Bunyi lonceng mungil di atas pintu toko buku Kalabendana Classics tiba-tiba menghentikan percakapan mereka. Dua orang masuk. Gerakan dan tindam tanduk mereka grusa-grusu. Mereka melihat sekeliling tapi dengan tidak nyaman. Sama sekali tidak nampak sebagai para pecinta buku yang hendak mencari bahan bacaan. Mereka mengenakan cap hitam dan coat panjang. Salah satunya malah mengenang coat lebar seperti orang kaya atau kepala kelompok mafia. Hanya saja pakaiannya ini tidak cocok di badannya. Bukannya terlihat kaya dan terhormat, coat itu seakan berhasil menunjukkan bahwa si pengguna hanya memiliki satu-satunya baju yang pantas dipakai. Mungkin ia dapatkan coat itu dari membegal orang kaya di gang atau mencurinya dari dalam limosin seorang pebisnis jutawan. Yang jelas keduanya sudah bisa dipastikan bukanlah penikmat buku.
"Hey man. Kami perlu sesuatu," ucap orang yang mengenakan coat panjang ke arah Kalabendana. Ia kemudian menganggukkan kepala kepada temannya yang kemudian mengambil sesuatu dari balik coat lebar yang tidak cocok pada badannya itu. Ia melemparkan segulung uang yang diikat karet gelang itu ke meja bundar sembari berkata, "Satu paket saja malam ini. Kami butuh cepat."
Kali ini Kalabendana yang melotot matanya, "Apa kalian bilang? Apa aku terlihat seperti pemadat? Keluar kalian dari tokoku!' bentak Kalabendana. Mengherankan pula, dengan tubuh sekecil itu, Kalabendana memiliki nyali dan harga diri yang besar. Mungkin karena bagaimanapun, sama seperti yang diutarakan oleh Arimbi, kangmboknya dengan cara sarkasme, ia pun adalah bagian dari keluarga buta.
"Ayolah bung. Kau pakai anting-anting lebar itu kan?" ujar salah satu dari orang asing tersebut.
"Lagipula kami paham kok sebagai penjual kau tidak perlu memakai barang jualanmu kan. Tenang saja, kami paham." ujar kedua orang tamu tersebut.
"Kalian pikir semua buta menjual gelek hah?"
"Hey, kita tidak pakai kata itu man."
"Lalu, apa? Dope, reefer, giggle smokes, purple haze, nose candy?"
"Man, ini serius. Kami cuma mau bhanga man."
"Aku bilang KELUAR!" Kalabendana mengambil gulungan uang itu dan melempar ke arah mereka.Gulungan uang itu menubruk si coat lebar dan jatuh ke lantai toko buku. Tak lama tubuh si coat lebar juga ikutan menyusul ambruk terjatuh ke lantai. Hidungnya patah dan mengalirkan darah. Arimbi berdiri di depannya dengan sebatang baton tergenggam di tangannya.
"Kau gila man," ujar si coat panjang melihat ke arah si sosok jangkung yang menyerang rekannya dengan tiba-tiba itu. Ia kemudian memandang ke arah temannya yang menutupi mulut dan hidungnya sedangkan darah kental masih terus mengalir.
"Kangmbok, aku terpaksa harus mengepel lantai jadinya kalau begini," ujar Kalabendana setengah bercanda dengan raut kesal yang dibuat-buat.
"Kau dengar katanya, bukan? Segera keluar dari toko ini," ujar Arimbi dingin.
"Hey, kau sendiri bukan buta. Jangan sok-sok an begini lah man. Kita sama-sama cari makan. Oke, oke ... Mungkin kau tangan kanan buta yang satu ini, tapi aku juga perlu barang itu, bhanga man ... Bhanga ..."
Tak lama si coat panjang yang terbiasa menyebut 'man' dalam setiap kalimatnya juga rubuh ke lantai. Ia memegang bahunya sembari berteriak lirih.
"Kau yang minta tidak ada darah agar tak perlu mengepel lantai lagi, bukan?" ujar Arimbi sambil melirik ke arah Kalabenda. Mau tidak mau sang adik pun tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
Kedua orang yang dihajar Arimbi tadi tanpa banyak kata lagi segera keluar dari toko secepat yang mereka mampu dengan tertatih-tatih dan saling rangkul. Si coat lebar kembali masuk beberapa detik kemudian untuk mengambil gulungan uangnya di lantai dan kembali enyah dari tempat itu. Arimbi dan Kalabenda tertawa.
