The Voice

1037 Kata
Yudhistira, sang pemimpin, kembali menatap mata para saudara dan rekan serta sahabat-sahabatnya dari kelompok dan klan gandarwa. "Di masa dahulu semua pesaing bisnis kita gentar ketika masuk ke Wanamarta. Para buta, para batara, apalagi keluarga Bharata dan Kuru,” jelas Yudhistira sebagai pengingat kehebatan dan hubungan mereka di masa lalu. Suaranya sedikit bergetar karena penuh dengan emosi yang ditahan agar tak meluap-luap apalagi meledak-ledak. Jin dan gandarwa tak mungkin dapat dipisahkan baik secara sejarah maupun emosi. Tak lama, sang pemimpin yang memiliki wibawa luar biasa itu kemudian melanjutkan, “Kita memang mungkin memiliki banyak kelemahan, kita juga bukan yang terkuat, tapi bukan berarti kita tidak punya aturan dan moral code yang harus diikuti dan ditaati oleh semua anggota klan kita ini. Sudah sedari lama kita memahami dan mengerti dengan baik bahwa para kelompok dan keluarga utama buta jelas bukan pemimpin yang baik, bijak, dan bisa diandalkan. Mereka tidak sekadar b******k, b***t dan tak memiliki aturan main sehingga semua ciri itu membuat mereka tak pantas untuk dihormati. Namun mereka juga dungu dan sembrono. Kebodohan mereka menutupi kebijakan dan kebijaksanaan yang entah mereka miliki atau tidak," jelas Yudhistira panjang lebar. Sebuah penjelasan yang masih ditujukan dan diarahkan kepada klan gandarwa, saudara seperjuangan kaum jin. Semua mata memandang khidmat dan khusuk kepada Yudhistira yang sejak pertama datang selalu berdiri itu. Sedikit banyak, walau Yudhistira belum sampai ke inti permasalahan, mereka paham benar kemana arah pembicaraan ini. Semua orang di dalam ruangan itu merenungkan ‘kesialan’ mereka selama ini karena berada di bawah kekuasaan dan bayang-bayang kelompok buta. Padahal bisa saja mereka melawan dan menentang kekuasaan dan penindasan ini. Mereka memiliki kesempatan. Mereka memiliki kekuatan dan semangat, bahkan termasuk fasilitas dan sumber-sumber pendukung untuk struggle tersebut. Tapi aturan main, moral code dan falsafah yang mereka pegang sejak mungkin ratusan tahun yang lalu, secara ironis, memenjarakan dan membatasi gerak mereka sendiri. Bagaimanapun aturan main yang mereka taati tersebut mengidentifikasi siapa mereka sejatinya. Maka, melanggarnya sama dengan tak beridentitas lagi. Pelanggaran akan moral code bukanlah sebuah pilihan sama sekali. "Lalu, apa titahmu Kakang?" setelah hening sesaat, Dandun Wacana yang angkat bicara. Suaranya menggelegar dari pojok ruangan, membuat yang lain terbangun dari pemikiran mereka sendiri-sendiri. Sepasang mata Yudhistira berbinar-binar dengan semangat yang membara sebagai respon atas pertanyaan adiknya tersebut. "Kita serang para Pendawa habis-habisan," ujarnya datar namun berisikan tenaga, meski walau masih menahan letupan emosi. "Bukankah itu malah akan menunjukkan bahwa kita benar adalah bawahan kaum buta?" kali ini Dananjaya yang bereaksi mendengar jawaban sekaligus perintah sang kakang. Kedua matanya mengernyit memandang sang kakang. Meski ia paham bahwa pertumpahan darah bakal terjadi dan tak mungkin untuk dihindari, ia terkejut pula mengetahui bahwa sang kakang tertua keluarga klan jin ini memerintahkan mereka untuk menyerang keluarga Pendawa, penguasa bisnis di pusat Wanamarta Town yang sebenarnya merupakan bagian dari perusahaan raksasa Astina Enterprise itu. Mendengar pertanyaan reaksi Dananjaya, Yudhistira tertawa sinis dan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kita melakukan ini bukan untuk mereka, bukan untuk para buta k*****t itu. Terserah apa yang mereka ingin pikirkan. Mereka boleh tertawa dan ongkang-ongkang kaki di singgasana mereka di Pringgandani Corporation, tapi kita akan tunjukkan dan buktikan kepada diri kita sendiri bahwa walau kita harus mati pun, kita mati untuk Mretani. Kita lihat seberapa hebat para Pendawa. Apa mereka membawa serta nama dinasti Bharata dan Kuru di punggung mereka?" ujarnya panjang lebar. Bila ditilik baik-baik, sebenarnya para anggota keluarga jin ini tidak lagi muda, mereka sudah cukup makan asam garam dunia. Yang paling bungsu, paling tidak Nakula dan Sadewa sudah hampir empat puluhan umurnya, jelas lebih tua dari si bungsu kembar Pinten Tangsen dari keluarga Pendawa yang baru saja mencapai dua puluh tahun. Yudhistira jelas sudah dua kali lipat umur putra sulung keluarga Pendawa, Samiaji. Dalam umur yang sudah menua, kaum jin dihadapkan dengan kondisi mereka yang secara politis dan bisnis berada di bawah kekuasaan para buta. Ini sangat menyakitkan bahkan sampai ke tulang-tulang dan sumsum mereka. Seperti yang dijelaskan oleh Yudhistira, permasalahan terbesar adalah bahwa penguasa mereka bukanlah jenis pemimpin yang pantas untuk diabdi.  Kaum jin dan gandarwa dalam sejarah selalu menjadi momok kelompok perusahaan, bisnis dan industri termasuk para preman, gangster dan mafia yang terikut di dalamnya. Kaum jin gandarwa adalah kelompok laten yang berbahaya dan militan dalam menjaga daerah mereka. Mereka digentari sampai kekuasaan mereka perlahan runtuh oleh dinasti Bharata dan Kuru, terutama pimpinan Astina Enterprise, Master Pandu. Sayangnya setelah ketiadaan Master Pandu, Wanamarta diam-diam dikuasai para buta. Klan Jin dan gandarwa yang telah hancur terinjak kaki Astina Enterprise yang kuat menjadi semakin lemah dan dengan mudah dikuasai Pringgandani beserta kelompok buta nya.  Di sinilah mereka terjebak. Tidak bisa dihindarkan segala pemikiran yang saling bertolak belakang dan bertentangan di dalam tengkorak kepala para anggota jin dan gandarwa di ruangan itu. Dari awal telah diketahui, disadari dan dipahami bahwa aturan main adalah yang membuat klan jin dan gandarwa menjadi siapa mereka saat ini. Di sisi lain, ancaman yang nyata dari keluarga Pendawa sudah berada di depan mata. Mereka tak peduli siapapun yang mengganggu kedaulatan kekuasaan mereka di Mretani, mereka akan berani menghadapinya. Bahkan ketertundukan yang menyakitkan di bawah kekuasaan kelompok klan buta ini juga adalah sebuah bentuk pengorbanan untuk melindungi klan jin dan gandarwa berserta Mretani sebagai refleksi kehidupan dan identitas mereka sendiri. Lalu, bagaimana pola pikir sang pemimpin, Yudhistira dalam menghadapi para Pendawa tanpa harus melanggar moral code mereka namun di sisi lain tak mengorbankan harga diri, baik di depan keluarga Pendawa maupun klan buta? Semua pasang mata memandang lurus ke arah Yudhistira. Batin mereka masih terus bertanya-tanya, sampai pelan-pelan masing-masing dari mereka menimbang segala sesuatu, termasuk menebak kemana arah pemikiran sang pemimpin klan jin dan gandarwa tersebut. Herannya lagi, Yudhistira seperti berada di dalam dunianya sendiri. Kerumitan pemikirannya hanya ada di jiwanya, belum bisa disaksikan oleh yang lain. Itulah sebabnya, Yudhistira kerap kali digambarkan sebagai seorang pemimpin yang cerda dan bijak, namun juga misterius dan kompleks. Semua pemikirannya selalu melalui sebuah proses kebijaksanaan panjang. Kondisi mereka yang terhimpit pada kepentingan diri dan kepentingan penguasa, yaitu klan buta, memang membutuhkan pemikiran yang mendapalm dan keputusan yang paling baik dan bijak. Tak ada yang bisa menyalahkan kompleksitas pengambilan keputusan gaya Yudhistira tersebut. Namun ini sama sekali tak berarti para anggota jin dan gandarwa selalu dapat menerima pemikiran pemimpin mereka tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN