"Pacar kamu?" Iris abu-abu wanita baya itu mengamati Tara selama beberapa saat, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya pada Tara. "Saya Donna Witjaksono, mamanya Bastian."
Tara menyambut uluran tangan Donna dan tersenyum hangat. "Saya Tara Abinaya, Tante."
"Mari kita duduk di sana." Donna menunjuk sebuah gazebo.
Tara menunggu respon Bastian yang masih berdiri dan seolah enggan untuk duduk. Ia memperhatikan wajah Bastian dari samping. Rahang tegas yang ditumbuhi janggut tipis pria itu mengeras. Gurat ketegangan tampak jelas di sana.
"Bastian, c'mon! Ajak pacar kamu duduk," pinta Donna tidak sabar.
Dengan berat hati Bastian meminta Tara mengikuti langkah Donna menuju gazebo di tengah taman hijau yang dikelilingi bunga berwarna merah. Tara memandang takjub gazebo yang terbuat dari batuan alam dan memiliki desain rustic yang berdiri kokoh beberapa meter di depan mereka. Tak terbayangkan seberapa banyak uang yang mereka keluarkan hanya untuk membuat tempat bersantai yang tidak lebih besar dari kamar berukuran tiga kali empat meter itu.
Selayaknya pria terhormat yang membawa kekasihnya ke hadapan orangtuanya, Bastian menarik kursi jati untuk Tara. Sesaat Tara merasa ia diperlakukan seperti seorang putri. Begini cara pria-pria Witjaksono memperlakukan wanita mereka, pantas saja Tina terbuai rayuan maut Bastian, pikirnya.
Donna melambaikan tangan pada seorang wanita yang mengenakan pakaian semi formal—kemeja putih berlengan tiga per empat dan celemek putih yang menutupi bagian depan rok birunya. Wanita yang berdiri di depan pintu kaca yang menjadi akses keluar masuk, segera menghampirinya.
"Ratih, tolong buatkan kami teh," titahnya pada asisten rumah tangganya yang bernama Ratih dengan sopan.
Kebijakan tercermin dari kesederhanaan dan caranya bersikap. Mungkin ia bisa menjadi mertua idaman setiap wanita jika saja anaknya tidak seberengsek Bastian, pikir Tara lagi.
"Kamu suka minum teh, Tara?" tanyanya tak memberi pilihan.
Tara tersenyum lalu mengangguk. "Iya, Tante."
"Buatkan untuk empat orang, ya, Ratih." Donna mengulangi titahnya.
"Baik, Bu." Asisten itu menunduk patuh lalu meninggalkan mereka.
"Sudah berapa lama kalian pacaran?" tanya Donna pada Tara.
"Ma, bisa tidak untuk menanyakan hal itu nanti?" Bastian memotong dengan nada kesal.
Keyzia muncul dengan semangkuk salad buah di tangannya. Matanya membulat tak percaya melihat Tara duduk di samping Bastian. "Eh, ada tamu. Sudah lama, Bu Tara?"
Donna menelengkan kepala melihat keponakannya berbicara akrab dengan kekasih putranya. "Kamu sudah kenal Tara, Key?"
Keyzia meletakkan salad buah di meja lalu duduk di samping Donna. "Bu Tara ini accounting supervisor di WSG Globe, Tan."
Donna mengangguk mengerti. Ia melirik Bastian. Pria itu langsung memalingkan wajah saat tatapan mereka bertemu. Donna menipiskan bibirnya dan mendesah kesal.
"Kamu pacaran sama karyawan kamu lagi, Bas?" Donna menyelidik.
"What?!" Keyzia terpangah beberapa saat. "Are you guys dating?"
"Yep. Why?" balas Bastian dengan nada enggan.
Keyzia mengerjap-ngerjap. Ia meyakinkan dirinya jika pendengarannya masih normal. "Sejak kapan?"
