The Agni

1054 Kata
Arimbi mengencangkan bandana merah di kepalanya, kemudian menutupnya lagi dengan cap. Ia juga menyelipkan dua buah senjata baton di balik overcoat berwarna gelapnya. Tak lupa ia mengenakan bandana lain untuk menutup mulut dan hidungnya serta melepaskan kedua giwang lebar dari telinganya. Ia mengingat larik-larik cerita dan tulisan yang dikenal para buta sejak mereka masih kecil. Dijelaskan bahwa "Para raksasa waspada berteriak keras amat galak, seakan- suara guntur bergemuruh, semua bersiap dengan senjata, sepanjang jalan bergembira, mempertontonkan watak mereka." Tulisan ini menjelaskan betapa hebatnya kaum buta dalam semangat dan kekuatan mereka. Walau kadang tak begitu suka, Arimbi merasakan darah buta nya menggelegak bak raksasa. Bangunan itu terletak cukup menonjol di balik perbukitan yang menjorok ke arah sebuah danau raksasa, sekitar dua puluh menit perjalanan menggunakan mobil dari pusat kota Pringgandani mengitari bukit. Ada sebuah pelabuhan lama di samping bangunan terang yang berkesan mewah tersebut. Sebenarnya istilah 'pelabuhan' tersebut lebih merujuk kepada sebuah dermaga kecil yang dahulu digunakan untuk membawa barang-barang dagangan dari dan ke luar Pringgandani sebelum jalan darat dibangun dengan baik. Kadang-kadang dermaga itu masih digunakan, tapi tidak seramai dulu. Arimbi mencurigai bahwa penjualan bhanga dan women trafficking juga melalui jalur ini. Agni namanya. Sebuah restoran fancy berlantai tujuh yang juga adalah sebuah hotel. Lampu-lampu kristal nya memendarkan sinar-sinar putih terang di balik jendela-jendela kacanya. Mobil-mobil mewah seperti Cadillac Fleetwood Limousine berwarna hitam mengkilat atau Austin Princess III terparkir rapi di depan restoran dan hotel Agni tersebut. Sejauh matanya dapat memandang, tidak terlihat ada lambang api tertempel di pintu, jendela atau dinding, atau dimanapun seperti yang dijelaskan adik bungsunya, Kalabendana. Restoran dan hotel bernama Agni tersebut menggunakan namanya, dengan font standar, sebagai logo itu sendiri. Padahal Arimbi sempat berpikir bahwa nama Agni menjadi semacam penghargaan dari kaum buta terhadap hubungan kaum jin dan gandarwa, dimana keduanya memiliki sejarah yang panjang, sama-sama merupakan kaum 'terpinggir' dalam dunia bisnis. Agni mungkin saja merujuk pada hubungan kedua kaum ini yang dianggap bermain di dalam api. Mereka menggunakan kekerasan dan melakukan semua jenis bisnis yang memungkinkan, termasuk bisnis ilegal dan bisnis gelap. Itu sebabnya puluhan tahun yang lalu, kaum jin gandarwa memutuskan menatokan lidah api di tubuh mereka sebagai bentuk identitas dan solidaritas. Sedangkan para buta masih menempatkan diri mereka di atas, sebagai senior, mungkin berperan sebagai ayah bagi para jin dan gandarwa. Bagi para buta, lambang lidah api mungkin bukan sebagai bentuk penghargaan, namun lebih sebagai cibiran dan hinaan. Sialnya, Arimbi masih belum menemukan letak lambang jin dan gandarwa itu tertempel di manapun. Perlahan ia memutari bangunan dan merengsek maju. Wujudnya tersamarkan oleh pepohonan dan kekelaman malam meski larik-larik sinar berpendaran menembus gelap, menyobek malam. Arimbi sempat berpikir apakah Agni berada di dalam restoran sekaligus hotel berlantai tujuh tersebut? Apakah Agni merupakan sebuah kamar, atau ruangan khusus yang disembunyikan dan dijaga ketat sehingga hanya orang-orang tertentu dengan akses khusus yang dapat masuk ke tempat tersebut? Bila ya, berarti mau tidak mau Arimbi harus masuk ke dalam hotel tersebut. Tapi tunggu! Kalabendana menjelaskan bahwa Agni adalah sebuah bangunan. Dan bila adiknya itu bisa mengikuti adik-adik buta nya yang lain ketika sedang melancarkan aksi dan bisnisnya, berarti, Agni pasti berada di luar. Damn, it's obvious! Di dalam otaknya terpercik sesuatu. Tentu saja ia tak menemukannya, dan tak akan menemukannya di dalam sana. Itu jelas karena mereka memang tidak ingin Agni segampang itu ditemukan. Arimbi mengendap-endap mengitari hotel semakin jauh. Tubuh jangkungnya ternyata sangat cekatan. Dengan begitu gesitnya, ia berhasil tak terdeteksi oleh para guard atau penjaga dari kaum klan buta yang juga mengikutsertakan beberapa orang dari kelompok gandarwa. Benar juga apa yang dikatakan oleh Kalabendana, bahwa penjagaan mereka cukup ketat. Andaikata ia adalah tamu restoran, mungkin kenyataan bahwa bangunan ini dijaga ketat tidak akan kentara, karena biasanya tamu hanya kan masuk ke dalam restoran atau hotel ini dan menikmati suasana dan fasilitasnya. Namun sekarang Arimbi sadar bahwa ada sesuatu dibalik semua hal ini yang disembunyikan begitu baik. Bagaimana mungkin sebuah restoran dan hotel mewah seperti ini menggunakan penjaga dengan dilengkapi Browning M2, Browning M1919 atau Browning Automoatic Rifle (BAR), senapan mesin otomatis yang ditujukan untuk berperang, bukan lagi sekadar menjaga sebuah hotel dan restoran? Arimbi menarik nafas perlahan. Giwang lebar para buta penjaga memantulkan sinar berkilauan keperakan. Moncong senapan otomatis mereka menghadap ke bawah namun tetap menunjukkan kegarangannya. Arimbi masih murunduk mengendap-endap di balik pepohonan rapih yang emang ditanam untuk membangun suasana pendukung restoran dan hotel Agni. Uniknya, benar memang di bagian samping bangunan itu terdapat sebuah dermaga lama yang belum benar-benar ditinggalkan, meski Arimbi sebelumnya menyangka bahwa dermaga itu sudah tak berfungsi dengan baik. Di dermaga kecil itu, masih terlihat beberapa speedboat, perahu dan perlengkapan lainnya. Air danau yang gelap bagai cermin ketika memantulkan cahaya yang menyelip dari pepohonan. Arimbi memutuskan untuk menjauh dari hotel Agni dan merengsek ke dermaga kecil yang menarik perhatiannya tersebut. Dermaga dengan titian kayu dimana balasan kapal dan fiberglass speedboat berwarna terang tertambat di sana sebenarnya tidak benar-benar bisa dikatakan tua. Selain karena kegiatan yang sedikit berkurang tidak ada ciri lainnya yang membuat dermaga ini seperti terlantar seperti pikir Arimbi sebelumnya. Apalagi jelas terlihat jejeran Skagit 20 Express Hardtop merah terang, Glasspar Delmar merah putih yang mewah atau beberapa koleksi Chris Craft berwarna gading. Jelas fancy speedboat ini dimiliki para buta, mungkin juga saudaranya sendiri. Beberapa orang anggota buta terlihat merokok dan berjalan mondar-mandir di titian kayu, menciptakan suara berderak dan mendecit oleh kaki mereka. Senapan laras panjang tersampir di punggung dan bahu mereka, dengan pistol menggantung di pinggang. Arimbi merunduk mendekat. Tak berapa lama barulah ia melihat sebuah bangunan berukuran sedang yang sama sekali tak diperhatikannya sebelumnya. Itu karena bangunan tersebut berada di dekat dermaga, sehingga terpercik di dalam pikirannya bahwa itu adalah bagian dari dermaga itu sendiri, serupa gudang atau bangunan untuk menyimpan speedboat atau perahu. Dengan jelas, terlihat sebuah pintu kayu dengan logo api yang memerah terang dijagai oleh lima orang anggota buta bersenjatakan shotgun dan senapan mesin otomatis. Arimbi menarik nafas panjang. Di sinilah rupa-rupanya bangunan yang sedari tadi ia cari. Jelas sekali bahwa di balik pintu itu, pastilah ada hal yang sangat dirahasiakan dan ditutupi dari orang-orang, dan mungkin hanya mereka yang dikenal dan dipercaya yang dapat masuk ke dalamnya. Tak lama, Arimbi merasa ada keanehan dari bangunan tersebut. Terlihat bahwa pintu kayu berlambang api itu seperti menuju ke ruang bawah, tanah karena tidak ada struktur bangunan tinggi di baliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN