Bratasena tentu tidak tinggal diam. Ia tidak mau terus-terusan dijadikan sasaran tembak musuh. Segesit-gesit gerakannya, bila dihujani peluru semacam itu, tetap saja ia akan menjadi korban pada akhirnya. Bunyi ledakan menyaru dengan bunyi benturan peluru pada material yang pecah berantakan. Memekakkan telinga sekaligus membuat adrenalin semakin terpacu. Darah Bratasena menggelegak dan terbakar. Maka, pada saat yang tepat, ia menunduk, mempersiapkan shotgun nya, kemudian mengankat tubuhnya dengan cepat sembari melepaskan tembakan.
Ledakan dari peluru shotgun Bargawa menubruk dinding, tapi pecahannya melukai bahu salah satu anggota jin. Jarak antara dirinya dan musuh yang diserangnya memang tak bisa dikatakan dekat, namun dengan kecepatannya, Bratasrena menggunakan kesempatan itu untuk maju menyerang, melompat tinggi dan menanamkan kudhi yang sudah ada di tangan kirinya ke leher sang musuh yang langsung terkapar dengan leher mengucurkan darah menggelegak keluar. Satu lawan sudah tewas.
Bratasena mengarahkan Bargawa nya pada satu lagi lawannya. Tembakannya meleset, pecah menghajar tembok dan pilar, namun Bratasena tidak mau membuang-buang waktu. Sekali lagi seperti sebelumnya, ia segera menghambur secepat kilat, menepis senapan M1 Carbine sang penyerang yang mengarah kepadanya, menusukkan kudhi berkali-kali ke wajah, leher, dan d**a sehingga sang anggota jin terkapar bersimbah darah sama seperti rekannya.
Dua orang tadi ternyata memang hanya makanan pembuka. Buktinya, lima orang anggota jin dan gandarwa tiba-tiba menyerbu dari kegelapan. Tiga menyerang paling depan menggunakan machete dan pisau, sedangkan dua penyerang lagi di belakang menghambur dengan memuntahkan peluru dari revolver mereka. Bratasena menghajar kepala seorang jin yang menyerang menggunakan machete keras sekali dengan Bargawa nya yang digunakan sebagai semacam senjata pukul. Ini membuat sang jin terpelanting. Tidak ada waktu mengisi peluru bagi Bratasena. Ia kembali memutarkan Bargawa nya menepis dua serangan pisau susulan sambil menghindari desingan peluru.
Di sisi lain, Pinten Tangsen melompat maju, Beretta mereka meledakkan isinya berkali-kali menembus d**a para penyerang yang memegang revolver. Tidak sampai disitu, keduanya juga memanfaatkan pisau combat dan Bowie untuk mendukung serangan senjata api mereka. Pinten Tangsen membabat kedua jin itu, memastikan mereka benar-benar mati. Pinten maju dengan begitu cepatnya, menembakkan Beretta ke paha dan membabatkan pisaunya ke leher musuh yang tersisa, membuatnya terdiam selama-lamanya.
Begitulah cara bertempur sepasang adik-beradik tersebut. Menembak bukanlah spesialisasi mereka, meski siapapun tahu bahwa senjata api begitu penting apalagi dalam melawan musuh yang berada di jarak tertentu, apalagi banyak. Keduanya akan merengsek maju dengan cepat, menembakkan senjatanya dan memainkan sepasang pisaunya. Dengan begini, andaikata tembakan mereka meleset atau hanya mengenai sedikit saja bagian tubuh target, mereka dapat segera menuntaskan pekerjaan mereka, memastikan nyawa musuh sudah melayang.
Namun, ada pula masalah dalam taktik dan kebiasaan mereka ini. Yang jelas mereka harus cepat dan gesit serta aktif untuk terus bergerak maju menyerang. Akan menjadi bermasalah ketika lawan yang dihadapi berjumlah terlalu banyak dan berada dalam jarak yang susah untuk digapai. Berbeda dengan Permadi yang memiliki kemampuan menembak yang di atas rata-rata. Dari jauh pun, ia dapat menyelesaikan pertempuran bahkan tanpa berpeluh. Itu sebabnya, nampaknya kelemahan mereka ini digunakan dengan baik oleh para jin dan gandarwa. Buktinya, beberapa langkah di depan Pinten dan Tangsen terlihat beberapa sosok berlarian menjauh. Pinten dan Tangsen menembaki mereka sembari terus mencelat maju.
