Setelah menunjukkan jawaban kepada sang putri, tampak keduanya tertawa cekikikan, mereka lalu meninggalkan lokasi dan menaiki mobil menuju rumah.
“Iya Ma. Selesai interview Sya akan ke rumah…” jawab Sasya melalui pesan singkat, dan di balas dengan tawa menggelegar kedua wanita itu.
“Mam, Sasya itu kayaknya beneran bohong dech. Kalau emang beneran dia interview pasti dia bakal kesulitan buat balik. Karena kemungkinan tempat tinggalnya ini deket dengan area kantor yang tengah dia masukin lamarah pekerjaan. Tapi, kalau gini ceritanya, dia pasti ga lagi interview, udah ketebak pemalasnya tu bocah…” ucap Nissa di balas anggukan sang ibu.
Sesampainya di rumah, mereka tampak sibuk membuka koper berisi uang miliaran rupiah dengan tawa menggelegar.
“Lihat-lihat…dengan ini, impian Mama ke Eropa akhirnya terkabul, ternyata kita bisa menghasilkan uang dengan cepat dan mudah. Tanpa harus kerja keras, berkeringat,berpanas. Kamu emang anak paling jempolan. Ayoo kita atur se-segera mungkin ke Eropa…” ucap sang ibu antusias.
“Ajakin papa sama Denis gak mam?” tanya Nissa dengan senyum merekah.
“Ohhh…no-no…mereka akan curiga kalau misalnya ramai-ramai ke Eropa. Logikanya kalau nak Farhan biayai, paling banter berdua. Kecuali kamu sudah menikah, ini masih calon…bisa bahaya. Mending kita berdua saja yang pergi…”
“Terserah mama aja, yang penting bagi Nissa mama itu senyum gini, sejujurnya kalau mama itu senyum gini, mama kelihatan banget cantiknya loh…”
Sontak kalimat sakti bak mantera itu membuat sang ibu senang, lalu dia mencubit pipi sang putri dengan gemas. “Duh!! Anak mama ini sejak kapan jadi penggombal. Kamu ada kaca gak?” tanya sang ibu tiba-tiba hingga membuat Nissa menatap bingung lalu menggeleng.
“Kamu pikir, kecantikan kamu itu warisan dari siapa? Tentu saja mama dong…” jawab sang ibu dengan bangga nya.
“Ihhh…makasih mama terbaiknya Nissa, udah kasih Nissa wajah secantik ini. Sampai-sampai banyak orang yang iri dengan kecantikan Nissa, bahkan mereka selalu ngebandingin Nissa dan Sasya yang terlihat jauh berbeda. Nissa lebih seperti biadadari…”
Mereka kembali berpelukan manja. “Kamu ya jangan bandingin diri kamu sama anak itu, tidak bakal ada apa-apanya kalau dia itu di banding kamu, ibaratnya langit dan bumi…”
Nissa tersipu malu dengan pujian sang ibu padanya. “Mama bisa aja, dech. By the way si buruk rupa itu kenapa gak juga nongol, Ma? Kita punya deadline dari para pria itu bukan?”
Sang ibu menggenggam tangan putri cantiknya. “Tenang, waktu dua puluh empat jam yang mereka berikan, sudah ibu minta perpanjang menjadi satu minggu, ibumu ini memiliki otak brilliant, bukan Cuma ibu rumah tangga saja, tapi memikirkan segala hal. Jadi kamu jangan kawatir…”
“Syukurlah kalau emang begitu, Mam. Nissa takut saja upaya kita meraup uang sebanyak itu dengan cara yang mudah akan sia-sia dan hangus begitu saja…”
Sang ibu menaikian jari telunjuknya lalu menggoyangkan dengan perlahan.
“Ohh, tidak mungkin seperti itu, mama adalah orang yang sangat teliti dalam banyak hal…”
“Oke, Ma. Nissa peracaya sama mama, bahwa mama adalah yang terbaik yang bisa melakukan apapun demi kebahagiaan Nissa. Mama tiada tandingannya di dunia ini….”
Kembali mereka berdua tertawa lepas.
“Bahagia banget tawanya? Kenapa sih, bagi-bagi papa dong…” suara sang ayah membuat keduanya menoleh kearah belakang.
