Jika tidak ada musuh, tidak akan ada pertempuran, jika tidak ada pertempuran, tidak ada kemenangan, jika tidak ada kemenangan, tidak ada mahkota. Sejak kematian para pemilik perusahaan inti dan anak perusahaan Mretani seperti Jodipati Arms milik Dandun Wacana, Madukara Real estate and Property milik Dananjaya, Sawojajar Sugar Company milik Nakula dan Buweratalum Liquors milik Sadewa, sudah hampir satu bulan ini terjadi semacam genjatan senjata antara klan keluarga Pendawa di Wanamarta dan klan buta di Pringgandani Corp.
Kedua belah pihak menahan diri untuk tidak berkonfrontasi dan dan melakukan provokasi. Kelompok buta sepertinya sedang menimbang-nimbang kekuatan musuh, terutama karena secara resmi para Pendawa kini menjadi pemilik sah Mretani dan perusahaan-perusahaan serta lini bisnis mereka. Mau tak mau mereka harus menerima perubahan kekuasaan ini.
Para batara, termasuk kekuatan hukum melalui pengadilan, sudah memberikan persetujuan resmi mengenai pemindahan kekuasaan industri para jin dan gandarwa tersebut. Jelas akal-akalan batara ini bekerja dengan baik. Para korban konflik baik dari pihak jin, gandarwa, dan Wanamarta dianggap sebagai bagian dari perang geng narkoba yang melibatkan kaum buta semata. Untuk itu sementara ini, kasus tersebut ‘sedang dalam penyelidikan.’ Padahal jelas bahwasanya para batara menginginkan seluruh Wanamarta dikuasai oleh para Pendawa. Dari situ mereka dapat mengontrol keadaan sosial politik dan keamanan area. Batara yakin telah berpihak di sisi yang menguntungkan.
Ini jelas bukan tanpa alasan. Bahkan para batara dan buta pun paham bahwasanya kesetiaan jin dan gandarwa sekarang jatuh ke tangan klan Pendawa. Seperti diketahui bersama, aturan ini sudah klan tersebut peluk sejak ratusan tahun yang lalu. Penaklukan Pendawa dalam perang klan dengan kelompok Mretani dilakukan dengan cara yang bisa dianggap fair, meski tidak banyak yang mengetahui kejadian bahwa Yudhistira, pemimpin tertinggi Mretani terbunuh oleh seorang batara, bukan Samiaji, anak tertua Pendawa. Rahasia ini dipegang erat-erat oleh keluarga Pendawa, Ratri sebagai putri seorang anggota jin, dan tentunya keluarga Pendawa yang terlibat langsung.
Mungkin benar juga bahwasanya Samiaji tidak suka mengotori tangannya dengan darah dan memaksa orang lain untuk melakukan apa yang harusnya ia lakukan. Sampai saat ini, Bratasena dan Arimbi lah yang sadar bahwa pertarungan lanjutan terhadap kaum buta terletak di bahu mereka berdua, bukan Samiaji. Sang pemimpin Pendawa yang misterius itu benar-benar tak tergapai oleh pemahaman siapapun. Yang perlu diketahui dan diakui sementara ini, Samiaji adalah seorag pemimpin yang hebat dalam banyak sisi. Tujuan yang hendak dicapai keluarga Pendawa toh sedikit demi sedikit tercapai.
Buktinya, Samiaji sendiri sekarang sibuk membenahi semua industri dan bisnis secepat mungkin. Mretani diserap, perkembangan kota ini menjadi tanggungan Wanamarta. Sebagai akibatnya, Mretani dilebur dengan Wanamarta yang sekarang dimiliki Samiaji. Seperti wasiat para pemilik anak perusahaan Mretani sebelumnya, Bratasena memegang kendali penuh atas Jodipati Arms yang bergerak di bidang penjualan senjata api, baik demi kepentingan berburu, hobi maupun keamanan. Di sana lah Bratasena dan Arimbi sekarang lebih sering menghabiskan waktu.
Begitu juga dengan Permadi dan Ratri yang setiap hari bercokol di Madukara Real estate and Property untuk mengurusi bisnis sepeninggal Dananjaya. Mereka bahkan berniat untuk memperbaiki dan membangun ulang perumahan Jala Sutra sebagai bagian dari proyek pembangunan real estate terbaru mereka.
Tak sulit bagi Permadi untuk membuat Ratri kelak bertekuk lutut di pesonanya. Di sudut jalan cerita lain, nanti kisah mereka pun akan diceritakan kembali. Namun yang jelas, siapapun paham bahwa Dewi Ratri dan Permadi menemukan irama dalam hubungan mereka yang dimulai dengan sebuah permusuhan besar yang bahkan melibatkan kematian.
