1. TRAGEDI BRODY
Langkah Giana sedikit malas menuju area dapur. Ia masih ingin tidur hingga siang, menikmati hari liburnya yang hanya sehari dalam seminggu. Namun apa daya, entah sudah menjadi kutukan kalau libur akan bangun pagi dan saat bekerja pasti bangun siang. Dan ini menyebalkan baginya yang ingin santai.
“Makasih ya sayang sudah bawain cake yang Mama minta.” Ucap Maria, ibu dari Giana.
Giana membuka lemari pendingin lalu mengambil s**u rasa cokelat kesukaannya. “Sama-sama, Ma. Buat siapa sih cake-nya?” Tanya Giana sambil menuang s**u ke dalam gelas berbentuk cembung besar.
“Buat tetangga sebelah di rumah Tante Astri. Sekalian Mama minta tolong bawakan ya, katanya mau dipakai acara syukuran.”
“Ma, ayolah jangan Giana. Aku males banget mandi dan ini hari libur.”
“Ya sudah nggak usah mandi, kan cuma bawa cake pesanan saja.”
Hilang sudah nafsu Giana meneguk s**u cokelat kesukaannya. Kalau Mamanya sudah bicara maka tidak ada yang bisa membantah, termasuk Giana yang hanya tinggal bersama Maria. Giana anak tunggal dan ayahnya pergi bersama wanita lain sejak Giana masih duduk di bangku SMP.
Giana Pramesti Adeena berusia 27 tahun, gadis tomboy dengan pekerjaan yang cukup feminin yaitu membuat wedding cake atau cake designer. Ia memiliki toko kue bernama Giana Cake dan sudah terkenal di kalangan para wedding organizer selain hasil karyanya yang cantik tapi rasanya juga sangat enak. Sayang, ia sendiri harus gagal dalam menciptakan wedding cake untuknya sendiri karena hubungan dengan pacarnya kandas akibat tidak adanya restu. Giana yang berasal dari keluarga sederhana dan hanya bekerja sebagai pembuat kue ternyata menjadi faktor utama. Sejak dua tahun lalu Giana tidak pernah mau menjalin hubungan karena ia semakin tidak percaya dengan pernikahan padahal yang antri untuknya banyak. Selain itu, ayahnya juga memberi Giana trauma terhadap hubungan yang namanya membangun rumah tangga. Hatinya sudah tertutup dan tidak pernah terlintas lagi sebuah mimpi tentang pernikahan.
“Ya sudah Giana bawa sekarang saja,” ucapnya.
“Tapi kamu sisiran dulu dong, Giana. Rambut kusut begitu masa mau pergi. Dan baju kamu masa mau pakai piyama ke rumah tetangga.” Maria memperhatikan tampilan putrinya dari ujung kaki sampai rambut.
“Cuma bawa cake aja kan Ma, udah nggak perlu ganti baju. Emang mau ketemu jodoh apa sampai harus dandan.”
“Siapa tahu pagi ini jodoh kamu datang,” goda Maria yang hampir menyerah meyakinkan putrinya untuk menikah.
“Nggak ada yang begitu-begitu, Ma.”
Giana menyambar box cake potong yang ia buat semalam di toko kuenya. Ada dua box yang ia bawa dengan kedua tangannya. Ia berjalan keluar dari halaman rumah lalu menuju rumah berwarna putih tepat di sebelahnya. Rumah dua lantai dengan model minimalis yang nampak asri dengan kebun tertata rapi. Giana memang jarang berinteraksi dengan tetangganya karena segudang kesibukan tapi ia tahu kalau yang tinggal di sebelehnya adalah wanita paruh baya bernama Astri bersama suaminya yang seorang pekerja BUMN.
Setelah sampai di depan gerbang, Giana memencet bel yang ada di sana. Beberapa kali ia melakukan tapi tidak mendapat jawaban. Giana memutuskan untuk membuka gerbang yang tidak terkunci dan masuk dengan perlahan.
“Permisi, Tante Astri ini Giana mau bawa cake pesanan Tante,” ucap Giana berharap si empunya rumah mendengar.
Karena tidak hati-hati, kaki Giana hampir terpeleset hingga membuatnya kaget serta takut jika cake yang dibawa terguncang.