“Ini, loh Pa. anakmu Nissa mau ngajakin tour Eropa, Nak Farhan sudah ngurusin tiketnya, dalam rangka perayaan kelulusan nak Farhan jadi dokter spesialis bedah. Papa mau ikutan?” tanya sang istri menatap sang suami dan menyambut kedatanganna dengan pelukan hangat dan meraih tas kerja yang ada di jinjingan tangannnya.
“Eropa? Wahh akhirnya kamu bisa ke Eropa sayang? Keren banget Nak Farhan…” jawab sang suami membalas pelukan sang istri. “Tapi, namanya juga di bayarin, ya kayaknya gak mngkin bawa satu rombongan, bisa jadi nak Farhan itu Cuma mau rayain nya privat saja, mama sengaja di bawa, karena kalau pergi sendiri sudah pasti tidak di izinkan…”
Mereka hanya menganggukkan kepalanya, lalu saling menatap dengan seyum simpul.
“Papa kalau mau ikut, tinggal beli tiket sendiri aja, kalau Cuma buat satu orang tabungan kita pasti cukuplah…” ucap sang istri basa-basi, membuat sang suami tertawa.
“Melihat kalian bahagia saja papa sudah bahagia, kalau misalnya ajak mengajak, mending ajak Sasya kakakmu, Niss. Biar dia gak suntuk dan lebih semangat dalam mencari pekerjaan atau suami, biar bisa melihat indahnya dunia…” ucap sang ayah.
“Kalau kak Sasya mah tar aja sama suaminya, Pah. Toh calon suaminya sudah kami temukan, dia orang yang pasti tidak akan membuat kaka Sasya menderita dalam segi materi, dia pria kaya raya…” ucap Nissa membuat sang ayah menoleh dan antusias.
“Ehh, benarkah itu? Kalian sudah menemukan calon Sasya? Pria mana, putra siapa? Apakah dia dari keluarga baik-baik dan bertanggung jawab, karena Sasya harus menikah dengan pria yang benar-benar mencintainya dan dari keluarga baik-baik…” tegas sang ayah yang langsung di sahut oleh sang istri dengan tegas.
“Kamu, tidak usah kawatir tentang anak kamu itu, dia sudah mendapat calon terbaik dari yang terbaik, lihat saja nanti siapa calon besan kamu. Sampai detik itu tiba, bersabar saja, seperti katamu, Sayang. Bahwa kau akan mempercayakan semuanya pada kami. Kami sudah menyiapkan segalanya dengan baik, dengan mempertaruhkan seluruh usaha dan waktu kami, jadi tolong jangan anggap sepele…” tegas sang istri dengan sorot mata tajamnya.
“Oke, baiklah. Aku pasti percaya pada istri terbaikku terlebih ada campur tangan Nissa, anak papa gak mungkin ngecewain papa dong…”
Mendapat sodoran kalimat dari sang ayah, Nissa menimpali dengan antusias. “Tentu dong, Pa. Anak siapa dulu, Nissa sejak lahir itu adalah sumber kebahagiaan kalian berdua bukan? Jadi mana mungkin akan mengecewakan kalian berdua…”
“Papa percaya padamu Nak. Kau selalu membuktikan tiap omonganmu, sejak dulu. Kau adalah ornag yang sangat ambisius seperti mamamu, jadi papa memilih berdamai dan mempercayakan semuanya pada kalian. Tapi, sesegera mungkin kenalin calon mantu papa itu ke papa…”
Pria paruh baya itu menatap kearah kedua wanita dengan saling bergantian, dua wanita yang selalu menemani perjalanan hidupnya selama ini.
“Gimana mau di kenalin? Anakmu itu saja di suruh pulang banyak banget alesannya, yang katanya kudu inilah, kudu itulah, mau inilah, mau itulah. Giliran di suruh pulang malah alesan interview, durhaka banget emang dia jadi anak…” gerutunya kesal membuat pria paruh baya itu menghela nafas panjang.
“Nanti coba papa yang hubungi Sasya, sekarang papa mau ke kamar dulu, papa mau istrirahat sudah malem juga. Kalian jangan terlalu malem begadangnya…” ucap sang ayah akhirnya meninggalkan kedua wanita itu yang terdengar mereka kembali berbincang serius dengan sesekali di selingi tawa yang lepas, dan terdengar renyah di telinga.
Waktu terus berlalu, hingga akhirnya mereka kembali ke kamar masing-masing untuk tidur dan mengistirahatkan badan yang telah lelah seharian.
Hingga keesokan harinya, sepulang Nissa praktek dari rumah sakit, tampak sang ibu sudah menunggunya di teras rumah, dan menyambut kehadiran putri sulungnya.
“Anak mama cepet baliknya, kok sendirian, gak bareng Nak Farhan?” tanya sang ibu sembari membuka jas putih khas dokter yang membalut di tubuh sang putri.
“Ntah, mungkin Mas Farhan lagi sibuk di ruangan operasi, Mam. Dari tadi Nissa hubungi tapi gak di angkat, kesel banget dech pokoknya. Daripada uring-uringan di rumah sakit dan menyebabkan semua orang tahu tentang keretakan hubungan kami, mending Nissa balik dan ngobrol sama mama, lebih menenangkan banget…” ucapnya sembari menyandar di bahu sang ibu dengan manja.
“Jangan pernah menampakkan keretakan hubungan di depan siapapun, karena akan membuka peluang untuk orang masuk ke dalamnya dan memperburuk keadaan, tetap focus saja pada rencana pernikahanmu, nak Farhan itu adalah emas yang tidak boleh di sia-siakan, paham kamu?” tegas sang ibu, di balas anggukan perlahan oleh sang putri.
“Aman mah. Gak ada satu orangpun yang Nissa biarin buat dekatin mas Farhan, atau kesempatan kita untuk masuk ke keluarga konglomerat berantakan. Ingat ma, kita harus menaikkan level social kita di hadapan orang-orang, terlebih keluarga mama yang selalu jahat dan suka iri itu, pokoknya kita harus kuat dan bekerja sama demi status social yang tinggi…” tegas Nissa mendapat remasan tangan dari sang ibu menandakan sang ibu sangat mendukung ucapannya.
“Andai saja papamu masih menjadi orang kepercayaan konglomerat itu, pasti kita semua akan hidup bahagia, ini semua karena ulah anak sialan itu yang membuat papamu lupa diri, hanya karena sayang pada anak sial itu…” gumam sang ibu dengan mata merah menyala seolah membayangkan sesuatu yang membakar hati hingga jantungnya, urat-urat syarafnya di bagian wajah dan leher tampak menonjol.
“Maksud mama apa? Papa kenapa emang ma dulu?” tanya Nissa penasaran, dan kalimat sang putri membuat wanita paruh baya itu menutup bibirnya perlahan dengan mata terbelalak seolah dia telah mengucapkan satu kalimat terlarang.
“Tidak, Nak. Tidak. Anggap yang baru saja mama lontarkan itu adalah sebuah kesalahan. Ibu hanya berhalusinasi karena kita terlalu banyak uang. Jadi ibu suka ngelantur, lupakan ya?” tatapnya penuh rasa kawatir menoleh kearah sang anak. Ekspresi yang membuat Nissa justru semakin penasaran dengan kalimat sang ibu.
“Ada apa sih sebenarnya, Ma? Ayoo dong cerita ke Nissa, kenapa mama jadi merasa ketakutan gitu setelah ngucapin kalimat tadi, seolah rangkaian kalimat itu haram untuk di lontarkan apalagi orang lain tahu, ayoo dong Ma. Kita pecahkan bersama-sama setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya, oke Ma?” bujuk Nissa menatap sang ibu dengan penuh kasih.
“Sudah, Sayang. Kalau kita ingin hidup damai dan berjalan sesuai keinginan kita, maka abaikan kalimat mama tadi, oke?” tatapan tajam mata sang ibu membuat Nissa menganggukkan kepalanya. Meski rasa penasaran masih menghantuinya tapi dia akan bertanya nanti ketika ibunya telah siap untuk menceritakan semuanya. Dia kembali mengajak sang ibu untuk bersenda gurau
Dan mereka kembali tertawa cekikikan di teras rumah sembari menikmati buah yang ada di atas piring.
Bel pagar rumah berbunyi, menandakan ada yang sedang datang ke rumah itu.
“Siapa, Ma? Kenapa ada yang mencet bel? Gak mungkin Sasya balik ke rumah pakai mencet bel segala. Sok tamu banget dia? Apa mentang-mentang udah menghirup udara bebas di luaran dia menjadi sok jadi tamu? b******k banget!!” jawab Nissa mendengkus kesal