Kondisi ini berbeda bahkan berbanding terbalik dengan para Pendawa.
Sepak terjang mereka menghadapi para buta, merengsek maju sembari menggulung para jin dan gandarwa seakan memberikan secercah harapan baru untuk Wanamarta dan Mretani itu sendiri. Diam-diam, kusak-kusuk terjadi di akar rumput. Pembicaraan mengenai pertentangan dan perebutan kekuasaan ini dapat di dengar di pusat pertokoan, barber shop, pelabuhan, terminal bus dan stasiun kereta api bawah tanah alias subway, serta pusat-pusat bisnis dan perekonomian lainnya. Wilayah Wanamarta, seperti kebanyakan wilayah lain di seluruh state di negara Jagad Wayang, seakan memiliki pemerintahannya sendiri. Kelompok batara yang merupakan bagian dari pemerintahan sah negara cenderung membiarkan dan mengambil untung dalam permainan para pelaku industri dan bisnis yang bagai raja-raja kecil tersebut. Presiden dan kementrian negara tidak banyak berbuat. Selain karena hampir tidak memiliki kekuasaan di daerah-daerah tersebut, mereka merasa nyaman berada di wilayah politik yang selalu menguntungkan mereka sendiri.
Oleh sebab itu, kepolisian pun benar-benar hanya menjaga kepentingan mereka, atau rakyat yang kemungkinan menjadi korbannya. Mereka menjadi semacam juri dari kelompok-kelompok yang bersitegang dan bermasalah dalam perebutan bisnis dan kekuasaan tersebut. Namun, selama para mafia hanya bertempur dan saling bunuh tanpa melibatkan rakyat, kepolisian hanya menjadi penengah dan kerap kali ikut bermain bila dirasa ada keuntungan besar di dalamnya. Masyarakat biasa pun sebenarnya kadang ikut-ikutan memunguti remah-remah keuntungan dari konflik yang berkepanjangan bahkan tanpa ada akhirnya selama sejarah negara Jagad Wayang tersebut. Tapi, mereka tak boleh jadi korban. Bahkan para mafia pun setuju untuk mampu mengerem atau menjaga diri agar tak banyak rakyat biasa yang menjadi korban, karena ini akan mejadi sebuah preseden buruk bagi bisnis. Akan terjadi perang yang bersifat masif seperti yang terjadi puluhan bahkan ratusan yang lalu. Dimana gerakan masyarakat akan disambut dengan ikut campurnya batara, begawan, dan beragam kelompok masyarakat yang bukan merupakan mafia.
Itulah sebabnya, hidup dalam keluarga jin membuat Ratri juga dididik dalam konsep kehidupan keluarga yang keras. Bersedia dipimpin oleh orang yang lebih kuat, dengan sebelumnya berjuang, bertarung sampai mati. Sampai paham bahwa sang pemimpin memang pantas pemimpin mereka. Bisnis ini bagai kerajaan, semua dilakukan untuk membuatnya tetap berjaya, dengan cara legal maupun ilegal bila memang perlu. Cara bersih maupun cara kotor untuk bertahan.
Dua pengawal dari kelompok gandarwa lah yang tadi menyampaikan bahwa sang paman telah tewas. Dalam waktu yang tak lama lagi para Pendawa mungkin sudah akan menyerang masuk ke pusat Mretani. Pesan Dananjaya jelas, Madukara adalah miliknya sekarang, namun sesuai aturan dan falsafah jin gandarwa, yang kuat lah yang menang. Dewi Ratri tetap dapat mempertahankan Madukara, atau menyerahkannya kepada Permadi, orang yang membunuh Dananjaya. Kejam dan sepertinya menyakitkan, tapi bila orang paham benar falsafah, pemikiran hidup dan prinsip para jin dan gandarwa ini, kematian oleh orang yang pantas adalah sebuah pencapaian tertinggi.
Ratri juga paham hal itu.
"Lady, apa perintah anda? Haruskan kita bertahan di Madukara, atau ... ?"
"Kita ke Mretani. Aku ingin lihat sepak terjang para Pendawa itu dengan mata kepalaku sendiri. Paman Dandun Wacana, paman Nakula dan paman Sadewa pasti sudah siap pula dengan segala kemampuan mereka. Ini akan menjadi sebuah peristiwa besar bagi Mretani," potong Ratri ketika salah satu pengawalnya menanyakan perintahnya. Suaranya begitu tenang meski baru saja mendapatkan kabar bahwa pamannya telah tewas dalam pertempuran.