“Astaga licin amat sih ini jalan,” nampak lumut yang sudah mulai tumbuh akibat memasuki musim hujan.
Untuk memastikan cake yang dibawa tidak rusak, Giana membuka box tesebut dengan hati-hati. Keterkejutan Giana belum selesai sampai disitu. Tiba-tiba dari arah dalam muncul seekor anjing jenis golden berlari ke arah Giana lalu menerjang box yang Giana bawa. Tidak bisa dihindari lagi, cake potong itu berhamburan ke arah wajah Giana dan sisanya jatuh tidak terselamatkan.
Giana berteriak karena ia ketakutan setengah mati. Mau lari tidak bisa karena anjing tersebut terus menggonggong tanpa ampun. Giana berusaha membersihkan cake yang memenuhi wajahnya agar bisa melihat sekeliling.
“Brody, jangan nakal.” Teriak seorang wanita dari arah dalam. “Ya ampun, kamu nggak apa-apa?”
“Tante Astri sejak kapan punya anjing?” tanya Giana disela-sela membersihkan wajahnya.
“Sebaiknya kamu masuk dulu ya, kita bersihkan di dalam.”
Giana mulai menyadari kalau yang bicara dengannya bukan Astri karena suaranya berbeda dan samar-samar ia melihat wajah yang berbeda.
“Ariel, panggil Brody dan bawa masuk. Anjíng kamu ini bikin masalah, Nena marah sama Brody.” Teriak wanita yang menyebut dirinya Nena.
Tidak lama keluar seorang bocah yang diperkirakan berusia 10 tahun.
“Ya ampun, ada apa Nena?” Ariel nampak sangat terkejut melihat kekacauan yang terjadi.
“Bawa Brody masuk, cepat!” Titah wanita itu.
“Iya Nena..”
“Tante saya permisi dulu. Sebentar lagi saya ke sini setelah membersihkan wajah saya. Untuk cake-nya saya pasti akan bertanggung jawab.”
“Ada apa?” suara berat dari seorang pria datang dari arah pintu.
“Erlan, kenapa kamu nggak ikat Brody? Lihat sekarang dia malah bikin kekecauan. Untung saja Nak Giana nggak kenapa-kenapa.”
Giana merasa terkejut kenapa wanita ini tahu namanya padahal ia baru pertama kali bertemu. Tapi saat ini itu bukan hal penting karena rasa malunya sudah tidak bisa ditahan dan kini kabur adalah jalan ninjanya.
“Tante saya pulang dulu ya, nanti saya ke sini lagi untuk mempertanggung jawabkan semuanya,” tanpa persetujuan Giana mengambil langkah seribu untuk pergi.
Erlan melihat Giana pergi dengan kondisi menyedihkan hampir tidak bisa menahan tawanya. Apalagi rambut berantakan dan mengenakan piyama Doraemon yang begitu nampak konyol bagi Erlan.
“Siapa sih, Ma?”
“Itu Giana, rumahnya tepat di sebelah rumah ini. Mama pesan cake untuk tamu yang mungkin datang ke sini. Dan kamu lihat sekarang, gara-gara Ariel ngotot ngajak Brody sekarang dia bikin kekacauan.”
Giana masuk dengan tergesa-gesa karena tidak mau ada yang melihatnya. Sungguh apes nasib Giana hari ini, libur yang tenang terpaksa berganti kekacauan karena ulah anjing bernama Brody. Belum lagi ia malu karena panampilannya yang sangat kacau.
“Astaga, Giana? Kamu kenapa?” Tanya Maria.
“Ma, nanyanya nanti aja,” jawab Giana sambil melangkah ke tangga untuk menuju kamar miliknya.
Setelah selesai membersihkan diri dengan mandi besar, Giana mengenakan pakaian santai yaitu kaos berwarna peach dengan ukuran big zise serta celana jeans selutut. Ia harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukan terhadap cake pesanan tetangga barunya.
“Mama juga sih yang salah, masa nggak bilang kalau di sebelah ada tetangga baru.” Gerutunya saat menuruni anak tangga.
“Ma, aku mau kese…be..lah. Tante?” Giana terkejut melihat siapa yang kini duduk di ruang tamu bersama dengan Maria.
