Jala Sutra

1049 Kata
Bratasena sudah duduk di atas motor besar Harley Davidson FL Panhead hitam dengan lis oranye 1.200 cc nya. Sedangkan Pinten dan Tangsen masing-masing memilih tunggangan mereka berupa motor tipe racing, CRD53 Triumph Bonneville T100. Pengikut yang lain menumpuk di sebuah mobil pick-up truck Chevrolet 3100. Tak lama semua mesin dinyalakan. Derungan motor dan mobil menggema di udara. Para pengendara menggeber gas kendaraan mereka bagai kumpulan banteng yang menggarukkan kaki mereka di tanah. Semua kendaraan kemudian langsung melaju ke arah utara mengikuti deruan motor Bratasena yang berada di paling depan yang disusul oleh Pinten dan Tangsen dengan motor mereka. Di sisi lain, Permadi jelas masuk ke mobil Jaguar Xk 120 andalannya. Penyukilan dengan percaya diri membuka pintu dan ikut masuk ke mobil mewah itu sebelum ditendang keluar oleh Permadi. Rombongan Janggan Smarasanta, Sukodadi, Bagong dan sisa rombongan yang menaiki Ford F100 Second Generation merah terang tertawa terbahak-bahak dengan kejadian ini. Dengan tergopoh-gopoh Penyukilan naik ke belakang mobil pick-up itu dengan disambut tawa dan ejekan saudara-saudaranya. Tak lama kendaraan mereka tersebut juga segera meninggalkan hotel mengikuti mobil Jaguar Xk Permadi yang sudah melaju terlebih dahulu. Bratasena telah sampai dahulu ke area di arah utara. Terlihat dari jauh puing-puing perumahan dan pertokoan elit yang walau telah tidak terpakai lagi dan menyisakan noda-noda gelap bekas jilatan api, tetap masih menunjukkan kemegahan dan kegagahannya. Rombongan di belakang Bratasena memang harus melewati daerah ini yang dikenal dengan nama Jala Sutra. Dahulu, ini adalah pusat bisnis kelompok jin dan gandarwa sebelum hancur karena pertentangan dengan kelompok buta yang terlalu mudah mengalahkan mereka karena memanfaatkan ketiadaan kontrol dan kekuasaan pusat, yaitu Astina Enterprise. Bratasena sudah paham bahwasanya misi yang diembankan kepadanya adalah semacam tindakan untuk ‘membersihkan jalan’ yang akan dilewati Samiaji kelak. Bratasena tak terlalu peduli dengan istilah ‘berbicara’ yang selalu disampaikan oleh kakangnya tersebut. Tapi untuk mencapai hal itu, jin dan gandarwa tak akan tinggal diam. Mereka tidak akan membiarkan siapapun mencapai pusat kekuasaan jin dan gandarwa di Mretani dengan alasan apapun. Niat keluarga Pendawa mengunjungi Mretani pada dasarnya bisa dikatakan merupakan sebuah tantangan terbuka, sebuah serangan nyata. Maka dari itu, Yudhistira sudah paham dengan apa yang akan terjadi. Ia telah memerintahkan segenap kekuatan jin dan gandarwa untuk melawan para Pendawa. Ketika semakin mendekati kompleks Jala Sutra, rombongan Bratasena memperlambat laju kendaraan. Sudah jelas terasa bahwa aura peperangan terasa pekat di daerah ini. Jala Sutra bukan benar-benar sekadar tumpukan puing-puing. Ia dibangun seperti sebuah labirin. Gedung-gedungnya masih menunjukkan sedikit banyak bentuk aslinya, tapi karena sudah tidak ditinggali ada bagian-bagian tertentu yang hancur, sulit sekali melihat apa yang ada di dalam dan di balik tempat ini. Masalah utama bagi Bratasena dan orang-orangnya, mereka harus melewati tempat ini untuk sampai ke pusat Mretani. Tujuan awal seperti yang diperintahkan Samiaji, bila mereka sampai di pusat Mretani, mereka harus mengunjungi titik-titik bisnis milik mereka yang dahulu memang dikuasai oleh Astina Enterprise, namun karena bertahun tidak diperhatikan sehingga hampir terlupa. Dan tentu, sekali lagi, mereka juga harus 'membersihkan' jalan bagi Samiaji yang berkeinginan untuk bertatap muka kedua kalinya dengan Yudhistira. Para jin dan gandarwa pasti tidak akan membiarkan itu terjadi. Mereka pastilah sudah bersiap-siap untuk menjegal para Pendawa memasuki area mereka. Benar