Di Mretani sendiri, persiapan para jin dan gandarwa benar-benar seperti akan menghadapi seubuah perang besar. Semua anggota keluarga mafia bisnis itu menjaga tempat-tempat strategis di pusat Mretani dengan menyembunyikan senjata api semacam revolver Colt Government atau M1911, atau jenis yang lebih kuno seperti Smith & Wesson M1917 dan Webley MKN IV, karena tidak sedikit anggota senior yang ikut 'turun lapangan', dan tentu saja mereka lebih merasa nyaman dengan senjata-senjata klasik ini. Semangat bandot-bandot tua itu tidak bisa dianggap enteng. Kematian bukan lagi menjadi masalah bagi mereka setelah puluhan tahun malang melintang di dalam dunia yang penuh kekerasan. Semangat melawan musuh, entah untuk memenangkan pertempuran ini atau sebaliknya, mati di medan perang, sama seperti seorang anak kecil yang bersemangat begitu senang mendapatkan sebuah mainan baru.
Di sudut lengkung berbeda, walau para batara bercokol menjaga di berbagai tempat pula, bahkan menjaga dan memeriksa jalan dan jalur masuk ke dan dari Mretani, kenyataannya tak ada satupun dari anggota kepolisian tersebut yang berada terlalu dekat dengan kota dan perusahaan Mretani. Para batara memutuskan untuk ambil bagian sebagai penjudi yang bertaruh untuk salah satu dari kedua pihak yang bertikai. Kadang mereka sedikit usil atau berlaku curang demi mendapatkan sedikit keuntungan dan kemenangan perjudian mereka.
"Rama, bukankah para Pendawa mengatakan bahwa mereka ingin berbicara dengan kita, terutama Rama? Tidak perlukah kita sambil kesempatan itu?" ujar Ratri setibanya langsung ke gedung utama perusahaan Mretani dimana sang ayah sedang duduk di ruang meeting yang luas itu seorang diri, sedangkan Dandun Wacana, Nakula dan Sadewa keluar dan berjaga di pintu.
Kedua mata Ratri berkaca-kaca menahan air mata, berbeda ketika saat mendengar kabar kematian pamannya, Dananjaya, dari Dandun Wacana atau ketika berhadapan dengan anggota batara di jalan tadi. Meski secara baik cenderung sempurna ia seperti dapat menyimpan perasaan itu baik-baik. Namun, sekarang, setelah berada di depan sang ayah, ada perasaan yang tidak mungkin bisa dan perlu ditutupi lagi.
Rambut Yudhistira yang sudah memutih masih terlihat tebal dan disisir klimis ke belakang. topi Fedora nya ada di atas meja. Tubuhnya yang sudah menua tidak menunjukkan kerapuhan, masih tegak dan tidak kendor, minimal tidak sekendor orang-orang seusianya. Ia berpakaian sangat formal kali ini dengan embroided waistcoats abu-abu yang fancy sehingga membuatnya terlihat elegan.
"Setelah kematian berlusin anggota keluarga jin dan gandarwa kita, serta pamanmu Dananjaya? Aku rasa tidak, Ratri. Kita tidak berbicara dengan mulut, tapi senjata," ujar Yudhistira tegas.
"Tapi Rama, dari awal Pendawa menginginkan untuk berbicara, bukan berperang, apalagi menguasai Mretani. Setahuku mereka hanya ingin berbisnis dengan baik di Wanamarta. Bukannya kita dapat bekerja sama dengan mereka?" entah apa yang ada di pikiran Dewi Ratri. Kekuatannya sebagai seorang perempuan perlahan luruh setelah mendapati bahwa kejadian besar ini tidak dapat dihindari. Kematian sang paman jelas sangat mengejutkannya.
Sang ayah menarik nafas. Ia mengambil sebatang cerutu, namun urung menyalakannya. Ia kembalikan cerutu itu ke kotaknya. Ia menatap anak gadis nya tersebut, "Anakku Ratri, kau lahir dengan jiwa yang baik. Itu bagus, Ramamu ini bangga akan itu. Tapi kenyataan di dunia memang tak selurus pikiran baik kita. Nantinya kau akan memutuskan sendiri apa yang memang harus ditentukan, dan bisa jadi keputusanmu itu aneh dan tidak dapat diterima di satu pola pikir dan sisi tertentu, namun hanya kau dan orang-orang yang paham benar atas keputusanmu yang dapat menerimanya," kali ini Yudhistira jadi juga mengambil cerutu dan menyalakannya.
