4. Bayangan Masa Lalu

1780 Kata
Tara mencermati sebuah file yang terpampang di monitor laptopnya. Untuk beberapa saat tatapannya hanya terpaku pada penampil kristal cair itu hingga alunan musik klasik membuyarkan lamunannya. Ia meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh dari kursinya. Senyumannya terkembang ketika ia melihat nama yang menghias layar ponselnya. "Halo, La. Apa kabar? Aku kira kamu sudah lupa sama aku?" "Kabar aku kabur." Sesaat kemudian terdengar suara tawa perempuan dari ujung telepon, lalu si penelepon melanjutkan ucapannya. "Besok kan hari Minggu, jangan lupa datang, ya." "Oke. Siap, La. Aku pasti datang." "Pokoknya jangan sampai kamu melewatkan kesempatan emas ini," tandas si penelepon. "Tidak akan. Thanks ya, La." Setelah beberapa saat berbincang, Tara memutus sambungan teleponnya. Ia menghela napas lega sebelum melangkah ke ranjangnya. Senyuman kembali menghias wajah cantik gadis itu. Ia menarik selimut sampai menutupi pundaknya, memejam, dan memaksakan diri melepaskan ketegangan yang membelunggunya selama seminggu terakhir hingga akhirnya tertidur. *** Tara memarkirkan mobilnya di area parkir basement sebuah apartemen mewah di pusat kota. Entah ada apa dengannya, pagi itu ia merasa begitu bersemangat. Ia berjalan penuh percaya diri menuju lift. Dengan kartu akses yang diberikan sahabatnya ia bebas untuk masuk dan menentukan ke lantai mana ia akan naik. Saat pintu lift terbuka, jantung Tara berdenyut kencang. Pertemuan yang sudah ia rencanakan seharusnya tidak membuat kondisi jantungnya separah itu, pikirnya. Tara berjalan menyusuri koridor dengan bahu stabil dan pinggul berayun. Gadis bertubuh tinggi bak model catwalk itu memang terbiasa berjalan dengan sepatu bertumit tinggi. Ia sama sekali tak merasa terganggu ketika sepatu putih bertumit lebih dari delapan sentinya harus melewati lembutnya karpet wilton cokelat yang terhampar di sepanjang koridor. Tiba di depan sebuah pintu di ujung koridor, ia menekan bel dengan bersemangat. Beberapa menit ia menunggu sampai si pemilik apartemen membukakan pintu. "Pak Bastian?" Tara terperanjat melihat sosok Bastian saat pintu terbuka. Perutnya menegang dan saat tatapan secokelat kopinya bertemu dengan mata Bastian, semua sarafnya siaga tanpa dikomando. Tara membiarkan tatapannya menyapu tubuh pria itu. Bastian berdiri tegak dan di balik kaus biru muda yang ia kenakan, Tara bisa melihat pundak lebar dan kuat pria itu. Rambut cokelat chestnut-nya yang terbebas dari efek pomade berantakan, namun memberi kesan seksi dan maskulin. "Ada yang bisa saya bantu?" Nada enggan Bastian mengembalikan Tara ke kenyataan. Tara mencoba menembus bahu Bastian yang lebih tinggi darinya untuk melihat ke dalam apartemen. "Maaf, Pak. Bukankah ini apartemennya Lila?" Bastian menyipitkan mata. "Lila? Siapa Lila?" Tara menelan ludah, kemudian membalas dengan gugup. "Te-man saya." "Salah alamat." Nada kesal menyertai ucapan Bastian. "Tapi—" "Ini apartemen saya dan saya tidak mengenal Lala. Maaf, saya sedang ada pekerjaan." Bastian mencoba mengakhiri pembicaraan. "Sebentar, Pak," tahan Tara,"sebentar, saya yakin tidak salah alamat." "Ada lebih dari 200 unit apartemen di gedung ini, Bu Tara." "Iya, Pak, saya tahu." Tara mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu ia mencari-cari nama Lala di daftar kontaknya dan mencoba menghubungi Lala. Bastian tampak tidak sabar. Ia menggertakan gigi sambil mendesah kesal. Namun, kemudian ia masuk ke apartemennya dan membiarkan pintu terbuka. Beberapa saat kemudian, ketika Tara sudah berhasil menghubungi Lala, ia memberanikan diri melongok ke dalam. Pandangannya menyisir mencari si pemilik apartemen. Sesaat ia memandang takjub isi apartemen yang berbanding terbalik dengan apartemen miliknya yang hanya bertipe studio. Furnitur impor melengkapi ruang tamu yang luas. Lampu kristal yang menggantung di langit-langit ruangan membuat Tara menelan ludah membayangkan harus merogoh kocek dalam-dalam untuk benda yang hanya menjadi pajangan tersebut. "Pak Bastian," panggil Tara pelan, memberanikan diri mengambil dua langkah lebih masuk. Bastian muncul dengan raut wajah kesal. Ponsel di genggamannya jelas menjadi penyebab perubahan raut