Shotgun terlepas dari tangan sang penjaga. Dalam kesempatan tersebut, Arimbi langsung melemparkan kedua batonnya ke penjaga lain untuk memecah konsentrasi mereka. Teknik ini berhasil. Para pejaga terpaksa menghindar daripada terkena senjata tersebut. Arimbi kemudian berguling cepat, mengambil shotgun yang terjatuh tadi serta langsung menembakkan ke arah tempurung lutut satu buta. Ia menembak lagi ke kaki seorang buta yang memegang Browning M2. Suara teriakan memilukan terdengar keras saling bersahutan disusul robohnya kedua lawan.
Arimbi lalu mencoba merebut senapan mesin lawan yang lututnya hancur dihajar shotgun. Namun tanpa diduga, sang musuh masih mampu menggenggam senapan mesin itu dengan kuat. Arimbi memelintir lengan sang musuh dan langsung saja ia arahkan kepada ketiga buta lainnya yang siap menyerangnya, dan kemudian menembakkannya. Alhasil, Arimbi membunuh ketiganya di tempat. Tubuh mereka tercacah peluru senapan mesin Browning M2 tersebut. Sang pemegang melongo namun dengan senapan masih dipegang erat. Dengan popor senapan, Arimbi hentakkan ke wajah sang pemegang. Sang musuh terkapar tanpa suara. Browning M2 pun akhirnya berada di tangan Arimbi.
Dalam keadaan kisruh dan berisik ini, tak akan butuh waktu lama untuk para buta dan gandarwa dari restoran dan hotel Agni untuk segera datang. Bunyi tembakan dan ledakan yang keras dan sinar dari moncong senjata api saja sudah lebih dari cukup untuk membuat para penjaga dan pasukan di hotel Agni tertarik perhatiannya.
Arimbi memandang sekeliling, melihat penampakan pasukan tambahan yang bakal dikirim untuk mengecek keributan yang ia buat. Ia kemudian memandang ketiga gadis muda yang ia selamatkan.
Arimbi menunjuk ke satu arah kemudian berkata, "Kalian tunggu aku di dermaga. Sembunyi di sana. Aku akan segera menyusul," perintah Arimbi kepada ketiga gadis muda di belakangnya yang ternganga heran, takjub sekaligus masih dilingkupi rasa khawatir, takut dan bingung. Walau dengan mimik muka yang masih menunjukkan kecemasan, mau tak mau mereka tetap langsung menuruti sosok penolong mereka tersebut. sedangkan perempuan-perempuan dewasa lainnya sudah berlari kacau entah kemana, antara panik dan berusaha menyelamatkan nyawa mereka sendiri.
Arimbi mendekati satu buta yang mengaduh-aduh kesakitan karena luka menganga di lututnya. Arimbi menodongkan senapannya ke kepala sang buta, "Dimana kalian simpan anak-anak perempuan yang lain? Masih ada ruangan di bawah?"
Memandang moncong senjata api ada di depan wajahnya, sang buta menjawab sebisanya terbata-bata karena gabungan perasaan takut dan kesakitan. "Aku hanya menjaga tempat ini ..."
Sang buta tak sempat beralasan panjang lebar, Arimbi menyepak rahangnya begitu keras hingga terdengar bunyi berderak patah. Darah menciprat. Teriakan tertahan sang buta teredam oleh gelegakan darah di mulutnya. Ia tersedak.
"Aku jelaskan sekali lagi pertanyaanku ni untuk terakhir kalinya. Aku mau tahu dimana kalian simpan perempuan-perempuan muda itu? Aku sudah lemparkan dua granat bhanga di dalam sana. Sounds familiar, eh? Kau tahu efeknya kan, senjata buatan Pringgandani kebalikan dari bhanga yang membuat kalian kuat, asap granat bhanga membuatmu lumpuh dan i***t bila dihirup lebih dari tiga puluh menit. Aku akan lemparkan kau ke bawah sana bersama calon-calon i***t itu bila tidak kau jawab pertanyaanku. Dan aku yakinkan bahwa hal tersebut lebih menakutkan ketimbang mati," jelas Arimbi.
"Oke... oke," jawab sang buta secepatnya, terutama melihat kondisi kakinya yang sudah dipastikan bakal lumpuh serta rahangnya yang patah. Menjadi gila akibat efek granat bhanga bukanlah menjadi sebuah pilihan yang baik.