"Adi, kau masih hutang cerita padaku. Dan apa itu bhanga?" Arimbi kembali duduk di kursi.
"Aku tak mungkin mencegahmu, bukan begitu, kangmbok? Pergilah ke restoran bernama 'Agni' milik Kakang Brajadenta di ujung Pringgandani dekat pelabuhan lama. Setahuku Kakang tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan manajer restoran itu selama setorannya tetap lancar tiap buoan. Ini adalah bentuk dukungan Kakang Brajadenta dalam bisnis prostitusi Pringgandani. Di sana, mereka memiliki sebuah bangunan khusus dengan pintu berlambang api, agni, serupa dengan simbol khas kaum jin dan gandarwa, namun didesain lebih sederhana.
"Bangunan itu dijaga ketat oleh beberapa orang, termasuk beberapa diantaranya adalah anggota buta dan jin gandarwa. Mereka mengganti-ganti password untuk dapat memasuki tempat itu, tapi mereka biasanya akan membiarkan seorang perempuan masuk lebih mudah. Setahuku perempuan yang paham tempat seperti ini adalah para mami. Kau tau maksudku kan kangmbok?"
Arimbi mengangguk.
"Aku tahu bahwa aku tak akan bisa menahanmu untuk tidak melakukan hal yang sembrono. Jadi, aku hanya dapat berharap agar kau hati-hati kangmbok. Aku membuntuti mereka beberapa kali. Melihat mereka membawa gadis-gadis belia yang terlihat jelas masih di bawah umur. Mungkin mereka memolesnya, atau menyimpan mereka sebagai bibit unggul, atau malah menjualnya pada hidung belang p*****l b******k. Aku tak tahu pasti. Tapi mereka mengantongi restu dari Kakang kita, salah seorang anggota elit Pringgandani Corp. Kalau mereka tahu kau menyusup ke sana, mereka mungkin akan membunuhmu, agar tidak kerepotan menghadapi tujuh keluarga Pringgandani lainnya. Mereka akan menyembunyikan mayatmu, atau memutilasi ..."
"Iya adi, aku paham. Dengan menakutiku kau tidak akan berhasil melarangku. Kau sendiri yang mengatakannya tadi," ujar Arimbi sembari tersenyum tipis.
"Ah, namanya juga usaha kangmbok. Kau memang keras kepala. Tapi tolong sekali lagi, hati-hati. Hanya itu yang aku minta."
"Lalu, bhanga?" tanya Arimbi seperti tak mengacuhkan apa yang dikatakan adik laki-lakinya itu.
Kalabendana menarik nafas panjang, "Aslinya kata itu bermakna cannabis, atau m*******a, atau kita kenal sebagai ganja. Tapi para buta yang bekerja secara misterius menemukan drugs model baru dan menamakannya bhanga, tanpa merujuk pada arti aslinya. Mereka bekerja di balik tirai industri medis dan kosmetik Pringgandani. Padahal sebenarnya mereka menciptakan sesuatu yang berbahaya. Hanya saja Bhanga tidak juga bisa dikatakan sebagai narkoba. Ini karena bhanga berkebalikan dengan konsep narkoba umumnya yang membuat si pemakai merasa santai, ngefly dan berhalusinasi. Efek bhanga adalah membuat si pengguna menjadi memiliki stamina yang kuat, tubuh yang aktif dan prima. Paling tidak itu yang mereka rasakan. Dengan dosis yang ditambahkan mungkin mereka akan lupa dengan rasa lelah dan rasa sakit sama sekali. Padahal, setelah selesai menggunakannya, mereka akan lemas seperti memiliki hidup tanpa arti, dan bila overdosis, mereka akan mati kelelahan," urai Kalabendana panjang lebar.
Mendengar penjelasan ini, pandangan Arimbi menerawang, entah kemana. Masalah ini lilit-melilit ke arah yang ia tidak bisa sederhanakan. Lagu-lagu berirama rhythm and blues beralih menjadi medium rockabilly dan kemudian swing jazz. Di luar toko buku itu kabut mulai turun ke kota, menyamarkan semua pikiran, penderitaan dan harapan Arimbi yang ikut mengambang di atas kota Pringgandani dan Wanamarta.