wajahnya. "Ya." Tara melayangkan senyuman yang penuh dengan keterpaksaan. "Maafkan saya. Ternyata Bapak benar saya salah alamat." "Tolong pintunya ditutup dari luar." Bibir Bastian membentuk senyum yang lebih mirip dengan evil smirk. Tara mengatupkan bibir rapat dan keras. Dari ekspresi Bastian, ia tahu Bastian mengusirnya. Tanpa bicara lagi, Tara mundur lalu menutup pintu apartemen Bastian. Tara kembali ke lift lalu naik ke dua lantai berikutnya. Rona puas jelas tergambar di wajahnya. Ia mengayuhkan langkah menuju sebuah pintu bernomer 112. Tanpa menekan bel, gadis itu langsung membukanya dengan kartu akses yang ia miliki. "Bagaimana rencananya?" Seorang gadis bertubuh kurus dengan rambut model bob pendek menyambut kedatangan Tara. "Sukses, La. Tidak ada yang terlalu kebetulan di dunia ini kecuali kita yang menciptakannya. Bastian mengira aku benar-benar salah alamat. Seharusnya kamu tadi melihat aktingku." Tara menjatuhkan bokongnya ke sofa lalu bersandar. Kedua ujung bibirnya masih ditarik ke atas membentuk senyuman. "Jangan seneng dulu. Perjuangan kamu masih panjang, Ra." Gadis bernama Lala itu mengingatkan. "Tinggal selangkah lagi, done!" tandas Tara percaya diri. Lala duduk di samping Tara. Ia menyambar gelas tehnya lalu meneguknya pelan-pelan sebelum berkata, "Jangan yakin dulu. Bastian Witjaksono itu ganteng loh. Yakin kamu bakal kuat ngadepin dia?" "Kegantengan dia tidak sebanding dengan derita yang dia berikan pada Tina. Juga padaku." Tara merubah mimik wajahnya. Marah. Galak. "Hati-hati. Kamu bisa terjebak perasaanmu sendiri nanti. Kita tidak tahu kapan cinta itu menyapa. Terkadang, ia menyapa orang yang salah." "Never." Tara menarik punggungnya dari sandaran kursi sambil melontarkan protesnya. "Aku tidak pernah tahu apa itu cinta. Kamu tahu, La, sejak kecil yang kutahu hanya bagaimana aku harus berjuang dan bertahan hidup." Tara menghela napas panjang melepas sesak yang menghimpit dadanya. Bayangan tahun-tahun kelam di mana ia dan Tina terlunta-lunta di jalanan sampai akhirnya tinggal di panti asuhan kembali menusuknya. Sekuat tenaga ia menahan agar air mata tidak sampai merusak riasan matanya. Lala mengusap lembut punggung sahabatnya. Gadis itu tahu betul apa yang dirasakan Tara. "Aku tahu, Ra. Aku hanya mengingatkan jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari karena hal ini. Kamu wanita dewasa. Di usiamu yang ke-26 tahun ini, aku harap kamu bisa lebih bijak dalam melakukan sesuatu. " "Kamu tenang saja, La. Sekalipun aku harus dekat dengannya, itu semua karena Tina. Aku bersumpah tidak akan membiarkannya hidup tenang." Alunan musik klasik terdengar sayup-sayup dari dalam tas tangan Tara. Wajah Tara kembali memancarkan rona bahagia. Ia segera mengambil ponsel dari dalam tas lalu tersenyum penuh kemenangan saat melihat nama di layar ponselnya. "Halo, Pak Bastian," sapanya dengan sopan. Beberapa saat berbincang melalui sambungan seluler, Tara memutuskan untuk segera menemui bosnya. Ia kembali ke apartemen Bastian. Bastian sudah menantikan kedatangan Tara. Ia tidak lagi melihat ke monitor CCTV siapa yang membunyikan bel. Sorot tidak suka terpancar dari mata Bastian saat ia membuka pintu dan mendapati Tara mengulum senyum. Penampilan Tara berbeda pagi itu. Gadis itu tampak lebih segar dengan rambut terurai dan riasan tipis di wajahnya. Ia cantik, aku Bastian pahit. "Ini kunci mobil Bu Tara yang terjatuh di sini tadi." Bastian memberikan kunci mobil Tara. Tidak diduga, tubuh Bastian merespon ketertarikan saat jemarinya bersentuhan dengan jemari lentik Tara. Ia membenci kenyataan bahwa Tara bisa membangkitkan hasratnya hanya dengan hal sekecil itu. "Terima kasih, Pak. Saya tadi terburu-buru." Tara menarik kedua ujung bibirnya membentuk senyuman. "Bagaimana Anda bisa begitu ceroboh menjatuhkan kunci mobil di sini?" Nada dingin terselip menyembunyikan rasa panas yang tiba-tiba merayap ke punggung dan seluruh tubuh Bastian ketika tatapannya menunjuk karpet wilton yang menutupi lantai apartemen. Tara hanya tersenyum dan membuat Bastian semakin geram. Keberadaan Tara mengancam pertahanannya. Beberapa detik lagi Tara berdiri di sana dengan senyuman dan kaus abu-abu bermodel d**a rendah yang memperlihatkan sedikit