidak memaksa dan mengantarkan Giana kembali ke toko untuk mengambil mobil. Ketika sudah sampai di depan rumah, Giana justru diam saja.
Apa yang diceritakan oleh Indra membuatnya berpikir keras. Ia tidak menyangka ibu dari pria yang sempat ia lihat di mall ternyata telah tiada. Walaupun hubungannya tidak baik tapi Giana tidak pernah membenci wanita itu. Bagaimanapun, seorang ibu pasti menginginkan yang terbaik untuk putranya dan mungkin dirinya bukan yang terbaik untuk Indra.
Giana menjatuhkan kepalanya di atas setir mobil, menunduk dengan lemah, sambil mengerang pelan. Ia bingung harus bagaimana bersikap pada Indra. Andai saja sejak pria itu muncul ia langsung menolak, pasti ia tidak akan terlibat dalam perasaan rumit ini.
“Giana Giana, salah sendiri dan sekarang tanggung akibatnya.” Gerutu Giana pada dirinya sendiri.
Tokk Tokk!
Suara ketukan pada kaca mobil membuat Giana terkesiap. Ia bahkan melonjak terkejut ketika dari luar kaca mobilnya diketuk oleh orang yang tidak jelas. Ragu-ragu Giana membuka kaca mobil lalu melihat Erlan tengah berdiri di hadapannya.
Giana mendesah lega saat tahu orang itu bukan penjahat. “Kamu bikin aku kaget.”
“Kamu kenapa?” tanya Erlan.
“Kenapa apanya?”
“Kamu diam di sini hampir sepuluh menit, aku kira kamu kenapa-kenapa.”
Alis Giana tertaut sambil menatap Erlan curiga. “Kok kamu tau aku di sini?”
“Tadi aku ke balkon dan liat mobil kamu parkir di sini. Aku kira kamu mau buka pagar, taunya malam diem.”
Giana menggaruk kepalanya karena membuat Erlan berpikir yang tidak-tidak. “Sori, tadi agak capek terus males turun dari mobil.”
“Ya sudah, mana kuncinya? Biar aku bantu buka pagarnya.”
Wanita itu melihat jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam dan artinya pintu pagar belum dikunci.
“Kayaknya pintu pagarnya belum dikunci sama Mama.”
Erlan mengangguk. “Ya sudah, aku buka sekarang.”
Giana menatap Erlan yang berlalu dari hadapannya. Pria itu datang disaat tidak terduga, padahal ia selalu bersikap ketus padanya. Begitu gerbang dibuka, Giana kembali menyalakan mobil lalu membawanya masuk ke garasi rumahnya. Setelah beres, Giana turun dari mobil lalu menghampiri Erlan.
“Makasih ya. Harusnya kamu nggak usah repot nyusul ke sini.” Ucap Giana pada Erlan.
Erlan tersenyum, tapi senyumnya terlihat lelah. “Nggak apa-apa, aku cuma khawatir sama kamu. Lembur lagi?”
“Nggak kok, aku ada urusan sebentar jadi pulang agak malam,” jawabnya. “Kayaknya kamu capek banget ya. Mukanya lemes begitu?”
“Hhmm, ada acara besar jadi aku fokus sama kerjaan itu.”
“Anak artis sama anak pejabat itu ya?”
Erlan mengangguk. “Iya, aku agak takut kalau lepas tangan sama tim, jadi aku ikut mengawasi di lapangan.”
“Ya sudah, mending kamu istirahat.”
“Aku balik ya, kamu juga istirahat. Jangan begadang, nggak kasian sama kulit diajak begadang terus.”
“Kok kamu tau?” tanya Giana curiga.
Tangan kanan Erlan terulur, lalu mengusap lembut kepala Giana. “Lampu kamar kamu nyala dan aku liat dari balkon.”
Giana tidak kaget lagi dengan sikap Erlan yang tiba-tiba menyentuh kepalanya, mau protes juga percuma. “Kamu nggak tidur?”
“Aku cari angin karena susah tidur. Ya sudah, aku pulang ya. Salam sama Tante Maria.”