Sebagai hasilnya, ia dan kedua anggota gandarwa langsung masuk ke sedan empat pintu Pontiac Streamliner DeLuxe dan melaju ke Mretani.
Sepanjang perjalanan sudah beberapa kali mereka diberhentikan oleh para batara, anggota kepolisian, untuk dicek identitas, tujuan dan keperluan mereka. Rupanya para batara sudah menyebarkan anggota-anggota mereka untuk menutup akses jalan bagi para Pendawa ke arah Mretani dan sebaliknya juga mengawasi para anggota jin dan gandarwa untuk keluar dari area mereka. Terlihat sekali para batara merasa bahwa kejadian ini bakal menjadi event yang sangat besar dan penting. Mereka merasa perlu terlibat dalam percaturannya. Para batara jelas merasa bahwa mereka harus ikut andil dalam intrik politik para raja bisnis terutama di tiga negara bagian selain Suralaya. Padahal sebenarnya para batara tidak benar-benar melakukan pekerjaan dan kewajiban mereka. Seringkali mereka cuci tangan dan pura-pura tidak mengetahui pertumpahan darah yang terjadi, terutama bila itu tidak ada sangkut pautnya dengan para batara dan negara bagian Suralaya. Bila sudah mengancam singgasana dan kepentingan mereka, baru mereka bergerak. Biasanya, para batara malahan sengaja membiarkan para pelaku bisnis raksasa ini saling menjatuhkan dan para batara akan memunguti remah-remah keuntungan dari situ. Maka dari itu Ratri mengendus kepentingan dari para batara atas konflik ini.
"Jadi ini yang namanya Dewi Ratri, putri mahkota keluarga jin Yudhistira yang malah akan memegang tampuk kekuasaan sang paman di Madukara, bukannya Mretani? Pasti anda orang yang sangat spesial ya?" nyinyir seorang anggota polisi pada pemberhentian ketiga. Tangan kanannya dibebat, sepertinya memiliki luka atau cidera di buku-buku jari atau kepalannya. Ia menempelkan siku tangan kanannya di jendela mobil Ratri.
"Memang benar apa yang pak batara katakan. Lalu apakah saya diberhentikan karena masalah ini? Apakah kebijakan yang menurut anda aneh tersebut membuat saya melanggar aturan?" jawab Ratri santai.
"Tentu tidak. Aku hanya ingin anda menyampaikan pada anggota jin dan gandarwa untuk tidak sekali-kali mencoba melawan hukum. Aku sendiri yang akan menangkap kalian atau keluarga Pendawa dari Astina Enterprise karena sudah mencari uang dengan cara ilegal di tanah Wanamarta ini."
"Bagus. Saya setuju dengan anda pak batara. Tapi harusnya sudah anda lakukan sedari dulu, ketika penjualan narkoba dan prostitusi anak-anak marak di tanah Wanamarta ini. Anda juga sepertinya paham siapa pelakunya tanpa saya beritahu, bukan? Orang yang diam dengan usaha ilegal ini pastilah orang yang tidak punya kekuatan dan kekuasaan atau sebaliknya, ia terlibat di dalamnya. Bukan begitu, pak batara?" balas Ratri dengan tetap santai.
"Anda pandai juga bermain kata. Tak heran paman anda yang telah tewas memberikan kursi kepemimpinan kepada anda. Sayang, anda yang harus memutuskan untuk menjaganya sendiri atau memberikannya kepada sang pembunuh paman anda sendiri, bukan begitu bunyi aturan perusahaan Mretani?"
Ratri menahan emosi dan kemarahan yang meluap-lupa denga gertakan gigi dan rahangnya yang terkatup rapat, "Maaf pak batara, paman saya baru saja wafat karena kecelakaan proyek pembangunan. Maklum, Madukara bergerak di bidang real estate dan properti, bukan? Jadi saya masih dalam kondisi berkabung, mohon pengertiannya. Saya juga harus bergegas ke Mretani untuk berkumpul bersama keluarga. Harap bapak-bapak batara sekalian tidak memperlambat anggota keluarga dan perusahaan-perusahaan Mretani yang datang untuk berkumpul bersama dan menjaga keamanan demi kekusyukan acara bela sungkawa keluarga kami."
Ratri menutup kaca jendela mobilnya, membuat sang batara cepat-cepat mengangkat sikunya dari pintu mobil. Tak lama Pontiac Streamliner DeLuxe itu kembali melaju.
"Para businessmen kurang ajar. Aku harap Samiaji mendapatkan lawan yang setimpal. Aku ingin lihat ia dan para jin dan gandarwa saling bantai," ujar sang batara dengan bebatan di kepalannya sembari meludah ke tanah.