"Sejak hari Minggu kemarin. Sudahlah, jangan terlalu kepo dengan hubunganku dan Tara." Bastian menatap adik sepupunya dengan tatapan memperingati.
Keyzia memahami arti tatapan Bastian. Ia segera mengunci rapat-rapat mulutnya dan memberikan senyuman penuh pengertian. Namun, tidak dengan Donna. Wanita itu masih menelaah wajah dan pandangan putra semata wayangnya. Intinya, ia mencurigai Bastian.
"Mama mau kamu dan Tara menemani Mama makan malam," kata Donna.
"Ma—"
"Tidak ada penolakan, Bastian. Papamu akan kembali dari Dubai dua hari lagi dan Mama harap kamu juga memperkenalkan Tara pada Papa. Ya, kecuali hubungan kalian—"
"Kami serius, Ma." Bastian memotong dengan nada tegas, membuat Tara membelalak.
Bastian meyakinan aktingnya dengan mengaitkan jemarinya ke jemari Tara. Ia menahan kaitan jemarinya di atas pangkuan Tara lebih lama agar terlihat oleh Donna. Hanya satu yang ia mau, terbebas dari kecurigaan wanita yang melahirkannya itu.
Bastian menghela napas panjang. Frustrasi mulai mengguncang pikirannya. Ia tidak pernah berpikir akan melibatkan Tara lebih jauh ke dalam masalah pribadinya, kecuali untuk beberapa menit ini.
Donna tak membiarkan Bastian beralasan. Setelah acara minum teh, ia meminta Tara untuk tetap tinggal dan makan malam bersamanya, juga Keyzia.
Semua hidangan di atas meja makan itu sungguh luar biasa; lasagna dengan terong dan jamur yang dimasak sesuai resep tradisi lelulur keluarga Donna, salad, anggur putih, dan yang terpenting adalah posisi Tara dalam keluarga itu sebagai kekasih Bastian. Meskipun, ia dan Bastian hanya berpura-pura.
Tara bersorak dalam hati. Disukai atau tidak oleh keluarga Bastian, kini Tara sudah diakui sebagai calon anggota baru keluarga Witjaksono.
"Kamu asli Jakarta, Tara?" Suara lembut Donna dari seberang meja menghantar getaran menegangkan.
"Saya lahir di Jakarta. Setelah saya diadopsi oleh keluarga Abinaya, saya tinggal di Surabaya," jelas Tara tanpa menutup-nutupi asal usulnya.
"Kamu diadopsi?" kuriositas dalam diri Donna menajam. Ia tidak lagi bersemangat menikmati lasagna seperti sebelumnya. Pandangannya fokus ke arah Tara.
"Iya, Tante. Setelah orangtua saya meninggal dalam kecelakaan saat saya berumur enam tahun, saya tinggal di panti asuhan. Setahun kemudian keluarga Abinaya mengadopsi saya dan kami tinggal di Surabaya." Tara memelankan ritme bicaranya untuk menghasilkan drama paling mengesankan. Drama yang mungkin bisa menarik perhatian Donna dan semua orang yang berada di ruang makan tersebut.
"Kamu masih ingat apa pekerjaan orangtuamu dulu?" selidik Donna.
"Ma—" potong Bastian dengan nada geram. Ibunya tidak seharusnya mempertanyakan soal pribadi Tara, pikirnya. Bastian menyesali keputusannya untuk membawa pulang Tara dan memperkenalkan gadis itu sebagai kekasih pada ibunya.
Donna memberi kode "jangan menyela" dengan mengangkat tangannya, sedangkan matanya masih tertuju pada Tara.
Tara melirik Bastian dan pria itu merespon dengan mengangkat alis tebalnya. Sesaat Tara tidak bisa mendefinisikan isyarat tersebut, namun ia cepat mengambil kesimpulan bahwa Bastian mengizinkannya untuk meneruskan cerita.