“Iya, nanti aku sampaikan. Mama juga nanyain kamu, katanya lama nggak pernah liat kamu.”
“Kapan-kapan aku ke rumah buat ketemu sama Tante Maria.”
Giana tersenyum, “Jangan memaksakan diri. Kalau sibuk, ada waktu luang mending dipakai untuk istirahat.”
“Iya, terima kasih untuk perhatiannya.”
“Jangan geer. Udah balik sana.”
Erlan hanya bisa tersenyum sambil menggeleng karena selalu takjub dengan sikap Giana yang sangat ajaib.
***
Suasana sore di Giana Cake and Pastry nampak ramai. Bahkan beberapa cake dan pastry sudah habis terjual dan Giana sampai kewalahan untuk membuat. Ini bukan kali pertama, tapi tetap saja situasi seperti ini membuatnya degdegan. Tinggal beberapa adonan yang harus masuk ke dalam oven setelah itu Giana harus close order.
“Gila, hari ini semua hampir ludes, Mbak.” Ucap Bayu yang nampak kelelahan.
Giana mengusap keringat yang mulai menetas. “Iya, ada acara apa sih kok tumben ramenya nggak putus-putus. Rezeki dari Tuhan nih, walaupun capek harus bersyukur.”
“Benar sekali, Mbak.”
“Mbak Gi, close ya?” tanya Sisi yang bertugas melayani pembeli.
“Iya close aja, aku nggak kuat. Yang masih aku panggang, kita buat untuk besok saja. Arfa, Dikki, aman kan?”
Dua karyawan pembuat pastry mengacungkan jempul tangan ke arah Giana. “Aman, Mbak. Stok besok juga sudah ada jadi tenang saja.”
“Good job semuanya!” seru Giana bangga. “Kalian memang tim the best-ku.”
“Mbak Giana, bos terbaik kami.” Sahut karyawannya.
“Mbak Giana istirahat duluan, sisanya biar saya yang urus. Saya nggak mau Mbak Gi kelelahan dan sakit. Bagaimanapun, saya kan digaji di sini jadi biar saya yang urus sisa adonannya.”
Giana menatap haru pada Bayu. “Kamu baik sekali. Tau aja pinggangku encok karena kelamaan berdiri. Ya sudah, aku keluar duluan ya. Kalau sudah beres, kalian istirahat aja.”
“Siap Mbak Gi!” sahut ketiganya.
Wanita dengan wajah lelah namun tetap cantik itu, keluar dari lokasi pertempuran dan berniat untuk ke ruangannya dan beristirahat. Ia sudah membayangkan kasur empuk di rumahnya, tidur sampai puas.
“Mbak Gi, ada tamu.” Sisi datang menghampiri Giana.
“Siapa?”
“Mas Flowers yang cakep itu,” jawab Sisi dengan wajah berseri-seri.
Giana mendesah lelah ketika tahu siapa yang mencarinya. “Bilang aku capek, dan nggak mau diganggu.”
“Tapi Mbak, Mas Flowers datang sama wanita yang dipanggil Mama sama Mas Flowers.”
“Hah? Ada Tante Eva? Jadi yang nyariin aku adalah Tante Eva?” Giana terkejut
Sisi memasang raut wajah bingung. “Mbak, saya nggak tau nama ibunya Mas Flowers.”
“Sori sori, ya sudah bilang kalau sebentar lagi aku ke sana.”
“Siap Mbak.”
Giana segera menyisir rambutnya, melihat wajahnya sendiri apakah masih ada sisa tepung atau adonan yang menempel. Setelah semua dirasa sudah beres, Giana segera menghampiri Erlan dan Eva.
“Selamat sore Tante,” sapa Giana ramah, sambil memberi salam pada wanita paruh baya yang nampak masih cantik. “Bagaimana kabarnya?”
“Halo sayang, kabar Tante baik. Tante ganggu ya?”
Giana menggeleng. “Nggak kok Tante. Kebetulan Giana baru istirahat. Tante kapan datang dari Bandung?”
“Tadi siang, terus ke kantornya Erlan dulu.”
“Sama Om Rudi?”