Bratasena sendiri sudah membuat dua penyerangnya terlempar dan terkapar kehilangan nyawa dengan dua kali gebrak. Satu orang pengikut Pendawa yang masih hidup muncul terlambat dengan Remington Model 870 nya. Kebetulan sekali kemunculannya dilanjutkan dengan tembakan ke satu arah dimana terlihat dua orang lagi dari kelompok jin dan gandarwa menyerang dengan senjata api. Satu orang anggota jin tewas dengan d**a pecah akibat Remington miliknya, sedangkan ironisnya, orang dari pihak Pendawa yang tingga satu itu sendiri terlempar karena kepalanya meledak oleh Colt 1908 Pocket Hammerless .380 ACP. Ia tewas seketika. Habis lah sudah pengikut Pendawa yang berangkat dari lobby hotel di Wanarma Town, menyisakan Bratasena, Pinten dan Tangsen.
Namun demi melihat kedua adiknya mengejar para penyerang ke arah yang berbeda, Bratasena berteriak ke arah mereka. "Pinten Tangsen, jangan terpancing!" seru Bratasena. Tapi terlambat, Pinten Tangsen sudah menghambur maju menembaki sosok-sosok jin dan gandarwa yang sepertinya menghilang lebih dalam ke sisi-sisi bangunan di Jala Sutra.
Pinten dan Tangsen adalah dua pemuda yang gesit, lincah dan cepat. Bila Bratasena gesit dengan langkah-langkah lebarnya, kedua saudara kembar tersebut seperti kelinci di darat atau bajing yang melompat dari satu bangunan ke bangunan lainnya. Benar saja, satu gandarwa terpelanting ke depan karena satu peluru dari Beretta Tangsen bersarang di punggungnya.
Tapi jumlah mereka yang tersebar di segala penjuru namun dalam posisi melarikan diri sangat menggoda Pinten dan Tangsen. Bisa dikatakan, Pinten dan Tangsen benar-benar menjadi sepasang kelinci yang perlahan memasuki jeratan dan jebakan. Mereka seperti dua orang anak-anak yang gemas untuk membunuhi semut-semut yang bubar jalan dari rombongannya karena tersentuh tangan mereka. Itulah yang membuat mereka juga saling terpisah juga dari Bratasena. Keduanya berlari bagai kesetanan, menembaki musuh yang berpencar menjauh.
Bratasena ingin untuk segera mengikuti adik-adiknya, mengumpulkan mereka agar tidak tercerai-berai. Namun entah dari mana, seakan muncul dari dalam perut bumi, beberapa sosok jin dan gandarwa datang dengan senjata api menyerbu seperti ombak. Desingan peluru menghujaninya. Ia tidak begitu merasakan bagian mana tubuhnya yang terserempet pelor. Yang ia tahu, sekarang kedua tangannya sudah menggenggam Pancanaka, sepasang kudhinya.
Bratasena merunduk dari balik puing-puing, kemudian bagai seekor kucing besar ia meloncat tinggi dan menghujam sekaligus dua penyerangnya, menanamkan Pancanakanya menembus ke d**a mereka. Dua anggota jin lagi tewas. Bratasena bersimpuh, paha kirinya terluka tertembus peluru, sedangkan luka di leher dan dadanya karena tembakan tempo hari kembali terbuka mengirimkan rasa sakit ke otaknya. Kepalanya langsung berkunang-kunang. Pandangannya pun memburam. Tapi dengan sisa kesadaran, Bratasena mundur dengan cepat dan bersembunyi di balik pilar sedangkan desingan peluru terus menghajar pilar dibaliknya dan lantai di dekat ia berlindung, menghancurkannya menjadi puing-puing. Sosok-sosok bersetelan hitam dengan tato lidah api dan lidah api di dalam lingkaran hitam perlahan merengsek maju sembari meloloskan peluru-peluru dari senapan mereka. Debu bertebaran membumbung ke angkasa bersama dengan pecahan material.
Bratasena menggeram kesal karena ia berada dalam keadaan yang sulit. Ia tidak meragukan kemampuan kedua adik kembarnya itu, tapi jelas sekali jebakan yang disiapkan musuh sudah berhasil di level pertama. Entah apa yang akan terjadi kepada kedua adiknya itu bila ia tidak segera mampu membantu adiknya.