Di dalam ruangan tersebut, duduk di sisi lain, Anggaraparna, seorang laki-laki setengah baya berkumis dan berjenggot cukup rapi namun sudah memutih dengan tato lidah api dengan lingkaran hitam sedang menghisap cerutu La Corona nya. Nampaknya ia memiliki posisi penting di dalam keluarga jin dan gandarwa ini karena terlihat dari gayanya yang begitu bossy, terutama dengan kalung emas yang melingkari lehernya serta cincin dan jam emas yang menghiasi jari dan pergelangannya. Sebuah unjuk diri akan kekuasaan, kekayaan dan gengsi.
Tepat di di depan pria setengah baya bernama Anggaraparna tersebut, di atas meja, ada sebuah senjata api, gold plated Walther model PPK semi-automatic pistol atau pistol berlapis emas yang terukir indah. Anggaraparna adalah perwakilan dari kelompok para gandarwa yang pada dasarnya adalah 'sepupu' dekat dari kelompok persaudaraan jin.
Duduk pula di samping Anggaraparna, Damdarat. Orang ini adalah ujung tanduk kelompok jin yang memegang 'pasukan' baik dari golongan keluarga jin, gandarwa atau orang-orang sewaan dan suruhan lainnya. Rambutnya panjang ikal, ditutupi fedora hitam. Ia mengenakan setelan lengkap hitam dengan bow tie yang juga berwarna hitam. Tidak lupa gelang rantai emas melingkar di kedua lengannya sebagai bentuk unjuk diri status. Ia juga sedang menyalakan cerutu yang diberikan Anggaraparna tadi.
Bila diperhatikan dengan seksama, dibandingkan dengan rata-rata perawakan keluarga buta Pringgandani yang gempal dan besar, keluarga jin dan gandarwa nampaknya lebih memiliki tubuh-tubuh yang tinggi dan jangkung, meski tubuh mereka juga cukup besar dibanding orang rata-rata. Mungkin secara alami, para kelompok jin dan gandarwa memang tepat ketika mengerjakan tugas-tugas ‘lapangan’ yang menuntut mereka melakukan semuanya denga gesit dan cepat, dari sekadar enagih hutang, sampai bila terpaksa harus menculik dan membunuh, serta menyerang musuh – seperti yang pertama dilakukan mereka di bar milik keluarga Pendawa.
Walau ruangan itu terkesan hening, dimana hanya terdengar kasak-kusuk rendah percakapan Nakula Sadewa, namun tidak ada terlihat dan terasa suasana muram atau mengerikan. Ruangan ini memiliki interior minimalis dan modern dengan penerangan yang tidak hanya memadai, namun juga kuat, menciptakan atmosfir kenyamanan. Meja besar di tata di tengah ruangan namun dengan susunan sofa yang juga mengakomodir tingkat kenyamanan orang yang duduk.
Memang agak ironis bila mengingat kelompok jin gandarwa di Mretani ini bekerja dalam pertikaian, perkelahian, pertarungan, pertentangan, pertempuran dan darah di lapangan. Kebanyakan dari mereka turun langsung ke lapangan, melaksanakan kerja fisik ini bagai antek-antek kelompok yang superior daripada mereka. Dalam hal ini adalah buta.
Keheningan ruangan tersebut tiba-tiba terpecah oleh suara pintu dengan dua daun terbuka. Yudhistira sang pemimpin masuk ke dalam ruangan. Rambut klimisnya disisir ke belakang dengan sangat rapi, ditutupi topi homburg coklat gelap yang elegan. Setelan kemeja gelap juga dikenakan dan ditata dengan rapi. Cara berjalannya sungguh berkarisma, terlihat sekali ia sangat dihormati dan didengarkan oleh semua anggota keluarga jin serta gandarwa.
Merespon kedatangan sang sosok penting ini, semua anggota jin dan gandarwa sontak serentak berdiri.
"Aku bertemu Samiaji. Pemimpin dari keluarga Pendawa," ujar Yudhistira langsung kepada semua orang di dalam ruangan yang sedang berdiri. Pandangannya menyapu ke seluruh ruangan. Menatap setiap pasang mata orang yang hadir di sana, tanpa kecuali untuk menunjukkan keseriusan dan kesungguhannya.
Tentu setiap pasang mata langsung menyipit, mereka mengernyitkan keningnya demi mendapatkan informasi mengejutkan tersebut. Entah bagaimana, entah kapan pertemuan itu terjadi. Bahkan mereka di sini, para pentolan dan penguasa divisi industri, bisnis dan beragam urusan jin dan gandarwa sudah dikumpulkan di tempat ini demi membahas perihal kedatangan keluarga Pendawa yang tiba-tiba saja merongrong sepak terjang dan pekerjaan mereka. Bahkan bisa dikatakan pula, keluarga Pendawa dan bisnis mereka secara langsung maupun tidak telah menantang keluarga buta.
Tapi belum ada yang bereaksi atau mencoba bertanya. Mereka masih bermain-main di dalam pikiran dan menebak-nebak bagaimana dan apa yang sebenarnya terjadi pada kakang sekaligus pemimpin mereka, Yudhistira, dengan pemimpin kaum Pendawa yang bernama Samiaji tersebut.
Yudhistira melanjutkan. "Orang itu terlihat bijaksana dan berani. Tapi kuakui susah sekali melihat dan menebak ada apa di dalam otaknya. Wajahnya sedingin es dan sekeras batu. Tapi dari mulutnya sendiri ia mengatakan bahwa ia ingin untuk tidak ada sengketa yang berlanjut di antara keluarga Pendawa dan jin serta gandarwa. Katanya ia paham posisi kita dan hubungannya dengan kaum buta. Ia dan para anggota keluarga Pendawa serta rombongan mereka menginginkan kedamaian dan tidak saling mengusik. Bisnis akan dijalankan dengan normal serta saling menguntungkan." Suara Yudhistira tidak terlalu dalam, tapi sangat tegas dan jelas.
"Llau, kau jawab apa Kakang?" Dandun Wacana yang akhirnya pertama bereaksi atas ucapan Kakang nya itu.
"Kau tahu betapa malunya aku?” ujar Yudhistita pelan. Pandangannya ke bawah. “Samiaji mengatakan ia paham terhadap posisi kita dan hubungan kita dengan kaum buta. Aku tahu maksudnya, aku juga tahu ia tak bermaksud menghina, tapi harga diri jin dan gandarwa memang telah terhina lama. Samiaji dan para Pendawa menambahkannya."
Ketegangan mulai muncul di raut wajah para anggota keluarga jin dan gandarwa. Begitu pula suasana ruangan itu yang semakin intens dan memanas.
Sebaliknya, ketika Yudhistira mengangkat wajahnya, ia malahan sedang terkekeh, "Aku ternyata hormat terhadap Samiaji. Kesopanannya, keberaniannya dalam bertindak dan pemilihan kata-katanya adalah hal yang langka dalam dunia kita ini,” wajah-wajah saling pandang seakan bingung harus berkata apa, bahkan berpikir pun mereka masih buntu.
Pandangan Yudhistira menerawang, “Dalam waktu dekat aku akan menjajal langsung kehebatannya seperti yang banyak diceritakan orang. Ingin kutanamkan tinjuku di wajahnya yang tanpa ekspresi itu."
Dandun Wacana dan anggota lain ikut terkekeh lepas. Ledakan tawa perlahan merambat ke setiap anggota. Mereka lega bahwa sebuah tindakan keras harus dilakukan kepada keluarga Pendawa yang baru saja datang dan mencoba mengganggu kehidupan mereka tersebut.
"Sudah cukup kita direndahkan oleh para buta. Kita tidak akan pernah digunakan lagi sebagai kaki tangan para cecunguk-cecunguk Pringgandani itu sehingga orang-orang menertawakan serta memandang rendah kepada kita, kaum jin dan gandarwa. Aku juga tak sudi dikasihani oleh orang-orang semacam Samiaji dan saudara-saudaranya yang baru seumur jagung dan masih hijau dalam dunia bisnis dan kekuasaan ini. Mereka boleh saja salah satu pewaris Astina Enterprise, tapi untuk menjajal Mretani, mereka harus melakukannya sendiri dengan tangan mereka," ujarnya setelah kembali memindai ruangan dan memperhatikan wajah semua anggota keluarganya.
"Kita hanya memiliki harga diri. Bila itupun tidak kita miliki lagi, untuk apa kita hidup? Mretani bukan sekadar area industri, bukan sekadar kerajaan bisnis. Mretani adalah sebuah konsep, sebuah mimpi dan falsafah hidup kita,” tegas sang pemimpin keluarga dan bisnis jin serta gandarwa tersebut.