The Shooter

1016 Kata
Sosok tubuh besar nan mencoba bengis sang gandarwa yang semula berdiri dengan tangguhnya ternyata kali ini tak bertahan lama. Tubuh itu roboh dan terbujur kaku di lantai rooftop, tewas tak bernyawa lagi setelah Bratasena menusukkan kedua Pancanaka yang bagai kuku tersebut tepat ke otak sang gandarwa menembus kedua matanya. Dalam pertempuran ini Bratasena langsung belajar bahwa apapun yang dikonsumsi si gandarwa adalah sama dengan apa yang dikunyah si buta. Benda tersebut membuat mereka tidak merasakan sakit macam apapun, menciptakan semacam mahluk kuat dan berstamina luar biasa. Tapi tentu saja tidak sampai otak mereka dihancurkan untuk membuat mereka terdiam selama-lamanya, mati. Wajah Bratasena tidak menunjukkan emosi walau dalam beberapa menit terakhir dua orang sudah terbunuh oleh Pancanakanya. Dan ia pun sebenarnya belum mau berhenti sekarang. Kedua matanya mencari-cari satu gandarwa lagi pembawa senapan laras panjang sniper. Ia kemudian mendapatkan sang gandarwa yang ia cari berlari turun dengan cepat melalui fire escape atau tangga darurat gedung. Ketika sang gandarwa sudah hampir mencapai anak tangga terakhir, Bratasena langsung melompat turun, memanfaatkan drop ladder agar ia dapat meluncur dan melayang turun dengan cepat ke bawah menyusul sang lawan. Siluet skyline Wanamarta membayang sebagai latar belakang tubuhnya yang melaju. Sayangnya, walau kecepatan Bratasena si raksasa itu bisa dikatakan impresif, sial bagi dirinya, karena sesampainya di bawah, sang gandarwa entah bagaimana sudah berhasil masuk ke dalam sebuah kendaraan serta melarikan diri melaju dengan mobil Chrysler Imperial 1953 merah terangnya yang terparkir di satu sudut bangunan dimana tentu sudah dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya. Binatang besi beroda empat itu menderu keras dan melenggok gesit di belokan hilang dari pandangannya. Bratasena nampak berusaha menahan amarahnya, ia bahkan belum ngos-ngosan atau menarik nafas kelelahan namun buruannya telah berhasil minggat. Staminanya masih sangat cukup untuk membunuh dua ekor gajah. Sebagai hasilnya ia gagal menahan ledakan amarah yang membludak di dalam dadanya. Dengan kesal yang meletup-letup, ia melepaskan kemarahan dengan menghajar beberapa trash can yang berdiri berdampingan di tepi jalan dengan tendangan kakinya. Sampah berhamburan, bahkan trash can yang ia tendang terlempar jauh sampai ke bangunan di seberang jalan. Syukurnya, kemarahan dan semangatnya yang belum reda mendadak dibayar tunai dengan mendapatkan jawabannya ketika ia mendengar raungan mobil 1951 Jaguar Xk 120 berwarna hitam mengkilat di sampingnya. Permadi berada di balik kemudi berteriak ke arahnya, "Lompat, Kakang!" Tanpa perlu menunggu lebih lama lagi, Bratasena membuka pintu dan melompat masuk ke kursi sisi penumpang di mobil sport convertible tersebut. Jaguar Xk 120 dengan dua bucket seats dari bahan alloy itu memiliki body yang aerodinamis sehingga dapat melaju dengan kecepatan sampai 193 km/h dan melenggak-lenggok di atas jalan beraspal dengan gesit. Permadi menginjak pedal gas sampai menabrak lantai mobil, pedal to the metal. Bagai kuda dipecut, Jaguar Permadi melaju meninggalkan suara raungan yang menghilang lamat-lamat, berputar di kelokan mengejar mangsa, laksana seekor jaguar sejati sedang berburu. Deretan bangunan berwarna kelabu, hitam dan merah bata terlewati. Lampu-lampu jalan yang menekuk di atas kepala mereka seakan menyinari sebuah perlombaan adu balap atau pertunjukan jalanan. "Sial, harusnya aku membeli versi racing. Kecepatannya bisa sampai 277 km/h," gumam Permadi ketika memainkan gas dan perseneling mobilnya. Tapi, walau sepertinya Permadi tidak terlalu puas dengan kecepatan mobilnya, dengan lincah melewati satu kelokan pertama, kemudian kelokan kedua dan menerobos sebuah perempatan jalan, sebentar saja Chrysler Imperial di depannya sudah terkejar. Salah satu mobil favorit sang pria flamboyan dari keluarga Pendawa itu itu ternyata masih sangat mampu untuk diandalkan. Tentu saja juga kerena dilengkapi dan disempurnakan dengan kemampuan Permadi dalam memacu mobilnya pula. Sekarang terlihat malah sang gandarwa yang kesal dan sebal karena melihat dengan jelas mobil di belakangnya berdecit dan menggerung garang, padahal ia sudah melarikan diri semenjak tadi. Gemuruh di dadanya semakin menjadi. Selain jauh di dalam sana sang gandarwa merasa takut, ada pula adrenalin yang menyentak-nyentak. Kecepatan kendaraan yang ia gas sama cepatnya dengan detak jantung dan darah yang dipompa ke otak, membuatnya pusing. Mengetahui bahwa tak perlu waktu lama lagi mobil pengejarnya akan berada tepat di samping mobilnya hanya dalam hitungan detik, si gandarwa memutuskan menggoyangkan setir nya membuat gerakan zigzag agar terlepas dari kejaran dengan cara menutup-nutupi akses jalan si pengejar. Tidak hanya itu, ia bahkan sengaja membanting stir untuk mencoba membenturkan body belakang mobilnya ke Jaguar untuk mengganggu Permadi sang pengejar atau membuatnya celaka dan bahkan membunuhnya. Dalam keadaan seperti itu, Permadi yang malah mengambil sebuah tindakan ekstrim. Ia yang mengerem dan membanting setir sehingga mobilnya berhenti dengan posisi menyamping sehingga terhindar dari tubrukan musuh. Ini juga ia lakukan agar mudah baginya mengarahkan Pistol Ruger di tangan kirinya, sang Gandiwa, ke arah Chrysler Imperial merah terang yang melaju menjauh di depannya, melalui kaca samping kemudinya. Letupan keras terdengar dan satu peluru lepas liar menderu dari moncong Ruger Permadi menembus kaca belakang mobil Chrysler Imperial merah itu, langsung terus menerobos kepala sang gandarwa, serta terus keluar menembus kaca depan. Chrysler Imperial merah itu kehilangan arah dan kontrol menabrak tiang lampu di perempatan kedua tepat sebelum tadi ia berniat untuk berbelok. Bunyi tubrukan keras mengambang di udara. Cairan merah darah membasahi interior mobil, tetesannya juga terciprat keluar menyatu dengan warna mobil. Asap tebal bergulung-gulung bagai kawanan domba mengepul dari kap mobil. Jaguar Permadi mendekat dan mendecit berhenti. Bratasena membuka pintu dan turun dengan cepat untuk mengecek keadaan gandarwa yang mereka buru. Jelas ia sudah tewas. Darah tidak hanya dari luka tembusan peluru Gandiwa Permadi, namun juga dari tubrukan parah yang menghancurkan bagian dan organ tubuh si gandarwa. Toh pada dasarnya, Bratasena pun tak meragukan kemampuan Permadi, adiknya, dalam hal tembak-menembak. Ia hanya ingin melihat rupa orang yang berani meberondongnya dengan peluru untuk berusaha membunuhnya tadi. Meski sayang, wajahnya sudah terlalu hancur untuk bisa dikenali dengan baik. Dari dalam mobilnya Permadi baru sadar bahwa darah membasahi kaus putih Bratasena, "Kakang, kau terluka?" serunya keras di sela-sela dengungan Jaguar. Mendengar seruan pertanyaan adiknya, Bratasena mengangkat kemudian melambaikan tangannya ke arah Permadi untuk mencegahnya turun dari mobil, "Aku tidak apa-apa. Kita pergi saja dari sini." Bratasena masuk kembali ke mobil. Tak lama kedua adik beradik tersebut meninggalkan tempat perkara kejadian itu dengan cepat, hanya menyisakan bunyi deruan dan dengungan mobil Jaguar yang khas yang perlahan hilang terbawa angin malam kota Wanamarta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN