Dalam dunia bisnis dan kekuasaan di negara Jagad Wayang ini sebenarnya tidak ada aturan seragam bagi siapa saja yang berhak memiliki sebuah perusahaan. Kepemimpinan sebuah perusahaan tidak melulu diturunkan kepada anak laki-laki atau tertua, atau diberikan kepada kelompok yang sama. Aturan di dalam dunia bisnis kelompok jin dan gandarwa jelas menjadi bukti. Orang ‘luar’ dianggap berhak memimpin dan menguasai sumber daya dan loyalitas mereka. Begitu juga bagi kaum buta dalam contoh Arimbi, misalnya. Ia jelas sudah diwanti-wanti untuk mejadi penerus kerajaan bisnis perusahaan Pringgandani Corporation bila Arimba, kakangnya, memutuskan untuk resign atau menyerahkan tahtanya.
Contoh lain yang tak tidak biasa atau tak lazim juga ada di dalam keluarga jin dan gandarwa. Dewi Ratri adalah penerus resmi perusahaan Madukara, yang notabene adalah perusahaan yang dimpimpin oleh Dananjaya, pamannya. Dewi Ratri sendiri adalah anak perempuan Yudhistira, pemimpin utama kaum jin dan gandarwa Mretani.
Sudah lama ia mendengar sepak terjang para Pendawa dalam menghadapi kaum buta dalam intrik perebutan kekuasaan dan kontrol bisnis Wanamarta. Sedikit banyak ini jelas mempengaruhi para jin dan gandarwa. Membuat mereka bertanya atas tindakan yang harus mereka ambil. Menilai desas-desus kepada mereka harus berpihak. Oleh sebab itu, pemimpin lah yang memiliki tanggung jawab terbesar dalam membawa dan membimbing jalan mereka.
"Bila aku tewas, Madukara ada di tanganmu. Tak pernah keluarga jin ataupun gandarwa melecehkan dan meremehkan perempuan. Kau paham itu kan Ratri?" ujar sang paman, Dananjaya, kepada kemenakan perempuannya tersebut suatu kala di masa lalu.
"Tapi paman, mengapa harus aku? Bukan kah ada setumpuk orang di Madukara yang mampu memimpin perusahaan ini? Lagipula, siapa yang mampu mengalahkan paman?" ujar Dew Ratri penuh selidik.
Dananjaya terkekeh, "Madukara bukan sekadar perusahaan, Ratri. Ia bagian besar dari Mretani, induk perusahaan yang dipimpin Ramamu, ayahmu, Yudhistira. Semua ini adalah masalah harga diri dan masa depan kaum jin dan gandarwa. Orang-orang yang mampu menguasai seratus persen jin dan gandarwa adalah orang yang pantas, atau sebaliknya, akan membawa kita celaka, jatuh ke jurang kehancuran. Selama ini kaum buta masih belum bisa menguasai kita sampai ke akar-akarnya. Tapi, kita sudah terlanjur kalah, kita terjebak dalam permainan kekuasaan. Kita masih khawatir akan menghancurkan habis masa depan kita bila menantang kaum buta, sebaliknya, kita juga enggan untuk benar-benar menuruti kemauan, apalagi mengakui kepemimpinan mereka. Banyak dari orang-orang jin dan gandarwa sudah terlanjur bermain uang dan kuasa, terlibat industri kotor, licik dan memalukan mereka. Sialnya lagi, kita juga masih diperdaya. Kita butuh pembebas," jelas Dananjaya panjang lebar. Penjelasan semacam ini sebenarnya tidak begitu rumit bagi seorang Ratri. Itulah alasannya mengapa Dananjaya memercayakan Madukara kepadanya, karena kecerdasannya.
"Maksud paman, para anggota Pendawa yang akan membebaskan kita? Bagaimana caranya?" tanya Ratri masih penuh dengan selidik.
"Tentu dengan menguasai Mretani, Jodipati, Madukara, Sawojajar, dan Buweratalum," ujar Dananjaya santai.
Wajah ayu Ratri yang mungil itu mengerut, "Maksud paman, engkau akan mengorbankan diri kepada para Pendawa agar mereka dapat memiliki Madukara?" respon Ratri gamblang.
Dananjaya kembali terkekeh. "Bukan mengorbankan diri, Ratri. Tidak tepat mengatakannya seperti iut. Tapi inilah yang terjadi dalam kehidupan jin dan gandarwa, Ratri. Pertama, aku tak akan rela membiarkan Kakang Dandun Wacana untuk mengambilmu sebagai penerus perusahaan Jodipati nya. Kau lebih pantas di Madukara. Kedua, kau pikir Pendawa akan dengan mudah mengambil alih Mretani dan semua anak perusahannya?"
Sekali lagi, inilah keunikan dari pembagian kekuasaan pada kelompok jin dan gandarwa. Siapa dan bagaimana kekuasaan itu diserahkan memang tidak selalu dengan cara yang lazim.
"Apa aku harus tersanjung dengan ucapanmu, paman?"
Dananjaya tertawa renyah, "Bisnis real estate dan furniture Madukara lah yang membentuk Mretani. Jodipati boleh jumawa karena perlindungannya, tapi konsep, bentuk dan definisi Mretani adalah jiwa kota kecil milik perusahaan ayahmu, dan Madukara Real estate & Property yang bertanggung jawab atasnya. Kau, putri seorang Yudhistira, memiliki sentuhan dan jiwa seorang jin yang tak terkorupsi, murni, cerdas, tajam, trengginas."
Ratri membenahi kerah flannel sheath coat dress berwarna abu-abu yang membantu memperlihatkan bentuk tubuh rampingnya. Dari purse nya ia keluarkan sebatang rokok Chesterfield mild namun tidak ia nyalakan, hanya ia mainkan di sela-sela jari mungilnya.
Percakapan kecil di masa lalu inilah yang terngiang-ngiang di telinga Ratri ketika ia mendengar dari mulut pamannya yang lain, Dandun Wacana, bahwa Dananjaya tewas di tangan Permadi. Madukara sudah menjadi milik anggota Pendawa itu. Namun begitu, Dandun Wacana juga menjelaskan bahwa ide Dananjaya untuk menyelamatkan gadis-gadis calon prostitusi dari bisnis buta telah berhasil. Alasan mereka untuk 'membeli' gadis-gadis muda itu untuk menjebak Bratasena dan para Pendawa ternyata dipercaya dengan baik oleh Brajadenta dan kroni-kroninya.
Dewi Ratri memang lebih dekat kepada pamannya yang satu itu, Dananjaya, dibandingkan paman-paman lain, bahkan ayahnya sendiri. Dari Dananjaya, Ratri memperoleh ilmu real estate dan property beserta bisnis legal dan ilegal yang ikut menyertainya. Setelah Mretani secara de facto berada di bawah kekuasaan kaum buta, bisnis properti Madukara harus mengikuti aturan yang diterapkan Pringgandani. Keuntungan yang didapatkan harus berasal dari kerja sama dengan perusahaan induk dan anak Pringgandani Corp. yang dimiliki oleh Arimba bersaudara. Madukara harus mampu memberikan keistimewaan real estate mewah dengan harga super miring pada anggota buta dan partner mereka dari mancanegara atau negara bagian lain. Perusahaan-perusahaan anak di bawah Mretani otomatis harus memutar otak untuk survive. Maka mau tak mau, para jin dan gandarwa memberikan kebijakan yang lebih kaku kepada klien yang non-buta. Ini membuat para jin lebih sering berkonflik dengan pelanggan, bahkan harus bersikap seperti rentenir demi mendapatkan keuntungan dan mempertahankan bisnis.
Dewi Ratri berada di balik meja Dananjaya, seperti yang diinginkan sang mendiang pamannya serta tentu saja oleh restu sang ayah. Yudhistira sendiri memang lebih sreg bila Ratri memegang Madukara dibanding Jodipati, yang merupakan ciri Dandun Wacana, atau perusahaan lainnya milik Nakula Sadewa. Meski uniknya, tak ada dari adik-beradik keluarga jin itu yang keberatan perusahaan mana dari mereka yang dipimpin oleh Ratri. Tentu hal ini berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan perilaku keluarga buta yang memiliki peta pertentangan kekuasaan serta intrik politik yang rumit di dalamnya.
Menurut Yudhistira, Dewi Ratri memiliki sifat dewasa dan matang. Baginya, jin gandarwa adalah kerajaan bisnis yang harus terus berlangsung. Bukan sekadar untuk kaum jin dan gandarwa itu sendiri, namun orang-orang lain yang ikut menyenderkan tubuh mereka pada Mretani, seperti para buruh, pekerja dan pegawai, serta para klien tentunya. Bisnis memang kejam, kerap kali ia harus menerima kenyataan memalukan berada di bawah superioritas para buta yang menurutnya memiliki pemimpin yang tak pantas untuk diikuti.