"Wanamarta tidak bisa dianggap sepele. Tempat ini adalah lahan basah untuk uang dan kekuasaan. Keluarga kita sudah ratusan tahun menjaga kekuasaan agar kita dapat hidup dan bukan sekadar makan dan bernafas, namun mempertahankan prinsip dan harga diri, pola pikir, budaya dan mungkin juga falsafah hidup leluhur kita. Kaum buta sudah menguasai Pringgandani, mengangkangi Mretani dan memperbudak Wanamarta secara keseluruhan, maka berbagai macam cara kotor dilakukan untuk menghindari p********n dan rasa malu itu sebisa mungkin. Bisnis di negara Jagad Wayang bisa dikatakan tak mampu lagi membedakan cara putih dan hitam, legal dan ilegal, kotor dan bersih. Semua pihak, perusahaan, komunitas dan kelompok berusaha sekuat dan sebaik mungkin berada di atas. Tidak hanya untuk menguasai, namun puncaknya adalah agar dapat hidup damai dan bertindak sesuai nilai-nilai yang mereka anut,” ujar Yudhistira. Pandangannya menerawang.
"Wanamarta harus dikuasai dengan kekuatan dan kekerasan. Mretani harus memiliki masa depan yang terang. Ini harus dicapai juga dengan kekerasan. Para Pendawa mungkin hanya ingin berbicara, berusaha berbisnis dengan baik dan legal. Tapi mereka, seperti kau tahu, juga terlatih dalam menghadapi kekerasan. Mereka memiliki nafsu berkuasa, dan itu bagus. Perusahaan Astina Enterprise yang konon kudengar direbut oleh sepupu-sepupu mereka yang disebut keluarga Kurawa ternyata menghasilkan mafia bisnis kelas atas seperti para Pendawa. Mereka tak akan berhenti hanya dengan berbicara dan berbisnis baik-baik dengan Mretani dan Pringgandani, mereka harus menguasainya. Itu sudah jalannya, Ratri," Yudhistira menutup penjelasan panjangnya dengan satu tarikan panjang pada cerutu yang akhirnya ia ambil dan nyalakan juga.
Ratri menutup kedua kelopak matanya, membuat genangan air mata yang tersimpan sedari tadi akhirnya tumpah jua.
"Aku pun paham sebenarnya Rama. Tapi apa aku salah bila berharap Mretani dapat mengalahkan Pendawa kali ini, sehingga tidak akan ada lagi pertumpahan darah yang tak perlu?" ujarnya perlahan.
"Tentu tidak, tentu tidak ada salahnya, Ratri. Semua anggota keluarga kita pasti juga banyak yang berharap kita menang dan melenyapkan para anggota keluarga dan orang-orang Pendawa. Tapi aku berharap sebaliknya, anggap saja aku sedang bertaruh. Karena bila Pendawa berhasil menguasai Mretani, mereka akan melawan Pringgandani dan juga akan berusaha menguasainya untuk modal merebut kembali Astina Enterprise. Dengan begitu ..."
"Dengan begitu, para jin dan gandarwa akan juga berhasil memutus ratai p********n dengan kaum buta, mengangkat derajat di bawah pimpinan Pendawa. Anggota-anggota jin dan gandarwa akan mendapatkan semangat baru, meski kembali berada di bawah kekuasaan orang lain," potong Ratri.
Yudhistira berdiri, kemudian mematikan cerutunya, "Paling tidak ...," ia meninggalkan kalimatnya menggantung untuk dilanjutkan oleh Ratri.
"Paling tidak, Mretani berserta semua anak perusahaannya termasuk anggota keluarga jin dan gandarwa, kelak akan bisa dipimpin oleh orang-orang kuat dan pantas," lanjut Ratri. Air matanya mengalir lebih deras tanpa bisa ditahan lagi. Ia menangis tanpa suara. Keteguhan terlihat diusahakan bahkan dipaksanakan oleh sang perempuan. Yudhistira tersenyum penuh kasih sayang. Ia mendekati Ratri dan memeluk tubuh anak gadisnya tersebut. Ia semakin yakin bahwa di masa depan Dewi Ratri akan memberikan sumbangsih besar pada kerajaan bisnis keluarga jin dan gandarwa Mretani.
Keduanya berpelukan sampai menguras emosi yang tersisa.