saja, beberapa saat kendaraan mereka melaju melalui jalan di Jala Sutra yang berkelok-kelok, terlihat sosok-sosok misterius bermunculan dari reruntuhan bangunan di tepi jalan. Bratasena memberhentikan dan turun dari FL Panhead hitamnya, diikuti oleh Pinten dan Tangsen yang langsung memberi aba-aba kepada orang-orang mereka agar menyebar mengambil posisi. Bratasena mengambil Beretta Silver Pigeon, sebuah double-barreled shotgun nya yang diikatkan di FL Panhead nya. Senjata ini cukup akrab pagi para pemburu burung. Tentu saja di tangan orang-orang seperti keluarga mafia, bukan burung yang menjadi sasarannya. Shotgun yang kerap ia gunakan ini juga dinamai, meski label nama tersebut lebih kepada julukan yang diberikan orang-orang di sekitarnya demi melihat aksi yang dilakukan oleh Bratasena dan senjata apinya tersebut. Senjata api berupa shotgun Beretta Silver Pigeon itu bernama Bargawa.  Suasana tenang mendadak datang melingkupi Jala Sutra bagai selembar selimut gaib. Insting bertempur siapapun pasti bisa merasakan ada yang tidak beres dengan ketenangan yang berlebihan ini. Benar saja, dalam hitungan detik, bunyi rentetan tembakan dari senjata api berjenis M1 Carbine .30 memecah angkasa. Burung-burung berkaokan terkejut dan ketakutan dan terbang menjauh. Kepakan dan kaokan mereka menambah riuh rendah suasana. Tembakan itu ternyata memang berasal dari sosok-sosok yang terlihat berlindung dari balik reruntuhan bangunan. Hasil dari serangan mendadak itu membuat dua orang pengikut Pendawa jatuh dari pick-up. Satu tertembak si kepala dan d**a dan langsung tewas di tempat. Satunya lagi terluka di perut dan bahunya. Butuh beberapa saat baginya untuk meregang nyawa sampai benar-benar terdiam mati pula. Dalam sepersekian detik, sudah dua nyawa lepas dari tubuhnya. Ketidakawasan mereka menjadi dasar atas kemalangan nasib mereka. Sejak awal mendengar letusan tembakan, Bratasena sudah turun dari motor besarnya, kemudian berlari dan melompat dengan gesit berlindung di balik dinding-dinding reruntuhan perumahan di Jala Sutra tersebut. Begitu juga dengan Pinten dan Tangsen yang juga sudah berguling-guling menghindari rentetan tembakan untuk mencari tempat yang aman dari serangan mendadak tersebut. Mereka berdua pun langsung meloloskan senjata api berjenis Beretta M1951 mereka serta menyelidik arah datangnya musuh. Pinten sejenak melihat kedua anak buahnya yang menjadi korban pertama, yang kini telah menjadi jasad. Pinten menarik nafas panjang dan menggertakkan giginya membayangkan korban yang mulai berjatuhan dan tak terhindarkan ini. Rahangnya merapat menahan amarah. Peperangan memang tak bisa dihindarkan lagi. Sama sekali tak ada cara lain, apalagi mundur. Tangsen ikut merasakan apa yang dirasakan saudara kembarnya. Percikan komunikasi tak terlihat diantara keduanya saling membelit dan menyambung. Di tempat lain, dengan kegesitan yang luar biasa, Bratasena berlari dengan cepat ke satu bagian gedung ke gedung lain, dari satu dinding ke dinding lain, dari satu pilar ke pilar lain. Dengan segera ia akhirnya melihat dua orang sosok anggota jin, satu di balik sebuah reruntuhan tembok bercat putih kotor, satunya lagi berada agak tinggi, berdiri di atas reruntuhan tangga di balik retakan dinding. Keduanya melihat Bratasena sejak awal dan memang mengincar untuk menghabisinya. Tapi Bratasena terlalu cepat, ia melompat dan berguling di atas bebatuan tanpa terlihat di wajahnya rasa sakit.  Tak menunggu lama lagi, kedua anggota jin menembaki sosok raksasa yang bergerak super cepat itu. Peluru berhamburan menyergap badan kekar anak kedua keluarga Pendawa tersebut bagai bintang jatuh. Larik-larik sinar meluncur cepat berdesing. Bunyi ledakan terdengar di berbagai tempat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN