Sun-Tzu sang ahli strategi perang terkenal China pernah mengatakan, "Paling baik adalah menjaga negara bagian sendiri: menghancurkan negara bagian musuh adalah kedua terbaik. Paling baik adalah menjaga pasukan sendiri, batalion sendiri: menghancurkan pasukan atau batalion musuh adalah kedua terbaik." Maka adalah sebuah keniscayaan bagi para Pendawa untuk memikirkan beragam strategi mengatasi permasalahan di tanah Wanamarta.
Skyline Wanamarta dengan lampu-lampu menyala terang maupun temaram dan bangunan-bangunan tinggi terpapar sinar bulan yang redup menjadi latar belakang diam bagai sebuah kanvas lukisan, sementara sosok Bratasena bergerak cepat melompat-lompat di rooftop. Ia meloncat di atas ventilasi, melewati cerobong asap yang tersusun dari bata merah, melangkahi dengan cepat pipa-pipa air dan gulungan kabel, serta menunduk dan merunduk di bawah papan reklame. Peluru berdesing di atas kepalanya mengejar mangsa bagai pagutan seekor ular Kobra. Gerakan pria bertubuh raksasa ini luar biasa gesit. Bila diibaratkan gerak seekor binatang ia bukan bagai beruang, tapi lebih seperti seekor kera raksasa yang walau bertubuh besar, sangat lihai sekaligus ganas.
Di sudut lain yang berlawanan terlihat tiga orang mengendap-endap. Satu orang menembakkan peluru dari senapan sniper laras panjangnya ke arah Bratasena. Salah satu dari mereka terluka di bahunya. Ia adalah penembak jitu dari golongan gandarwa yang berhasil dilukai Permadi dengan sepasang pistol Ruger nya dari bawah sana. Ia kelihatan sekali kepayahan sehingga tak mungkin untuk ikut menembaki Bratasena yang sedang mengejar mereka sampai ke rooftop. Satu orang lain, orang ketiga, menembakkan revolver Colt Python 357 Magnum Revolver dengan enam pelurunya. Salah satu Colt double-action revolver yang paling prestisius di zaman tersebut.
Senapan laras panjang sniper yang sedang digunakan itu sebenarnya tidak efektif digunakan dalam keadaan seperti ini, dimana mereka harus menembak cepat sembari musuh terus merangsek maju dengan cepat. Sedangkan revolver memiliki jarak tembak yang terbatas, meski mungkin berbeda ketika revolver atau handgun jenis apapun berada di tangan Permadi.
Bratasena menghitung semburan peluru yang menyerangnya dan memikirkan jeda waktu reload peluru untuk melompat maju. Ia sendiri menempelkan punggungnya di balik ruangan untuk emergency exit door ke rooftop. Beberapa butir peluru menabraki pintu baja ringan dan dinding beton di belakangnya.
Ia meraba bahu. Darah membasahi baju putihnya. Rupa-rupanya tanpa ia sadar satu peluru yang ditembakkan musuh berhasil menembus bahu dan satu lagi menyerempet lehernya. Entah kapan pelor itu bersarang di tubuhnya. Namun ia tak sempat hiraukan rasa nyeri yang menusuk karena para penyerang masih terus mencoba meloloskan pelor dari senjata mereka ke arah Bratasena, berusaha mencabik-cabik tubuhnya dan tentu saja pada akhirnya berusaha membunuhnya.
Benar kata Penyukilan bahwa para penembak jitu dari rooftop ini adalah para gandarwa, namun yang tak dilihat penyukilan adalah bahwa orang yang memegang Colt Python 357 adalah seorang anggota buta. Anting-anting lebar menggantung di kedua telinga dibalik fedora hitamnya. Sebenarnya buta ini pula yang berhasil melukai Bratasena di bahu dan lehernya, bukan para penembak jitu gandarwa dengan senapan laras panjang mereka.
Dua orang gandarwa bersenapan laras panjang tertatih-tatih melarikan diri. Bratasena membuang cap nya agar dapat berkonsentrasi dan memfokuskan diri pada pengejaran musuh. Ia masih menempelkan tubuhnya di bangunan emergency exit door sembari sesekali mengintip ke arah musuh. Saat itu pula tidak lagi terdengar bunyi ledakan Colt atau rifle Modelo. Bratasena mengintip lagi. Sang buta kini berdiri di seberang sana. Colt nya sudah ia selipkan di balik pinggang. Mungkin sudah kehabisan amunisi. Namun sebagai gantinya, tangan kanannya menggenggam sebuah machete. Kedua matanya nyalang memerah. Mulutnya seperti berkomat-kamit. Atau ia sedang menguyah sesuatu?
"Selesaikan disini sekarang b*****t!" mendadak ujarnya keras, jelas kepada Bratasena sebagai sebuah tantangan. Ketiga musuh yang berlarian di atas rooftop bangunan tersebut sudah kehabisan peluru. Mereka juga sudah enggan untuk berlari dari kejaran Bratasena. Maka sebuah tantangan diharapkan akan menjadi kesimpulan pertarungan ini.
Bratasena menampakkan tubuh raksasanya. Ia meraba dua buah kudhi dari pinggang di bagian belakangnya. Kudhi sendiri adalah senjata berjenis belati dengan mata pisau yang melengkung ke depan, namun tidak semelengkung sabit. Gagangnya berwarna putih gading dilengkapi dengan cincin pelindung jari telunjuk. Di tangan Bratasena yang besar itu, kudhi lebih menyerupai sepasang kuku yang mencuat dari buku-buku jarinya dibandingkan sebuah belati. Sepasang kudhi ini dikenal dengan nama Pancanaka. Bratasena nampaknya tidak mau main-main dengan seorang buta di hadapannya yang entah apa yang terjadi, terlihat begitu kalap dan pada saat yang sama terlihat juga sangat b*******h, bersemangat, dan berani. Ia siap mengadu nyawa.
Sang buta sendiri menggeram garang menerjang ketika melihat jelas tubuh Bratasena. Tangan kanannya mengayunkan machete dengan liar membabat ke arah kepala, leher dan d**a Bratasena. Bratasena berkelit dengan mudahnya sedangkan kedua Pancanaka merobek lengan dan bahu sang buta dengan sekali gerak. Akibatnya, Machete sang musuh jatuh terlempar jauh. Anehnya, sang buta menatap Bratasena garang. Seakan tak terlihat rasa sakit. Bahkan tak ada sekalipun keluhan terdengar.
Ini mengingatkan Bratasena kepada sang Kakang, Samiaji, yang juga tidak dapat merasakan sakit. Bedanya, sang Kakang sadar ini semua dan wajahnya dingin hampir tanpa emosi. Berkebalikan dengan sang buta di hadapannya ini yang memiliki emosi dan stamina yang berkobar-kobar menggila. Pasti ada sesuatu yang salah.
Tubuh Bratasena terdorong mundur dan menabrak besi-besi penyangga water tank kayu. Ini dikarenakan sang buta meraung maju tak memedulikan luka-lukanya kemudian menubruk dan menghimpit, mencekik leher Bratasena. Bratasena menusukkan Pancanaka di tangan kanannya ke perut buta dan tangan kirinya menyelamkan Pancanaka di ketiak sang musuh. Masih tak ada erangan rasa sakit. Bahkan cekikan sang buta di lehernya itu makin mengeras. Bratasena mencabut Pancanaka dari lambung si penyerang, kemudian membenamkannya ke otak sang buta melalui bagian lembut diantara tekak leher dan dagu menembus ke langit-langit mulut. Kali ini sang buta tewas seketika.
Bratasena melemparkan tubuh tak bernyawa itu ke samping dengan kasar dan tanpa emosi kemudian menderu menghambur mengejar dua musuh yang tersisa.
Di hadapannya sekarang kembali berdiri seorang gandarwa. Senapan laras panjangnya diletakkan di lantai. Tubuhnya tidak berdiri tegak karena bahunya mengalirkan darah terus menerus membasahi suit hitamnya. Tangannya bergetar, mengambil sesuatu dari sakunya kemudian memasukkan ke mulutnya. Mulut sang gandarwa mengunyah benda yang baru saja ia masukkan ke mulutnya tersebut. Hanya dalam sepersekian detik, tubuh sang gandarwa meregang, menegak. Kedua matanya melotot, sepertinya seluruh otot-otot tubuhnya bereaksi dengan ganas karena diperintah oleh otak sebagai akibat benda yang ia gigit tersebut.
Tubuh sang gandarwa yang semula sangat kepayahan bahkan hanya untuk menegakkan tubuhnya itu kini berdiri mantap menyongsong Bratasena. Mulutnya menyinggungkan senyum tipis namun penuh dengan semangat yang berkobar-kobar. Kedua tangannya mengepal di sampingnya.