“Iya, tapi sudah ke rumah Regina. Tante sama Erlan nyusul, soalnya mau mampir ke sini dulu.”
“Ya ampun, seneng banget Tante mau mampir ke sini. Tante mau kue apa, biar Giana ambilkan. Tapi maaf, kuenya nggak lengkap karena tadi banyak yang terjual.”
“Nggak apa-apa. Tante mau beli untuk Ariel, Om juga kangen kue dari kamu jadi sekalian saja Tante ke sini.”
Melihat interaksi antara Giana dan Eva, membuat satu orang merasa diacuhkan. Keberadaan Erlan seakan tidak dianggap oleh Giana. Bukannya kesal, justru ia senang melihat keakraban ibunya dengan Giana. Bukan hanya Erlan, para karyawan juga menatap takjub dengan kedekatan yang sangat natural antara Giana dengan Eva.
“Mas Flowers dicuekin sama Mbak Gi, ya?” Sisi berbisik pada Erlan. “Nggak boleh marah, artinya Mbak Gi udah klop sama calon mertuanya.”
Erlan tersenyum canggung pada karyawan Giana. “Kalian salah paham. Saya nggak ada hubungan sama Giana.”
“Yakin nggak tertarik sama atasan saya?” kini Riska ikut menimpali. “Awas nyesel lho kalau sampai ditikung sama cowok lain.”
“Kalian ada-ada saja.” Erlan memilih meninggalkan Sisi dan Riska karena dua wanita itu seperti seles yang sedang menawarkan produk kepadanya.
“Makasih banyak Nak Giana, Tante jadi nggak enak kalau dikasih diskon seperti ini. Kamu kan jualan, masa Tante bayarnya cuma-cuma.”
“Nggak apa-apa, Tante. Jarang kan ketemu sama Tante Eva, jadi jangan terlalu dipikirin. Lagian Giana mau kasih gartis pasti Tante nggak mau kan, jadi Giana kasih diskon aja.”
Eva menyikut pinggang Erlan yang berdiri di sebelahnya. “Sekarang kamu sudah tau mana wanita baik-baik dan sopan? Berhenti main-main sebelum kamu menyesal.”
Erlan mengusap tengkuknya karena mendapat sindiran langsung di hadapan Giana. “Mama apa sih. Sudah beres kan, ayo pulang.”
Giana menatap Erlan dengan tatapan tajam. “Giana titip salam sama Om Rudi dan yang lain ya, Tante.”
“Iya sayang, nanti Tante sampaikan. Tante juga titip salam sama Mama kamu. Maaf kalau Tante nggak bisa mampir ke rumah soalnya besok sudah balik ke Bandung.”
“Giana sampaikan dan Mama pasti ngerti.”
“Ya sudah Tante pergi ya, sayang,” ucap Eva sambil memeluk Giana lembut. “Semoga toko kamu semakin sukses ya. Satu lagi, maklumin sikap Erlan yang kadang seperti anak kecil ya. Sebenarnya dia anak yang baik dan pengertian. Semoga masih ada tempat di hati kamu untuk anak ganteng Tante.”
Giana meringis canggung dengan pernyataan Eva. “Iya Tante, Giana ngerti.”
Erlan menyentuh lengan Giana, lalu berbisik. “Aku pulang ya, makasih sudah bersikap baik sama Mama. Satu lagi, maaf kalau Mamaku agak berlebihan.”
“Iya, aku paham kok. Hati-hati di jalan dan tolong jangan ngebut” Ucap Giana lalu Erlan dan Eva berlalu dari hadapannya.
***
Hari yang melelahkan bagi Giana. Setelah kepulangan Eva dan Erlan, ia bahkan berbaring di ruang meeting karena di sana ada kursi panjang. Ponsel yang berdering pertanda pesan masuk, diabaikan sejak tadi. Saat ini, ia hanya butuh istirahat sebelum jam pulang tiba.
Puas membaringkan tubuh, Giana beranjak dari posisinya. Ia duduk sambil tangannya menggapai ponsel yang ada di atas meja. Perlahan tangannya mulai bergerak, membuka pesan masuk yang cukup banyak. Salah satu pengirim pesan adalah Indra. Pria itu memberi kabar kalau sedang dalam perjalanan menuju tokonya.
“Astaga, kok mendadak banget sih?” Giana panik.
Pesan itu dikirim lima belas menit yang lalu dan artinya sebentar lagi Indra datang jika tidak terjebak macet. Giana bergegas kembali ke ruangannya untuk sekadar merapikan pakaian dan make up.
“Kenapa aku harus centil sih saat tau Indra mau ke sini? Dasar Giana, hidupnya emang random banget.”
Baru saja Giana merapikan rambutnya, ponselnya kembali berdering. Indra sudah menghubunginya dan itu artinya pria itu sudah ada di depan toko. Giana sudah memberi tahu Indra agar tetap di mobil dan ia yang akan menghampiri. Hal ini dilakukan agar tidak timbul gosip mengenai dirinya, Indra dan Erlan.
“Ada apa kok kamu mendadak ke sini?” tanya Giana ketika masuk ke dalam mobil Indra.
Indra menatap Giana yang menghampirinya tanpa membawa tas. “Kamu nggak bawa tas?”
“Nggak, kenapa? Tasku ada di ruangan.”
“Kita nggak pergi?”
“Kamu mau ngajak aku pergi?”
Indra mengangguk. “Ada hal yang mau aku katakan sama kamu, makanya aku jemput ke sini.”
Tiba-tiba Giana dilanda rasa yang cukup mengganggu perasaannya. Ajakan Indra pasti berhubungan dengan pembahasan beberapa waktu lalu ketika pria ini mengatakan tidak bisa melupakan dirinya.
“Kita bicara di sini saja. Kebetulan hari ini capek banget, banyak kerjaan.”
Indra nampak keberatan. “Tapi yang aku omongin hal yang penting, Giana. Masa harus di mobil, nggak nyaman banget.”
“Indra, aku nggak bisa pergi jadi tolong hargai pendapatku.”
Pria itu mendesah pelah, menyerah jika Giana sudah tegas dengan pendiriannya. “Baiklah, aku bicara di sini saja.”
“Aku dengerin kok.”
“Giana, ini berhubungan dengan pembicaraan kita sebelumnya. Sejak aku kembali ke kehidupan kamu, komunikasi kita cukup lancar dan hal itu membuat aku punya keyakinan untuk mengatakan ini. Izinkan aku untuk memulai lagi dengan kamu, Giana. Izinkan aku membayar dua tahun yang mungkin sudah menyakiti perasaan kamu. Aku mau kita memulai hubungan yang sempat putus karena keinginan Mamaku. Aku nggak bisa tanpa kamu dan aku harap kamu bisa kasih aku kesempatan.”
Penjelasan Indra membuat Giana merinding. Bukannya terlalu percaya diri, tapi ia sudah bisa membaca gelagat Indra karena ia tahu betul siapa pria di sebelahnya. Indra adalah pria yang selalu ingin hubungan yang jelas. Pria itu tidak ingin membuang-buang waktu dalam berhubungan.
“Indra, ini terlalu mendadak dan aku belum bisa. Saat ini aku hanya bisa menjanjikan sebuah pertemanan sama kamu. Kita jalani ini selayaknya teman, karena kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi di depan. Kita jalani hubungan ini sebagai taman tapi tanpa rasa lebih. Atau kalau kamu keberatan, lebih baik kita kembali seperti dulu, hidup masing-masing tanpa saling peduli.”
Indra menggenggam tangan Giana dengan lembut. “Oke, aku sadar kalau semuanya terlalu cepat karena aku nggak mau dianggap datang lalu memberi harapan jadi aku ingin kamu tau tujuanku yang sebenarnya. Baiklah, kalau itu yang kamu mau, aku akan turuti. Tapi tolong, jangan tutup hati kamu, biarkan aku mencoba mengisi kekosongan itu kembali.”
Giana mengangguk ragu. “Aku nggak menjanjikan apapun, Ndra. Kita jalani semuanya dengan baik tanpa saling menyakiti.”