“Giana, sini. Tante Eva nunggu kamu dari tadi.” Maria nampak antusias dengan tamunya yang tidak lain adalah tetangga baru.
Giana duduk di sebelah Maria dengan perasaan malu mengingat apa yang terjadi barusan.
“Hali Giana. Perkenalkan, saya Eva dan ini Ariel cucu Tante dari anak pertama. Dan yang ini Erlan, anak Tante nomor dua.”
“Giana..” balasnya.
“Ariel kamu minta maaf dulu sama Tante Giana,”
“Tante, Giana. Aku minta maaf ya karena Brody bikin cake yang Tante bawa rusak dan Tante jadi belepotan cake.”
“Iya, nggak apa-apa kok. Salahku juga masuk rumah sembarangan. Maaf ya Tante, saya kurang sopan karena masuk tanpa permisi. Saya pikir yang tinggal di sana Tante Astri ternyata bukan.”
“Tante Astri itu saudara saya. Jadi adik saya pindah ke Bandung karena suaminya sudah pensiun. Nah kebetulan Erlan selama ini tinggal di apartemen dan Tantenya minta Erlan tinggal di sini saja,” jelas Eva.
Giana melirik Erlan yang sejak tadi santai dengan ponselnya tanpa peduli dengan percakapan yang terjadi. Melihat hal itu Giana yakin pria yang nampak lebih muda darinya ini tidak tahu sopan santun.
“Oh begitu, nanti cake-nya saya ganti ya Tante. Sebentar lagi saya akan pergi ke toko dan buat lagi.”
“Tidak usah Giana, ini bukan salah kamu. Nanti Tante pakai kue yang ada saja.”
“Tapi Tante…”
“Maria, besok malam main ke rumah ya. Ajak Giana, anggap ini sebagai tanda perkenalan sebagai tetangga baru. Aku juga mau minta tolong titip Erlan karena lusa aku sama suami balik ke Bandung.”
“Iya Mbak, tenang saja. Nanti Erlan kalau ada perlu apa bisa cari Tante di sini. Atau bisa hubungi Giana juga.”
Mendengar namanya di sebut membuat mata Giana membulat.
“Hah? Mama apaan sih, kenal juga baru dan orangnya sama sekali nggak ada antusiasnya. Masa menawarkan bantuan segala, ya kali aku nggak punya kerjaan. Ogah deh.” Giana membatin.
Setelah basa basi singkat dengan tetangga baru, Giana segera mengganti pakaian karena akan mengambil cake di toko yang kini dijaga oleh asistennya. Ia tidak mungkin tidak mengganti cake yang jadi pesanan oleh Eva walaupun wanita yang ternyata sudah memiliki cucu itu menolak untuk diganti.
“Ma, aku mau ke toko dulu ya.”
“Lho katanya libur, ada masalah?”
“Nggak, ada perlu sebentar nanti aku langsung pulang.”
“Ya sudah hati-hati.”
“Iya, Ma..”
“Eh Giana, tunggu.”
Gaina langsung menarik rem mendadak akibat interupsi dari Maria, “Apa lagi sih, Ma?”
Maria mendekati putrinya, “Anaknya Tante Eva ganteng kan? Manis lagi walaupun pendiam.”
Giana memutar bola matanya karena Mamanya membahas sesuatu yang tidak penting baginya, “Ma, please deh. Itu bukan hal penting bagi Giana. Mama nggak lihat sikapnya nggak sopan begitu. Diajak ngomong malam sibuk main hp.”
“Nggak apa-apa Giana. Kan belum akrab jadi dia pendiam. Tapi Mama kok lihat Erlan itu cool ya,”
Giana menepuk kening dengan tangannya, “Astaga Mama, ingat sudah tua masih juga ganjen.”
Mendengar ucapan Giana, tangan Maria melayang bebas menoyor kepala putrinya, “Dasar anak gendeng. Jangan sembarangan ngomong. Mama ini mau nyodorin Erlan buat kamu bukan buat Mama, Giana.”
Desahan napas kasar keluar dari bibir Giana, “Ma, nggak ada istilah begituan ya. Giana nggak tertarik berurusan sama cowok apalagi Mama berniat jodohin Giana sama cowok itu. No way, Mama!” ucap Giana kemudian berlalu dari hadapan Maria.