Sinar matahari sudah tenggelam, namun kilatan sinar dari senjata api melecut di sela-sela batang pepohonan di hutan pinus itu. Bunyi tembakan menggelegar bersahut-sahutan menggugurkan dedaunan, mencabik kulit pepohonan meninggalkan serpihan-serpihan kayu yang berhamburan. Riuh rendah bunyi alat pembunuh itu menyadarkan semesta bahwa nyawa akan segera beterbangan ke langit menuju ke kehidupan selanjutnya. Pembantaian sudah dimulai. Kadang tak ada yang bisa dilakukan oleh manusia selain melaksanakan kehendak langit dan bumi. Segala jenis kematian adalah keniscayaan. Kilatan tembakan seakan adalah cahaya yang menjemput seseorang menuju kematian. Lorong panjang bercahaya sudah dipersiapkan.
Permadi bergerak dengan gesit namun anggun. Bukan bagai seekor kijang yang melompat-lompat gesit namun terdeteksi, sebaliknya anggota mafia utama keluarga Pendawa ini bergerak pelan tertakar bagai seekor ular kobra yang siap mematuk mangsa. Kemejanya masih tak ternoda sama sekali, bahkan dengan rapi dimasukkan ke dalam cigarrette pants berwarna abu-abunya. Ia belum menggunakan dua senjata andalan yang menggantung di gun holsternya, sebaliknya ia memainkan senjata api Beretta Model 92, menembakkannya membabat para anggota jin dan gandarwa yang dilengkapi dengan senapan otomatis.
Di balik topi homburg krem nya wajah tampan Permadi menunjukkan kepuasan dan kenikmatan tertentu yang sukar untuk dijelaskan. Desingan peluru musuh tidak menggetarkannya. Ia bagai seorang anak kecil yang bersenang-senang di bawah hujan. Sebaliknya setiap tembakannya selalu menyasar para musuh dengan tepat. Ada saja celah bagi Permadi untuk melukai atau membunuh jin dan gandarwa. Peluru Beretta nya menembus pohon dan bersarang di d**a mereka, peluru juga berhasil menyelip ke sela-sela sempit di antara bebatuan atau gundukan tanah. Bidikannya selalu sempurna. Ia memainkan seni menembak dan membunuh ini bagai seorang dirijen memainkan sebuah orkestra musik yang indah.
Para Punakawan yang terdiri dari Janggan Smarasanta, Sukodadi, Penyukilan, Bagong serta anggota kelompok Pendawa lain yang berjumlah empat orang menempelkan tubuh mereka di balik pepohonan. Mereka berlindung serta berperan sebagai semacam penonton pertunjukkan dimana Permadi berada di depan mereka seorang diri dan hampir menyapu bersih musuh hanya dengan Beretta nya.
Sampai saat ini, mungkin sudah sepuluh orang tewas di tangan Permadi. Memang sebelumnya cukup sulit menembus jalan atau akses di Selatan Wanamarta ini. Perbukitan dan hutan pinus ini adalah sebuah benteng alami kaum jin gandarwa yang digunakan untuk mempertahankan Mretani. Biasanya mereka akan bersembunyi di perbukitan dan menembaki musuh yang menyerang dari jalan di bawah sana.
Kecakapan Permadi dalam menembak bukan berarti membuat Pendawa seenak itu saja dapat menembus pertahanan musuh. Pertempuran sudah terjadi sejak siang tadi. Namun setelah matahari terbenam, baru lah para rombongan Pendawa berhasil mendekati dan menghabisi mereka dengan lebih leluasa. Sebelumnya kedua kelompok yang bertikai tersebut saling jual beli tembakan demi tembakan.
Seperti yang telah diduga sebelumnya, baik oleh Samiaji, Permadi dan Bratasena, para anggota jin dan gandarwa jelas tak akan membiarkan para Pendawa masuk ke Mretani dengan melenggang kangkung. Apapun alasan yang diberikan, pertumpahan darah pasti terjadi. Sejak rombongan Permadi sampai di muka jalan yang dinaungi perbukitan itu, bayangan sosok-sosok jin dan gandarwa yang menyelip di balik pepohonan sudah jelas terlihat. Dengan segera, sebelum musuh melepaskan tembakan pertama mereka, Permadi telah memerintahkan semua pengikutnya untuk turun dari kendaraan dan bersiap untuk menghadapi ucapan selamat datang dan bahkan membalas dengan merengsek maju menyerang.