"Ayah saya seorang pegawai negeri sipil dan Ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa." Tara menelan ludah dengan susah payah sebelum melanjutkan ucapannya. "Orangtua asuh saya hanya seorang pedagang. Mereka membuka kios sembako di pasar tradisional. Sejak kecil saya sudah terbiasa membantu mereka."
"Kamu tidak malu membantu orangtua asuhmu berjualan di pasar ... tradisional?" tanya Donna dengan nada merendahkan.
"Saya akan merasa malu jika saya hanya berpangku tangan dan tidak melakukan apa-apa. Mereka sudah menjadikan saya anak mereka dan tugas anak adalah membantu orangtuanya, bukan?" tandas Tara.
Donna mengangguk-angguk senang. Ketegasan Tara mengikis penilaian buruknya tentang gadis itu. Ia melihat ke arah Bastian yang menatap Tara hampir tak berkedip.
"Bastian," tegurnya, membuat Bastian terperanjat dan merasa tertangkap basah sedang memperhatikan Tara.
"Iya. Kalau Mama tidak menyukai Tara—"
"Saat papamu pulang nanti, ajak Tara untuk makan malam bersama kita di sini." Donna memotong jawaban spontan Bastian. Kemudian, ia menengok ke samping kirinya. "Kamu dan suamimu juga, Key. "
"Siap, Tante." Keyzia tersenyum.
Bastian menggertakan giginya. Umpatan dari A sampai Z memenuhi kepalanya. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena mengajak Tara menemui ibunya. Ia memutar otak mencari cara agar segera terhindar dari intimidasi ibunya. Wanita itu menyukai Tara dan akan terus memaksanya mendekati Tara, pikirnya.
"Ma, Bastian dan Tara tidak bisa lama-lama di sini. Kami ada janji dengan temannya Tara," tutur Bastian, membuat Tara hampir tersedak.
Tara menghentikan makannya. Ia meletakkan pisau dan dan garpunya di tengah piring searah angka 12 jarum jam. Lalu, ia menyeka bibirnya menggunakan napkin dengan anggun.
"Maaf, Tante. Bukan kami tidak ingin lebih lama di sini, tapi kami ada janji yang sudah disepakati sejak beberapa hari lalu," imbuh Tara, meyakinkan Donna.
"Baiklah. Tante mengerti. Jangan lupa, saat papanya Bastian kembali ke tanah air kamu harus makan malam bersama kami."
"Baik, Tante." Tara menyunggingkan senyuman.
Bastian tidak mau mengambil risiko lebih lama duduk bersama Donna dan Keyzia. Ia segera mengajak Tara keluar dari ruang makan dan rumah mewah ibunya.
***
"Kenapa Bapak berpura-pura pada mamanya Bapak jika saya pacar Bapak?" celetuk Tara dalam perjalanan pulang.
Bastian melirik Tara. Ia meminggirkan laju kendaraannya ke bahu jalan dan berhenti di sana. Tatapan tajamnya mengarah pada Tara.
"Saya bilang kamu jangan banyak bicara. Mengerti?" kata Bastian dengan nada kesal.
Tara membasahi bibirnya. Emosi Bastian gampang terpancing dan tidak terkendali, pikirnya. Pria itu bahkan memanggil Tara dengan "kamu". Tara semakin menantang. "Peran pembantu pun menjadi bagian dari sebuah skenario, lho, Pak."
Cahaya terang dari lampu jalan yang menembus kaca depan mobil membuat bentuk wajah Bastian yang terpahat sempurna terlihat jelas. Tidak sadar, pandangan Tara terpatri ke wajah memukau itu.
Dahi Bastian berkerut. Ia berkata dengan menekan gigi dan mulut yang hampir tidak terbuka. "Lima detik lagi kamu melihat saya seperti itu, kamu akan menemukan diri kamu telanjang di dalam mobil ini."
Tara mengerjap, syok. Namun, kemudian ia membalas ancaman Bastian. "Bagaimana kalau saya ingin melihat Bapak selama sepuluh detik?"