belahan dadanya, martabatnya sebagai bos yang terkenal cool akan segera ambyar, pikirnya. Bastian mengangkat sebelah alisnya memberi peringatan bahwa urusannya dengan Tara sudah selesai. "Oh, iya. Maaf, sudah merepotkan Bapak. Saya permisi. Selamat pagi." Tara menanggapi respon Bastian dengan cepat. Namun, sebelum ia memutuskan untuk melangkah pergi ia mencium bau sesuatu yang tidak asing. Bau gosong. "Apa Bapak sedang memasak sesuatu atau—" Bastian menepuk dahinya, lalu mengumpat pelan. "Oh, sial. Aku sedang memanggang bacon." Untuk pertama kalinya Tara mendengar kalimat informal keluar dari mulut Bastian. Tara memandang ke dalam ruangan melalui celah di antara tubuh dan tangan Bastian yang menahan pintu agar tetap terbuka. Tidak mungkin ada kabut di dalam apartemen. "Ada asap, Pak. Kebakaran!" Raut wajah Bastian tampak panik. Ia berbalik, hampir berlari menuju dapurnya. Tanpa izin, Tara mengikuti langkah Bastian. Ia meletakkan clutch-nya di atas meja ruang tamu lalu bergegas menuju dapur. Gadis itu hanya ingin memastikan apa yang terjadi di dapur Bastian. Asap memenuhi dapur yang serba putih dan super bersih. Bastian segera mematikan microwavenya, lalu mencoba mengeluarkan pinggan tahan panas yang berisi bacon gosong tanpa kitchen gloves karena terburu-buru. "Auw!!!" teriakan Bastian tertahan oleh sengatan panas dari pinggan tersebut. Tara dengan cekatan mengambil alih pinggan berisi bacon gosong dari dalam microwave setelah membungkus tangannya dengan kitchen gloves dan membuat Bastian secara otomatis beringsut menjauh. Ia meletakkan pinggan itu di atas meja dapur di samping microwave lalu mengipas-ngipaskan tangannya mengusir asap di sekitar mereka. "Kamu? Mm... maksud saya, Anda?" Bastian menatap Tara heran dengan dahi berkerut dan sedikit menahan napas. Tara berbalik dan menunjukkan ekspresi tenangnya, lalu melepaskan kitchen gloves. "Pak Bastian tunggu saja di ruang tamu, biar saya membereskan semua ini. "Ini dapur saya. Anda tidak seharusnya berada di sini." Bastian merespon dengan penolakan secara tegas. "Saya tahu. Tetapi saya yang menyebabkan kekacauan ini. Kalau Bapak tidak keluar menemui saya, mungkin baconnya tidak akan gosong." Itu karena aku salah mengatur waktu pemanggangannya. Bastian mengakui kesalahannya dalam hati sambil mengangkat kedua alisnya. Bersikap senormal mungkin, Tara menarik tangan Bastian pelan. Ia membuat pria itu mengikuti langkahnya menuju ruang tamu yang dipenuhi sedikit asap. "Bapak boleh marah kepada saya, tapi nanti setelah saya membereskan dapur Bapak. Untuk sementara ini, Bapak tinggallah di sini." "Kamu—" "Iya, Bapak juga bisa memanggil saya dengan "kamu". Kita berada di luar jam kantor. Pak Bastian bebas mau memanggil saya dengan sebutan apa," potong Tara tanpa memberi kesempatan Bastian menyangkal. "Whatever. Tapi saya mau microwave saya bersih lagi." Entah sihir apa yang digunakan Tara, microwave milik Bastian sudah bersih dan terbebas dari aroma bacon gosong dalam waktu sepuluh menit. Ia kembali ke ruang tamu dan mendapati Bastian sedang duduk denganbertumpang kaki. "Sudah selesai?" Tatapan Bastian menjelajah wajah Tara. Tara melontarkan senyum simpul. "Beres, Pak." "Terima kasih. Pintunya di sana." Bastian menunjuk pintu dengan dagunya. Sial, dia masih saja bersikap pongah, batin Tara. Gadis itu masih menunjukkan sikap naturalnya, tersenyum, meskipun hatinya meradang karena usiran Bastian. Tara melangkah mendekati Bastian untuk mengambil clutch-nya. Ia mencoba untuk tidak memedulikan tatapan Bastian yang seolah sedang menyatakan perang. Saat Tara sedikit membungkuk, Bastian segera memalingkan pandangannya dari Tara. Desahan kesal pria itu didengar Tara dan membuatnya tersenyum puas. Dada Bastian bergemuruh. Tara seperti sedang menggodanya tanpa ia sadari. Bayangan belahan d**a Tara yang tampak jelas mengganggu pikirannya. Ia mengumpat dalam hati menyesali mengapa pandangannya harus menemukan hal seindah itu di tubuh karyawannya. Ia tidak bisa lagi terlibat urusan pribadi apalagi urusan seks dengan karyawannya. Bayangan kelam itu masih menghantuinya. Ini tidak boleh terjadi lagi, pikir Bastian sambil mengeraskan rahang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN