Sang ibu tampak berfikir sejenak, lalu dia menganggukkan kepalanya perlahan “Iya, ihh… aneh banget, siapa yak malem-malem gini? Atau pembantu lagi ada yang delivery food malem-malem gini? Yaudah, biarin mereka bukain pintu, palingan bentar lagi mereka di hubungin sama yang anter makanan…” jawab sang ibu akhirnya, yang juga di setujui sang putri.
“Iya, juga sih, Ma. Gak mungkin Sasya si buruk rupa tiba-tiba dating, lagian udah malem dia gak mungkin balik lah kalau udah jam segini mah. Lagi candu-candunya nikmati dunia luar kali dia…” cibir Nissa membuat sang ibu mendukung kalimat sang putri.
Tak lama kemudian, tampak sang pembantu berjalan mendekat kearah mereka dengan membawa sebuah amplop coklat dan menyodorkannya kepada sang majikan sembari menunduk hormat. “Maaf, Nyonya…Nona muda…ini ada kiriman paket, tidak ada nama yang di tuju, tapi setelah di periksa alamatnya benar di rumah ini…”
Menjadi pembantu di rumah Mardiana Maravis sungguh harus menggunakan tutur sapa ala-ala rumah konglomerat, karena wanita paruh baya itu memberikan peraturan kepada pembantu rumah tangga mengenai etika dan tata cara bekerja di rumah megah yang sengaja di kontrak olehnya itu.
“Kamu sudah bertanya kepada kurirnya?” tanya Mardiana lagi dengan tatapan tajam bak ingin menelan sang pembantu. Sang pembantu tampak menganggukkan kepala.
“Sudah, Nyonya. Kurirnya hanya memberikan ini lalu langsung pergi, karena dirinya juga tidak tahu siapa pengirimnya, dan si kurir langsung pergi, Nyonya…” jawab sang pembantu.
“Dasar BODOH! Susah kalau ngomong ama orang yang gak pernah makan bangku sekolah…” ucapnya dengan judes sembari melempar buah yang ada di dalam piring ke wajah sang pembantu yang tampak telah berumur sekitar empat puluh lima tahunaan itu. “Sudah, sana pergi! Jangan lupa matikan lampu yang tidak di pakai, jangan boros, paham?!”
“Paham, Nyonya…” sang pembantu lalu membungkuk dan berjalan mundur meninggalkan ibu dan anak yang sedang menatap amplop coklat di tangannya.
“Mam, buruan buka, itu apa isinya, jadi keppo. Siapa sebenernya yang kirimin paket dokumen ini, sok misterius banget, jangan bilang isinya Cek senilai ratusan juta…” ucap Nissa berteriak histeris dengan wajah bahagianya.
“Siapa yang mau kasih uang ratusan juta di zaman serba sulit begini, kita bisa membayar sewa rumah mewah ini saja sudah bersyukur banget…” jawab sang ibu dengan bibir mencibir.
“Ya kali, Mam. Yuk buka apaan sih isi amplop, Nissa keppo nih, Mam…”
Nissa langsung meraih amplop dan membukanya dengan mimik wajah tidak sabar, melihat ekspresi sang putri, membuat Mardiana merebut isi amplop dari tangan anaknya karena penasaran tanpa basa basi.
Dan matanya seketika terbelalak lebar, melihat isi amplop coklat itu yang ternyata sebuah foto dan kertas hvs putih bertintakan darah dengan tulisan menyeramkan.
“KALAU DALAM WAKTU TIGA HARI KAU TAK JUGA MEMBERIKAN PUTRIMU KEPADAKU, MAKA BIARKAN AKU MENGAMBILNYA SENDIRI DENGAN CARAKU”
Sontak tangan Mardiana menggigil melihat foto sang putri yang ada di gambar itu terlihat di sebuah perusahaan dengan baju seragam hitam putih rapi khas interview, yang lebih mengerikan lagi di foto milik Sasya yang di ambil secara candid itu di bagian wajahnya di tetesin darah segar, hingga yang terlihat hanya matanya.
Foto itu lepas dari tangan Mardiana Maravis dengan cepat jatuh ke lantai marmer, dan dengan rasa penasaran Nissa mengambil foto sembari berkata. “Mam…apa maksud semua ini? Apakah ini artinya mereka akan membunuh Sasya?” tanyanya dengan suara bergetar.
Jantung Mardiana bergemuruh, ada rasa senang sekaligus takut yang menyerang hatinya. Senang karena akhirnya Sasya berada di tangan yang tepat dan tidak mungkin bisa merusuhi putri kesayangannya, sehingga membuat putri kesayangannya akan tenang. Takut, karena jika terjadi sesuatu dengan Sasya sudah pasti sang suami akan bertanya kepadanya mengenai penyebab terjadinya musibah tersebut.
“Mama juga tidak tahu, Nak. Yang jelas kita harus tegaskan ke anak tidak tahu diri itu dulu untuk pulang besok apapun yang terjadi, jika perlu kita menjemputnya, pokoknya sebelum tiga hari dia harus menikah dengan pria yang sudah mengeluarkan uang miliaran rupiah hanya untuk membeli mahluk buruk rupa sepertinya…” jawab sang ibu dengan geram dan suara bergetar hebat.
“Iya, Mam. Jangan sampai kita kena getahnya, ingat mam, orang ini sepertinya cukup berbahaya, terlebih dia mengetahui alamat kita, padahal alamat kita adalah rumah kontrakan lama, dan sekarang dia tahu kita di sini, trus yang ajaibnya dia yang baru kenal Sasya dari foto pas SMA yang kita lelang, dia bisa mengetahui keberadaan Sasya dimana sekarang, dan dia bahkan lebih update dari pada kita, Mam…” gumam Nissa sembari menggigit kukunya menandakan dirinya sedang terserang panik, sesekali nafas panjang menghembus dari bibir mungil yang selalu terhias lipstick merah menyala di bibir itu.
“Itu yang terlintas dalam pikiran Mama, Nak. Bagaimana dia bisa tahu anak sialan itu dimana, dan alamat rumah kita. Sepertinya kita tidak sedang berhadapan dengan orang semabrangan. Kita harus lebih hati-hati. Kalau perlu kita segera pindah rumah, cari rumah yang memiliki keamanan ketat. Komplek perumahan mahal saja, daripada kita terancam…” ucap sang ibu dengan bibir bergetar.
Nissa menganggukkan kepalanya dan bergumam perlahan, “Sepertinya kali ini kita berhadapan dengan orang yang benar-benar berkuasa. Kalau gitu, kita harus bergegas Ma. Jangan terlalu santai terhadap si buruk rupa itu…” ucap Nissa.
“Tenang, sekarang kamu tidur dulu, Mama akan telpon anak sialan itu…” jawabnya sembari meraih ponselnya dan menekan nomor ponsel putrinya. Tak lama kemudian dia panggilan itu tersambung.
“Halo! Kenapa kau tak jadi pulang? Udah mau jadi anak DURHAKA?!” hardik sang ibu, membuat Nissa menoleh dan tersenyum lalu mengacungkan ibu jarinya, dan memberi kode kepada sang ibu untuk speaker phone panggilan tersebut.
Setelah menyadari kode dari sang anak, sontak Mardiana mengubah mode panggilan ke speaker mode.
“Bukan gitu, Ma. Kebetulan tadi Sasya selesai interviewnya terlalu sore, jadi Sasya kehabisan bis kota, karena emang jam pulang kerja, jadi Sasya kudu jalan dulu ke halte lain, ini baru sampai kost kok Ma…” jawab sang anak dari seberang dengan suara sedikit sayu.
“Yasudah, kamu besok masih interview tidak?” tanya sang ibu dengan ketus.
“Masih, Ma. Untuk seleksi tahap selanjutnya, karena emang ada beberapa tahapan. Kebetulan perusahaan yang Sasya masukin ini perusahaan bonafide, sekelas Twin Tower Sutani Group…” jawab Sasya dengan suara antusias, seolah dia sangat bangga sudah sampai di tahap seleksi ini untuk perusahaan sebesar itu.
“Baru juga interview sudah sombong kamu, yasudah kamu besok wajib pulang kerumah, apapun ceritanya, papamu mau ketemu…” jawab sang ibu dengan tegas.
“Papa kenapa, Ma?” tanya Sasya kawatir dengan sang ayah.
“Makanya pulang, dan lihat sendiri apa yang terjadi, jangan menikmati kepergian begitu saja, dasar anak tidak tahu di untung…” gerutu sang ibu.
“Baik, Ma. Sasya akan datang besok, kalau perlu minta izin untuk pertama melakukan test besok, Sasya janji akan segera pulang, jadi sekarang papa dimana Ma? Keadaannya gimana?”
“Gak usah sok care! Kalau nyatanya kamu itu Cuma bisa membunuh orang tua pelan-pelan…” jawab sang ibu ketus.
“Ma….”