“Sudahlah, pulang saja besok, biar tahu apa yang terjadi besok. Ingat jangan terlambat!!” hardiknya lagi membuat Sasya mengehela nafas perlahan dan terdengar jelas nada kawatir sang putri. Dengan begitu Mardiana langsung mematikan ponselnya, dan di akhiri suara cekikikan kedua ibu dan anak di teras rumah megahnya.
Setelah menaruh ponselnya di atas meja, perubahan wajah Nissa terlihat jelas. Wajahnya berbinar cerah dengan suara tawa cekikikan.
“Mama memang terbaik, mama kesayangan Nissa yang tiada duanya di dunia ini…” puji sang putri.
“Yasudah, kamu tidur dulu, sana. Mama mau atur papa untuk besok agar tidak pulang kerumah dulu, biar kita bisa ngelabui bocah sialan itu, oke?”
Mata Nissa berbinar seketika dengan ide sang ibu. “Maksud mama gimana? Mama mau bat scenario apa?”
“Mama mau buat scenario kalau papamu itu sedang sekarat dan ada di ruangan ICU, dan mau Sasya menikah dengan cepat sebelum kematiannya. Gimana menurut kamu? Logika bukan?”
Mereka kembali tertawa kegirangan atas ide brilliant sang ibu. “Kalau gini ceritanya, Nissa bakalan bobo nyenyak. Dan gak kawatir terror mafia sialan itu lagi. Soalnya tadi sempet shock juga melihat mafia itu meneror semengerikan itu…” jawabnya dengan kaki menghentak-hentak ke lantai marmer. “Duh, jadi gak sabar buat ngeliat drama pernikahan si kakak paling sengsara di dunia ini, menikah dengan pria paling kejam…” Nissa menatap sang ibu lalu berbisik. “Pasti seru banget denger pertengkaran mereka, duh…ga sabar…”
Akhirnya mereka berjalan menuju kamar masing-masing, dan melanjutkan untuk merebahkan tubuhnya. Hingga keesokan harinya, jam telah menunjukkan pukul Empat sore, tampak Nissa baru saja kembali dari rumah sakit dengan stelan jas putih yang masih membalut tubuhnya. Kebiasaan Nissa adalah membuka jas putihnya ketika sudah sampai rumah.
“Mam…Nissa pulang…” sapa Nissa dengan suara yang lumayan nyarinng, hingga membuat sang pembantu menyambut kehadiran anak sang majikan dengan ramah.
“Nyonya sedang ada di kamar Non Sasya, Non…” ucap sang pembantu membuat Nissa menoleh kearah sang pembantu.
“Loh, anak itu pulang juga akhirnya, Mama emang jempolan…” gumam Nissa denan melanjutkan kembali langkah kakinya menapaki lantai marmer rumah megah yang di kontrak sang ibu, demi memenuhi standart hidup mewah.
Nissa bernyanyi-nyanyi kecil membayangkan sang ibu saat ini sedang mengintimidasi Sasya. Dan benar saja, baru saja dia mendekat ke pintu sang kakak, sudah terdengar suara lengkingan sang ibu yang terdengar seperti tengah berdebat dengan sengit melawan keputusan sang kakak.
“Ma, Sya janji, Sya bakalan menikah dalam waktu satu tahun ini, Sya bakalan ngenalin calon Sya ke mama. Tapi tidak sekarang, Ma. Tidak masuk akal saja rasanya kalau tiba-tiba Sya harus menikah dengan pria yang tidak Sya kenal seluk beluknya, terlebih kami juga tidak saling mencintai, Ma…please… percaya ama Sya, Sya janji gak akan bohongin Mama…” rengek Sasya menurunkan nada suaranya dengan menatap kearah sang ibu.
“Kamu mau melawan mama, hah?! Mau kamu jadi anak durhaka, dan mama kutuk kamu?!” suara teriakan sang ibu, Nyonya Mardiana Luthfi dengan urat leher yang sudah menegang dan mata terbelalak lebar, nafasnya sudah mulai tidak terkontrol karena sang ibu tampak seperti seorang pelari yang hendak mencapai garis finis.
“Bukan melawan Mama, apalagi sampai berniat jadi anak durhaka, gak mungkin, Ma. Sya hidup di dunia ini untuk menyenangkan hati mama dan papa. Jadi, please…beri kesempatan Sasya membuktikan dan membalas jasa mama dan papa….”
Jawaban Sasya sontak di bantah langsung oleh sang ibu dengan suara yang masih bertahan dalam ketinggian. “Tidak bisa! Kalau kamu berani menolak pernikahan ini, jangan sebut aku mamamu, dan kau akan melihat papa yang sedang sekarat itu? Itu semua karena mu, jika kau mau menikah mungkin papa akan baikan, pikirannya sibuk untuk mengurusi kamu, sadar gak kamu, hah?!
Sorot mata Mardiana seperti ingin menelan hidup-hidup Sasya yang berada di hadapannya, ketika menghadapi anaknya yang kini tertunduk lesu karena merasa kalah melawan kekerasan hati sang ibu.
“Tapi, Ma…”
“Tidak ada tapi-tapian. Besok persiapkan diri untuk pernikahanmu, ingat! kamu akan menikah dengan orang penting. Kamu tidak akan saanggup mencari pria seperti yang sudah mama siapkan. Kamu seharusnya beruntung, bukan sok merengek begini!”gerutu sang ibu kesal, sementara Nissa yang masih bertahab di balik pintu untuk menguping hasil perdebatan antara sang kakak dengan ibu tercintanya.
“Ma—, dengerin permintaan Sasya dulu Ma…” bujuk Sasya.
“Kalau kamu menolak pernikahan ini, mama lebih baik mati. Mama malu sudah terlanjur menyetujui pernikahan ini dengan orang sehebat itu. Pria kaya raya yang akan membuatmu bahagia dan bergelimang harta, kamu mau melihat mama mati, Hah?!”
Sang ibu mengeluarkan gunting yang ada di sakunya, seolah memang sudah di persiapkan untuk menghadapi sang putri yang keras kepala.
“Mama!!” teriak Sasya dengan mata terbelalak, lalu dia bangkit berdiri dan merebut gunting kecil dari tangan sang ibu. “Tidak begini caranya, Ma. Allah bisa marah, kalau mama memilih mengakhiri hidup hanya karena ini…”
“Apa?! Hanya—-, kamu bilang?! Hebat kamu, sudah bisa menyombongkan kehebatanmu depan mama!” Hardik sang ibu, semakin menaruh gunting di lehernya, dia bertekad untuk menyelesaikan perjanjian itu secepatnya, karena rasa kawatir yang menghantuinya.
“Mama! Oke, Ma. Oke. Sasya akan menikah dengan pria pilihan Mama. Tapi dengan satu syarat…” ucap Sasya dengan berurai air mata, membuat Nissa tersenyum senang dari balik pintu, selakunya dia ingin bersorak dan melompat kegirangan mendengar jawaban sang kakak saat itu.
“Tidak. Kau terpaksa menjalaninya, kau pasti punya niat terselubung dnegan mengatakan setuju. Jadi biarlah Mama pergi mungkin itu yang akan membahagiakanmu…”
“Mama…Sasya hanya mau ada syaratnya, meski menikah, Sasya tetap bekerja, Ma…” jawab Sasya sembari meraih tangan sang ibu, lalu dia dengan perlahan meraih gunting dari tangan sang ibu. “Meski Sya belum bertemu orangnya, Sya yakin bahwa pria yang akan menikahi Sya adalah pria baik-baik dan bertanggung jawab dan berada di jalan Allah…” imbuh Sasya membuat sang ibu memeluk dirinya dengan erat dan di selingi air mata berlinang.
Semua akan tahu jika air mata yang di keluarkan Mardiana adalah palsu, karena dia tidam menyayangi Sasya sama sekali.