Sawojajar Sugar Company yang sekarang diserahkan kepada Pinten berkerjasama dengan Buweratalum Liquors yang sekarang dimiliki Tangsen. Keduanya dengan senang hati memberikan minuman beralkohol maupun non-alkohol terbaik mereka sebagai salah satu pemasok utama untuk bar, casino, hotel dan pusat-pusat industri hiburan lain di Wanamarta yang sedari awal dimiliki secara resmi oleh Samiaji.
Uniknya, para jin dan gandarwa benar-benar merasa memiliki harapan baru dalam kehidupan mereka. Sesuai pemikiran Yudhistira beradik, kaum buta seakan berpikir seratus kali untuk mengusik para jin dan gandarwa. Bisnis legal maupun ilegal mereka terputus. Para jin dan gandarwa ditugaskan para Pendawa untuk memperbaiki hubungan bisnis dengan rekan-rekan perusahaan mereka di dalam maupun di luar Wanamarta. Mereka juga ditugasi untuk menjaga sumber-sumber bisnis dan ekonomi mereka dari rongrongan buta dan pihak-pihak lain. Penjualan narkoba masih kentara di sekitar Mretani dan Wanamarta secara umum, namun hal ini memang tidak bisa dihindarkan. Paling tidak, bisnis narkoba sudah tidak menjadi bisnis utama Mretani bersama para buta. Ini adalah sebuah pemutus hubungan jin, gandarwa – buta yang sangat signifikan.
“Kakang, kita sudah tidak dapat berhenti sekarang. Jin dan gandarwa sudah berada di belakang kita, sudah saatnya kita lanjutkan menyelesaikan semua permasalahan yang tertinggal dengan kaum buta di Pringgandani Corp.,” ujar Drupadi sembari memeluk pinggang suaminya, Samiaji, dari belakang.
Samiaji, seperti biasa, tak berekspresi. Ia menyentuh kulit halus tangan sang istri namun pandangannya menerawang ke depan. Mereka berdua sedang berada di lantai atas bangunan utama di Mretani, memandang bangunan-bangunan rapi di balik pagar-pagar beton berwarna putih dan balik pepohonan rindang, “Aku akan mulai membangun bangunan ini sebagai bagian dari casino dan bar terbesar di Wanamarta, mungkin di seluruh state Arcapada,” ucap Samiaji tampak tidak mengacuhkan sama sekali pertanyaan Drupadi.
Drupadi tersenyum, “Lalu Astina Enterprise?”
Samiaji menggeleng pelan, “Aku tidak mau ambil pusing lagi dengan Astina yang sudah dimiliki para Kurawa. Mereka adalah sepupuku, mereka berhak atas Astina. Namun, kita, para Pendawa sudah perlahan berhasil menunjukkan bahwa meski kita mendapatkan sisa-sisa dari bisnis Astina, kita mampu membuatnya melebihi perusahaan milik Rama tersebut.”
“Lalu apa rencanamu terhadap para buta Kakang?” Drupadi kembali bertanya. Ia sangat bernafsu mendengar rencana sang suami terhadap klan buta. Dari sinilah, kembali terlihat sifat dan tabiat manusia yang melibatkan sisi tergelap mereka. Tidak ada yang benar-benar baik, dan tidak ada yang benar-benar buruk di muka bumi ini, apalagi di sebuah negara bernama Jagad Wayang. Drupadi yang bermulut manis dan berlidah tajam itu memang setia sekali dengan sang suami maupun keluarga Pendawa secara umum. Ia rela menderita turun derajat akibat penipuan licik keluarga Kurawa dalam perebutan kekuasaan Astina Enterprise. Namun, bukan berarti ia tak menginginkan kembalinya kebesaran dan keagungan itu. Lagipula, wajar bagi Drupadi bahwa kaum pebisnis dan mafia untuk saling balas melakukan serangan baik dengan licik nan penuh muslihat, atau terencanam dan cerdas. Tak ada salahnya ia menanyakan rencana sang suami ke depan menghadapi para buta yang ia harapkan menjadi tonggak kebesaran keluarga Pendawa kembali.
“Bratasena adalah jawabannya. Gadis buta itu, Arimbi, sudah memiliki keterikatan dengannya. Bratasena sendiri sudah memegang Jodipati Arms dan aku bertanggung jawab pada Mretani. Tapi Arimbi adalah pemilik sah Pringgandani Corporation, orang nomer dua setelah Arimba.”
“Maksud kakang berbeda dengan kasus para jin dan gandarwa, para buta masih memiliki pewaris sah dari kelompok atau keluarga mereka sendiri, bukan?” cecar Drupadi.
“Ya. Arimbi sebenarnya sudah berada di pihak kita. Aku tak berniat menguasai Pringgandani Corp. Masalahnya perjalanan kita akan sia-sia tanpa penguasaan penuh dari kaum buta. Untuk itu, aku saat ini hanya akan menyerahkan permasalahan Pringgandani Corp. pada Bratasena dan Arimbi.”