Saat ini, ketika seakan kemenangan sudah di tangan, rentetan tembakan musuh justru makin menjadi dari puncak bukit. Sosok Damdarat yang mewakili gambaran anggota mobster atau mafia dengan suit hitam lengkap, bow tie atau dasi kupu-kupu dan topi fedora hitam menyeruak dari atas bukit. Sosoknya membayang tersinari pendaran api yang memancar dari moncong senjata api Thompson M1928 Submachine Gun.
Semburan peluru dari senapan otomatis klasik itu menghajar pepohonan dan praktis menghancurkan pohon dimana Permadi berlindung. Melihat ini, keempat bawahan keluarga Pendawa langsung maju menyongsong tembakan musuh, tidak rela membiarkan tuan mereka dalam bahaya. Sayangnya dua diantaranya langsung mati terajam peluru dari sisi yang berbeda. Keduanya tak sempat berteriak ketika peluru menembus tubuh mereka. Rupa-rupanya Anggaraparna muncul dari sisi bagian bukit yang lain. Ia lah yang memberondong keluarga Pendawa dengan Tommy gun lainnya. Pilihan senjata klasik ini dimaklumi karena usia mereka yang sudah cukup memenuhi syarat sebagai kakek dan mobster senior.
Melihat sosok Anggaraparna yang bossy dan melebihi gaya Damdarat, Janggan Smarasanta mendadak menarik salah satu orang Pendawa dan mencegah anak-anaknya untuk maju. Otomatis melihat ini Sukodadi juga menarik satu orang lain yang tersisa.
Ada jelas terlihat perubahan raut wajah yang kentara dari Janggan Smarasanta. Perubahan ini ditangkap oleh Sukodadi dan Penyukilan. Kedua anaknya itu sudah benar-benar paham bagaimana sifat ayah mereka tersebut. Sang Rama jelas mencegah anggota kelompok Pendawa untuk membalas serangan salah satu sosok musuh. Bagaimanapun anak-anaknya harus percaya dengan sang Rama yang sifat dan maunya itu sudah dipahami dengan baik. Namun tetap saja keganjilan tak bisa dihindari serta pertanyaan di dalam batin anak-anak serta kedua bawahan keluarga Pendawa tersebut tetap mengemuka.
"Rama, apa yang kau lakukan? Bbagaimana dengan tuan Permadi?! Bukankah kita harus melindunginya?" ujar Penyukilan kepada sang ayah, menunjukkan rasa khawatirnya karena mereka baru saja dicegah ayah mereka itu untuk menyerang sehingga menyebabkan Permadi dalam posisi yang sulit dan berbahaya.
Janggan Smarasanta menatap dalam semua pasang mata anak-anaknya, "Fokuskan tembakan ke arah gandarwa yang ada di sana," ujar Janggan Smarasanta sembari menunjuk ke arah Anggaraparna.
"Jangan dibunuh! Sekali lagi aku katakan, jangan bunuh orang itu! Tapi buat ia sibuk. Tetap lindungi diri kalian. Perintahku ini sangat penting. Segala pertanyaan dan kecurigaan kalian akan aku jawab nanti. Kalian harus percaya kepadaku karena semua ini sebenarnya justru demi kepentingan tuan kalian, Permadi, dan keluarga Pendawa secara umum." perintah Janggan Smarasanta kemudian.
Tak pelak ketiga anaknya tampak keheranan, apalagi kedua orang bawahan keluarga Pendawa. Tapi mereka percaya pada pimpinan pelayan kepercayaan keluarga Pendawa ini. Begitu juga dengan kedua bawahan keluarga Pendawa yang dua rekan lainnya sudah terlebih dahulu meninggalkan mereka, tewas. Apalagi ketiga anak Janggan Smarasanta juga menunjukkan kepercayaan yang sama. Entah bagaimana pasti ada penjelasan di balik perintah sang ayah. Tanpa banyak bicara lagi mereka langsung mengambil posisi dan menembaki sasaran yang diperintahkan tanpa berusaha mengenainya tentu saja. Masih ada dua tiga orang jin gandarwa lagi di belakang Anggaraparna dan Damdarat. Mereka juga bagaimanapun menjadi pengganggu yang terus memberikan perlawanan terbaik mereka meski sudah banyak rekan mereka tewas di tangan Permadi seorang.