"Anak-anak itu ... dibawa semua ke ... ke Jalasutra. Mereka digunakan untuk menahan ... para Pendawa," jawab sang buta terbata-bata.
Arimbi menatap kedua mata sang buta dalam-dalam. Rasa jijik dan benci terpancar dari sana. Akibatnya, sang buta pun dapat melihat rasa penasaran orang ini belum terpuaskan. Bila orang ini tidak diberikan informasi utuh dan akhirnya akan marah, maka semuanya akan runyam. Dirinya tetap tak akan terselamatkan.
"Brajadenta meminjamkan gadis-gadis itu kepada para jin yang dipimpin oleh Dandunwacana dan Dananjaya untuk menjebak adik-beradik Pendawa di Jalasutra. Brajadenta juga membekali mereka dengan granat bhanga seperti yang kau gunakan," lanjut buta itu sesegera mungkin untuk menghindari tindakan lebih buruk terjadi padanya.
"Bangs*at!" rutuk Arimbi geram. Ia tak mungkin lagi mentolerir tindakan saudara-saudara nya yang dituruti oleh para anggota klan buta, jin dan gandarwa.
Suara sang buta berhenti ketika kepalanya hancur diterkam pelor Browning M2 dari tangan Arimbi. Gadis anggota keluarga buta utama itu memberikan hadiah terbaik bagi sang buta yang memberikan informasi itu tadi. Ia memang membunuhnya, tetapi hal itu, seperti yang ia ucapkan sebelumnya, adalah lebih baik dibanding menjadi gila terkena efek asap granat bhanga.
Setelah membunuh sang buta, Arimbi sendiri langsung meluncur ke arah dermaga, membawa ketiga gadis itu ke salah satu speedboat. Ia menyalakan salah satu perahu cepat itu dengan paksa. Oleh karena Arimbi adalah seorang buta, hal semacam ini bukan hal asing buatnya. Arimbi juga meraba dua buah granat bhanga dari balik overcoatnya yang ia dapatkan berkat usaha dan bantuan informasi dari Kalabendana. Air danau yang gelap memantulkan kekelaman hidupnya. Bayangan pepohonan yang mengambang di pelupuk mata seperti menegaskan bahwa tiada cara untuknya kembali lagi. Langkah yang ia ambil barusan adalah sebuah penegasan bahwa ia akan mendapatkan sebuah masalah yang mungkin merupakan yang paling besar dalam hidupnya.
Setelah ini, anggota keluarga buta akan tercerai berai. Konflik berkepanjangan bisa saja terjadi dan kematian mungkin tak dapat dihindari. Sejenak kesedihan menjalar di seluruh tubuhnya. Namun demi melihat ketiga gadis muda dibawah umur yang berwajah polos ketakutan yang didandani dengan gaya wanita dewasa itu, kekerasan hatinya kembali muncul. Ia sudah membunuh anggota buta, bahkan membuat mereka gila pula, tak ada jalan pulang. Ia pun masih akan bersedia membunuh siapapun yang melakukan tindakan sebejat ini.
Arimbi mengecek peluru Browning M2 nya sebelum memacu speedboat Chris Craft berwarna gading menyebrangi danau ke arah Jalasutra.
Dari arah restoran dan hotel, iring-iringan mobil Shubert Pickup Hot Rod dan Smith Deluxe Station Wagon yang berisi para buta, jin dan gandarwa bersenjata lengkap serta mobil mewah Cadillac Fleetwood Limousine dan Austin Princess III yang tadi terparkir di depan restoran dan hotel Agni melaju mengitari hutan buatan menuju ke strip club tersebut. Laporan mengenai kekacauan jelas telah terdengar oleh mereka. Larik-larik sorotan lampu menembus batang pepohonan dengan deru suara mesin memacu dengan geram. Seperti apa yang Arimbi pikirkan, kekacauan sudah resmi dimulai. Parahnya lagi, internal konflik di dalam tubuh keluarga buta lah yang bisa dikatakan sumber utamanya. Kedatangan keluarga Pendawa untuk kembali menguasai bisnis dan kekuasaan di seluruh daerah Wanamarta termasuk Mretani dan Pringgandani hanyalah pemantik masalah di dalam klan buta yang telah menumpuk sedari lama.