Bastian mendesah kesal. Ia menangkup wajah dan menahan napas beberapa detik hanya untuk mengusir bayangan peristiwa di akhir pekan yang terus menyiksanya. Janjinya pada diri sendiri untuk tidak terlibat hubungan pribadi dengan karyawannya membuatnya meradang. Tara, gadis itu berhasil membuat jantungnya berdegup dua kali lebih kencang setiap kali ia memikirkannya. Sialnya, bukan akhir-akhir ini saja hal itu terjadi. Namun, sejak pertama ia melihat seorang accounting supervisor yang datang terlambat menghadiri rapat.
Bunyi ketukan di pintu ruang kerjanya membawanya kembali ke dunia nyata. "Masuk!"
Seraut wajah cantik melongok dari celah pintu yang terbuka, membuat jantung Bastian hampir berhenti berdenyut. Ia menggertakkan gigi, mengumpati keberuntungan yang selalu tidak mau berpihak kepadanya. Mati-matian ia menghindar dari obyek yang bisa meruntuhkan pertahanannya, tapi kini gadis itu ada di hadapannya. Menebar pesona baru yang membuatnya merasakan gelombang gairah yang tidak jelas harus berlabuh ke mana.
Bastian memasang mimik angkuh untuk menutupi kegugupannya. Ia melihat Tara dengan pandangan yang keras dan menyelidik. "Ke mana Bu Zizah? Kenapa Anda langsung masuk ke ruangan saya?"
"Maaf, Pak. Tadi Bu Azizah tidak ada di tempat. Saya hanya ingin menyampaikan pesan Bu Keyzia. Bu Keyzia meminta Bapak secepatnya untuk pulang ke rumah orangtua Bapak," jelas Tara.
Dahi Bastian berkerut. Matanya menyipit dan pancaran matanya seolah sedang meragukan penjelasan Tara. Tara bisa menangkap apa yang dirasakan Bastian dari air muka yang diperlihatkan pria itu. "Bu Key tadi menelepon saya. Bu Key bilang dia ada di rumah orangtua Bapak. Bu Key juga bilang bahwa ponsel Bapak mati dan saluran telepon ke ruangan Bapak tidak bisa dihubungi."
Bastian mengumpat dalam hati. Ia memang mematikan ponsel dan saluran sambungan telepon ke ruangannya. Hari ini ia sedang tidak ingin diganggu siapa pun termasuk orangtuanya. Namun, tiba-tiba ide gila muncul di kepala Bastian. "Kalau begitu kamu ikut dengan saya."
Kali ini giliran Tara yang terpangah. "Maksud Bapak?"
"Kamu ikut saya ke rumah orangtua saya."
"T-tapi ...." Tara memutar otak mencari alasan. Namun, belum juga alasan itu didapatkannya, Bastian sudah menyambar tangannya.
"Pokoknya kamu ikut saya." Bastian mencekal erat tangan Tara hingga Tara tak bisa menolak.
Pria itu tak melepas cekalannya hingga melewati ruang kerja terbuka staf administrasi perusahaannya. Ia bahkan tak memedulikan tatapan penuh tanya stafnya. Sementara itu, Tara hanya mengikuti langkah panjang Bastian. Pria itu sukses membuatnya menjadi pusat perhatian para staf dan sebentar lagi akan menjadi bahan gosip utama di WSG Globe.
Tiba di tempat parkir khusus eksekutif WSG Globe, Bastian baru menyadari cekalannya di tangan Tara. Ia gugup, tapi dengan cepat ia mengalihkan perasaan tak menentunya ke Lamborghini hitam miliknya.
"Masuk." Nada tinggi dari perintah Bastian menyentak Tara yang sedari tadi hanya diam.
Tara mengerjap, bingung, dan sekaligus panik. "Masuk?"
"Iya. Silakan masuk. Duduk di depan karena saya bukan supir Anda." Suara Bastian terdengar melembut, meskipun kalimat yang ia ucapkan membuat Tara senewen.
Tara sesekali mencuri lihat ke arah Bastian yang duduk di balik kemudi. Ia selalu menyukai pria yang duduk di balik kemudi dengan tangan memegang erat setir dan pandangan lurus ke depan. Menurutnya, pria itu sangat seksi. Setelah menganalisa keadaan beberapa saat, Tara baru menyadari dan melihat kekalutan di wajah dingin Bastian. Ia tersenyum dalam hati. Entah untuk apa senyuman itu, tapi melihat Bastian dengan mimik wajah penuh beban membuatnya bersuka cita.
"Maaf, saya tadi menyebut Anda dengan "kamu"." Ucapan Bastian yang sama sekali tak terdengar seperti penyesalan itu memecah kesunyian di antara mereka.
"Tidak apa-apa, Pak. Tidak perlu seformal itu dengan saya."
Tara menunggu respons Bastian. Gadis itu berharap Bastian melanjutkan sesi obrolan mereka, tapi Bastian mengunci mulutnya rapat-rapat.
"Kita mau ke mana, Pak?" Tara berusaha membuka obrolan lagi.
Bastian sama sekali tidak menanggapi pertanyaan Tara. Tatapannya masih lurus ke depan ke arah jalanan yang sedikit lengang sore itu. Tara hampir frustrasi. Ia mengembus napas berusaha untuk lebih tenang. Seandainya pria arogan yang duduk di sampingnya itu bukan targetnya, ia akan dengan senang hati meninju wajahnya. Tara sudah bosan diperlakukan seperti benda tak berharga oleh orang-orang di sekitarnya. Tahun-tahun kelam yang menyesakkan d**a dan menguras air mata kembali mendekapnya dalam ingatan. Ia menahan napasnya di tenggorokan dan menggertakkan gigi.
Suara berat Bastian perlahan menyeretnya kembali ke posisinya sekarang. "Kita akan ke rumah orangtua saya."
Tara menelan ludah dengan susah payah. Ke rumah orangtuanya?
Tara tidak sedang berusaha membalas kebisuan Bastian tadi, hanya saja ia tidak mengerti mengapa Bastian membawanya ke rumah orangtuanya? Untuk apa? Apa yang sedang direncanakan pria sombong itu? pikirnya.
Bastian menoleh pada Tara, menatap wajah bingung Tara beberapa saat sebelum mengembalikan tatapannya ke ruas jalan yang sedikit ramai sore itu.
Tiba di gerbang otomatis sebuah rumah megah bergaya eropa, Bastian disambut senyuman patuh seorang satpam. Meskipun tak membalas senyumannya, si satpam tetap menyapa Bastian dengan ramah sambil menekan tombol pembuka gerbang besi yang tinggi dan kokoh.
Tara melihat mobil Keyzia terparkir di halaman luas rumah tersebut. Ia keluar dari mobil Bastian dengan segudang pertanyaan di kepalanya.
Bastian berjalan cepat mengitari mobilnya dan membuat serangan panik yang kedua untuk Tara. Pria itu maraih tangan Tara lalu membawanya menaiki undakan marmer menuju beranda.
"Saya harap Anda bisa bekerja sama dengan saya. Tolong jangan banyak bicara dengan orangtua saya nanti," tutur Bastian.
"Ini permintaan atau perintah, Pak?"
Bastian menghentikan langkahnya, kemudian menatap Tara geram. "Menurut Anda?"
"Permintaan sekaligus perintah." Tara tersenyum kaku.
"Good. Anda cepat tanggap." Bastian kembali menarik pelan tangan Tara.
Apa rencana si pongah ini? batin Tara di sepanjang langkahnya.
Bastian meraih gagang pintu dengan tangannya yang lain. Suasana pegunungan Alpen yang berpadu dengan furnitur modern menyambut kedatangan Tara dan Bastian saat ruangan terbuka lebih lebar. Bastian mengajak Tara melintasi ruang tamu yang luasnya hampir separuh luas lapangan sepak bola dan dilengkapi dengan perabotan super mewah menuju teras belakang rumah itu. Bastian tahu pasti di mana anggota keluarganya menghabiskan waktu minum teh mereka.
"Selamat sore." Bastian menurunkan cekalan di pergelangan tangan Tara ke tangannya. Ia mengaitkan jemarinya ke jemari Tara dan sontak hal itu membuat Tara hampir menjerit. Seharian ini Bastian beberapa kali memberinya serangan panik.
Seorang wanita baya yang duduk di kursi taman mengarahkan pandangan terkejutnya pada Bastian dan Tara. Ia menyelipkan anak rambutnya yang bermodel bob pendek berwarna keemasan ke belakang telinga sambil berdiri.
"Bastian. Oh, kesayangan Mama." Wanita itu berjalan mendekati Bastian dan tanpa ragu memeluknya.
"Dengan siapa kamu datang, Sayang?" lanjutnya dengan sedikit berbisik.
Bastian berdeham memberikan kode pada wanita itu untuk melepas pelukannya.
"Baiklah. Siapa gadis beruntung yang kamu bawa?" tanya wanita itu beberapa saat kemudian setelah melepas pelukan dari putra semata wayangnya.
"Dia pacar Bastian, Ma," balas Bastian sambil melirik Tara.
Tara membelalak. Antara percaya dan tidak, jalan untuk menyelesaikan misinya membalas dendam kini terbuka lebar. Keberuntungan sedang berada di pihaknya, pikirnya.